Beberapa bulan sebelum pilkada serentak dilakukan di kabupaten Dogiyai, kapolres Nabire mendrop anak buahnya ke kabupaten Dogiyai dengan tujuan menjaga kondisi keamanan dan ketertibaan masyarakat (kamtibmas) demi pengamanan pilkada di kabupaten tersebut.
Tugas mulia tersebut awalnya
diterima masyarakat dengan lapang dada sebab ada indikasi bahwa di Dogiyai
bakal terjadi sengketa pilkada. Oleh sebabnya Kapolda Papua, Paul Waterpauw
memerintahkan Kapolres Nabire untuk mengirim personil ke Dogiyai dalam rangka
mengamankan jalannya pilkada.
Meski demikian, beberapa bulan
belakangan ini, masyarakat Dogiyai merasa resah terhadap aksi sweeping yang
dijalankan aparat gabungan yang dijuluki Tim Gabungan Mantap Praja (GAMPRA)
setiap hari. Masyarakat merasa resah karena Tim GAMPRA menyita alat kerja (parang
dan kampak) dan atribut bintang kejora serta rasta, merampok barang (handphone,
laptop dan kamera). Selain itu Tim GAMPRA juga melakukan tindakan kekerasan
dengan melakukan pemukulan, bahkan pembunuhan.
Rupanya Tim GAMPRA melenceng dari
tugas yang telah dipercayakan pimpinannya. Masyarakat menilai Tim GAMPRA hanya
memanfaatkan momen pilkada untuk menyita dan merampok barang milik masyarakat
dan menganiaya bahkan membunuh masyarakat sipil.
Pilkada Dogiyai menuai kekerasan
para aparat polisi dan brimob yang tergabung dalam Tim GAMPRA. Akibatnya
terjadi konflik antara masyarakat dan para aparat keamanan. Yang menjadi
pertanyaan adalah mengapa terjadi aksi brutal yang militeristik?
Barangkali pertanyaan di atas ini
akan membuka kedok dibalik tindakan kekerasan aparat di Dogiyai. Rupanya
kapolsek Moanemani, Mardi Marpaung masih menyimpan dendam atas peristiwa
pembakaran polsek Moanemani April 2011 lalu saat ia menjabat sebagai Kapolsek
Moanemani. Kini entah sengaja atau tidak ia ditugaskan lagi sebagai Kapolsek
Moanemani.
Melihat dan merasakan kekerasan
para aparat keamanan dalam aksi sweeping belakangan ini, boleh saja kita
katakan bahwa Kapolres Nabire sengaja menugaskan Mardi Marpaung sebagai
Kapolsek Moanemani hanya untuk membalas dendam. Oleh sebabnya, dalam dua kali
aksi (16 dan 23 Januari 2017), masyarakat Dogiyai meminta kepada DPRD dan
pemerintah daerah Dogiyai untuk segera dipindahkan ke kabupaten lain, sebab ia
bersama anak buahnya pernah menembak mati Domin Auwe dan Aluisius Waine 13
April 2011 yang dikenal dengan Tragedi Dogiyai Berdarah.
Melalui pertemuan antara DPRD dan
pihak kepolisian beberapa hari lalu rupanya telah memutuskan untuk melakukan
aksi sweeping hanya hari-hari tertentu saja, tak seperti sebelumnya yang
dilakukan setiap hari. Untuk itu perlu digarisbawahi bahwa Tim GAMPRA tak boleh
lagi menyita barang yang tidak ada sangkut pautnya dengan sesuatu yang
mengganggu kamtibmas. Apalagi menganiaya dan membunuh masyarakat agar tugas
pengamanan pilkada yang diembaninya benar-benar terlaksana. Jangan lagi jadikan
momen pilkada sebagai momen untuk mempraktekan tindakan militeris yang berujung
pada lumuran darah dan kematian. (Vitalis Goo)
0 komentar:
Post a Comment