Antologi Cerpen ‘Aku Peluru Ketujuh’



Judul:
Aku Peluru Ketujuh

Penerbit:
GPM/Ko’Sapa

Tahun Terbit:
2017

Penulis:
Teopilus B. Tebai

ISBN:
978-602-61395-0-4

Tebal:
110 halaman

Ukuran:

14x21 cm

Antologi Cerpen ‘Aku Peluru Ketujuh’ merupakan kumpulan cerita pendek (cerpen) karya Teopilus B. Tebai. Buku kumpulan cerpen ini terdiri dari 19 cerpen yang pernah dimuat di Tabloid Jubi dan Majalah Selangkah.

Dari kesembilanbelas cerpen ini, rupanya penulis berupaya mengangkat realita hidup masyarakat di Papua. Bahwa Papua itu tak seindah dulu, baik kehidupan manusia Papua maupun keindahan alamnya.

Lewat cerpennya, penulis muda asal Papua ini menggambarkan bahwa di Papua telah terjadi perubahan akibat perkembangan zaman yang tak menentu – yang melahirkan penderitaan rakyat yang terus berkepanjangan. Penderitaan itu diakibatkan karena adanya berbagai persoalan yang tengah terjadi di tanah Papua, dintaranya: perusahaan-perusahaan yang seenaknya beroperasi tanpa peduli terhadap masyarakat pemilik hak ulayat maupun kerusakan lingkungan hidup, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan berbagai persoalan lainnya.

Berikut ini adalah cuplikan pengantar penulis:

Syukur bagi-Mu Tuhan, karya ini akhirnya terbit!

Aku Peluru Ketujuh adalah buku antologi 19 cerpen. Isi setiap cerpen dalam buku ini bersinggungan dengan kehidupan rakyat Papua dalam dinamika sosial-budaya, politik dan ekonomi.

Sebagai karya pertama, apakah karya ini diterima sebagai karya sastra atau tidak, saya tak ambil pusing. Walau saya sadari itu penting, tetapi biarlah orang-orang lain di kejauhan sana yang akan sibuk memperdebatkan estetika, struktur cerita, penokohan, flashback, ending, visi, misi, citra bahasa, historisitas, orisinalitas, imajinasi, implikasi sosial, residu, dkk, dari setiap cerpen yang terangkum dalam buku ini.

Saya meyakini, sastra, khususnya cerpen, dapat menjadi media bagi rakyat Papua untuk terus mengabadikan ingatan penderitaan. Berkaitan dengannya, walau hampir semua isi cerpen adalah potret ‘luka’ dan ‘kekalahan’, saya hendak mengajak generasi muda bangsa Papua untuk menerima realitas dan berpikir-bergerak-mengubah.

Semua cerpen dalam buku ini pernah dimuat di Majalah Selangkah selama 3 tahun, dimulai sejak tahun 2013 hingga 2015. Beberapa diantaranya dimuat lagi di Tabloid Jubi.

Romo Heri Setyawan, SJ. saya kenal tahun 2009 di Nabire, Papua, kami ketemu lagi di Yogyakarta. Terima kasih karena telah meluangkan waktu buat mengedit antologi cerpen ini dan memberikan catatan penutup.

Seperti syair karangan Raja Pasthun dari Kahandar, Ahmad Syah Durrani (1722-1773), semoga buku ini merangsang jiwa-jiwa muda tanah Papua untuk lantang berkata: “Papuaku. Dalam darah, aku terbenam oleh cinta padamu. Kurelakan kepala demi dirimu. Hatiku kutemukan teduh kala kudatang padamu. Nestapa jiwa laksana ular kala aku jauh darimu. Kulupa seketika segala kehormatan dunia saat kuingat puncak saljumu. Jika harus memilih antara dunia dan dirimu, takkan ragu kutuntut puncak tembaga sisa jarahan penjajah sebagai milikku.
Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: