![]() |
Foto Doc. Pribadi, Honaratus Pigai |
Oleh:
Honaratus Pigai
Di zaman
sekularisasi, posisi kebudayaan Papua mengalami kemunduran yang drastis.
Masyarakat adalah pemegang kebudayaan, mulai termarginalisasi. Bahkan
nilai-nilai kehidupan pun ikut tergusur. Mereka belum mendapat pengakuan.
Padahal eksistensi budaya perlu mendapat pengakuan, agar identitas diri sebagai manusia yang berjati diri
tidak hilang.
Posisi Kebudayaan Papua
Budaya
Papua di era Globalisasi diperhadapkan
dengan berbagai tantangan. Yang dinilai adalah sedang mengalami kemunduran yang
drastis. Budaya Papua semakin termarginalisasi. Orang tidak lagi menggangap
budaya sebagai identitas dirinya yang
harus dihidupi, namun orang telah menganggapnya kuno. Anggapan
ini menghantar sebagian orang Papua lebih senang menjalani hidup dengan budaya asing yang notabenenya bukan budaya asli.
Tanggal
9 Agustus 2007 silam bertepatan dengan hari
Masyarakat adat sedunia, Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) Abdon Nababan, mengemukakan tiga persoalan yang dihadapi oleh masyarakat
adat. Pertama, berlangsungnya
kolonialisasi intern di wilayah adat dengan berorientasi kepentingan orang
tertentu. Kedua, masyarakat mengalami
eksploitasi sumber daya alam. Sebenarnya masyarakat adat berwewenang mengatur
sumber daya alam. Namun semuanya diatur sewenang-wenangnya oleh pemerintah
saja, tanpa mempertimbangkan untung dan rugi dalam kehidupan masyarakat. Ketiga, masyarakat adat dipaksa budaya
luar dan dipaksa meninggalkan budayanya. Menyangkal kepercayaan yang telah lama
dianutnya. Akhirnya budaya global merampas budaya asli, sehingga budaya asli
terkikis.
Orang asli Papua sendiri dan bahkan pemerintahan di Papua menjunjung tinggi dan memperkenalkan budaya luar, ketimbang budayanya sendiri. Pada taraf ini, terjadi proses pembiaran
terhadap budaya menjadi nyata. Karena itu, posisi budaya
Papua berada di persimpangan jalan menuju kepunahan. Budaya Papua mengalami
desentralisasi yang berdampak pada krisis identitas.
Oleh
karena itu, tidak dipungkiri bahwa daya serap masyarakat adat terhadap budaya
global lebih cepat dari pada budaya lokal. Buktinya dapat disaksikan gaya hidup
berpakaian, berbahasa, informatika dan komunikasi, sudah berubah. Maka cepat atau lambat budaya sedang menuju ke pemusnahan identitas.
Fenomena Globalisasi
Di era
Globalisasi yang diboncengi neoliberalisme dan modernisasi, manusia semakin
mengenal dunia pengetahuan dan teknologi tanpa batas. Budayanya dilupakan.
Banyak kaum intelekual, berambisi menduduki suatu jabatan. Menawarkan diri pada
instansi tertentu. Bekerja pada instansi pun terjebak oleh instan. Situasi ini
hanya mengejar sekertas rupiah. Ia sebagai manusia yang berbudaya terjebak oleh
kesenagan sesaat, sehingga mereka lupa akan budaya dan adatnya. Masyarakat lokal
Papua kurang lagi menghayati budayanya sebagai identitas dirinya.
Dalam
kerangkan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua
dan melalui hadirnya Majelis Rakyat Papua (MRP), selalu berorientasi dengan
harapan bahwa Papua harus berubah dari ketertinggalan. Hanya ini sangat mudah didenungkan. Yang dilupakan adalah budaya. Mereka tidak mempertimbangkan
budaya Papua yang sedang termarginalisasi. Pemerintah dan MRP, tidak mengingat pelestarian budaya yang semakin punah.
Sebenarnya seluruh aspek kehidupan di Papua bisa bergerak melalui budaya hidup rakyat Papua. Tapi hal ini tidak terlaksanakan. Program dan kebijakan pemerintah pusat hingga
daerah seperti tidak menjamin kehidupan budaya Papua.
Budaya
Papua berada dalam tekanan bahaya. Adanya pemekaran di seluruh
pelosok tanah Papua mengurung orang asli Papua tidak banyak bergerak bebas.
Bahasa asli/daerah dan pakaian adat serta
kebiasaan hidup semakin punah, apalagi dirinya sendiri sangat terkurung oleh budaya luar.
Masyarakat adat seluruhnya terjebak dengan budaya luar, sehingga budayanya dilupakan Akhirnya orang Papua terjebak dengan
nilai-nilai budaya luar. Minum mabuk, pemerkosaan, pencurian dan kriminlitas.
Orang Papua tidak dapat memiliki pegangan hidup lagi.
Resiko Globalisasi
Masyarakat
yang berbudaya menjadi korban di segala bidang. Entah hidup baik, entah tidak.
Semuanya dibarengi korban di atas tanahnya sendiri. Mulai luntur pula
spritualitas keagamaan dalam budaya-budaya. Bergesernya nilai-nilai budaya,
masyarakat dari pedesaan ke arah perkotaan. Karena itu, mulai menipisnya budaya
tradisional. Memudarnya pendidikan non-formal kepada kaum muda. Akibatnya,
anak-anak muda terjebak dalam lingkungan setan. Dan berkurangnya memahami makna
dan nilai filosofi budaya, yang telah berakar dalam budaya.
Orang
muda tidak lagi memiliki pedoman hidup, yang memadai. Karena itu, orang Papua
hidup sebagai orang tidak berbudaya dan atau orang yang tidak berpendidikan. Ia
hidup sesuai dengan kehendaknya dengan bersenang-senang. Akibatnya orang
kehilangan harga dirinya sebagai orang Papua. Ini yang biasanya membawa
kerusakan nama Papua.
Penghargaan
terhadap nilai budaya, solidaritas sosial, kekeluargaan
dan rasa cinta dirasakan semakin terkikis. Resiko dan pembiaran pemerintah ini
yang harus ditanggung secara bersama, terjadi ketimpangan sosial. Akibatnya
orang kehilangan harga diri. Ketimpangan ini harus diakui, sebagai proses
pembiaran, yang mengikis budaya orang asli Papua.
Pelestarian Budaya
Budaya
Papua yang semakin terkikis ini, dapat membawa orang
Papua kepada kepunahan. Nampak bahwa orang Papua sedang menuju ke sana.
Orang
Papua harus mengakui bahwa dirinya adalah berbudaya. Identitasnya adalah
berbudaya. Dalam hidupnya harus menggunakan akal dan hati, agar menyadari
dirinya sebagai manusia berbudaya. Tanpa kesadaran akan kehilangan identitas
diri. Sebagai orang Papua harus tahu dan sadar akan dirinya.
Pemerintah,
tokoh masyarakat, adat, agama dan LSM perlu bekerjasama dalam menjamin
kesadaran ini. Perlu mendukung budaya orang Papua. Tidak membiarkan budaya
musnah, karena jika budaya musnah sama saja dengan orang Papua sedang musnah.
Hal ini segera diperhatikan.***
0 komentar:
Post a Comment