Demokrasi dan Militerisme

Foto: Doc. Google
Demokrasi adalah dambaan semua orang, kecuali yang bersikap mendua. Demokrasi yang jadi idaman itu, kian hari kian melemah dan dilemahkan. Sabotase atasnya terjadi di mana-mana dan hampir setiap saat. Dan ini terus berlanjut seiring menguatnya paham yang anti-demokrasi (militerisme).

Mengapa militerisme disebut anti-demokrasi? Secara istilah, militerisme adalah model kekuasaan yang berlandas pada keamanan. Pemerintahan manapun yang menggunakan militerisme sebagai alas perumusan kebijakan-kebijakan publiknya, terang saja akan menilai bahwa ukuran kesejahteraan sosial adalah sejauh mana rasa aman terjalin di dalamnya.

Hanya saja, melihat eksistensinya dari dulu sampai sekarang, bukannya memberi rasa aman bagi warga, justru yang nampak adalah akutnya “budaya” kekerasan. Bahwa militerisme yang ditujukan untuk menjadi pengobat rasa kacau itu, tak lebih sebagai tatanan kekuatan yang diktatorial.

Lihatlah Jerman dengan Nazinya semisal, atau lihatlah Jepang atau Spanyol dengan Fasismenya. Mana ada yang memberi rasa aman? Yang ada adalah sebaliknya: kekacauan penuh derita.

 
Bagaimana di Papua?

Di Papua di zaman Orde Baru misalnya, militerisme menjelma seperti ‘Tuhan’ yang punya kekuasaan tangguh, lagi absolut. Mereka yang tak patuh terhadap kehendak militer, diberi dua kemungkinan: mengikut atau mati. Meski juga ada pilihan lain, seperti angkat kaki atau kurungan penjara, tetapi itu justru menambah pikiran dan keyakinan bahwa kehidupan di Papua benar-benar kehidupan yang absurd dan sarat dengan konflik.

Kita dapat saksikan belakangan ini dan hingga saat ini di Papua, militerisme sungguh masif dalam gerakannya. Hanya untuk berupaya menyeragamkan pandangan-pandangan salah tentang “Indonesia Harga Mati”. Akibatnya, sebagian rakyat yang berjuang menuntut keadilan dipenjarakan dan bahkan ada yang ditembak mati.

Lihat juga, Buku-buku yang dianggap beraliran kiri diberangus, seperti buku-buku penulis Papua, Sokratez Sofyan Yoman, Zendius Wonda dan sebagainya. Paham kebebasan pun ikut diancam. Tidakkah aksi-aksi ini justru menciderai demokrasi?

Hadirnya militerisme di Papua, terkesan dan memang fakta yang terjadi adalah sarat kediktatoran. Militerisme justru menggerus dan menenggelamkan segala fakta sejarah. Mestinya militer menjaga dan memberi rasa aman, dalam realitas konflik yang ada. Tetapi yang terjadi adalah hal sebaliknya: membombardir segala hal dan membawa kekacauan dan lebih menjadi provokator kelas kakap hingga terjadi konflik horizontal antar masyarakat.

 
Merawat Demokrasi, Tolak Militerisme

Sebagai konsep yang mampu mengangkat keadaban di Papua, demokratisasi mesti harus ditingkatkan, paling tidak terjaga stabilitasnya. Sebab sekali ia redup, melemah, sukar sekali untuk membangunnya kembali.

Di Papua, bukan lagi meredup tetapi sudah dalam taraf rusak dan mati. Demokrasi untuk menyatakan pendapat di muka umum misalnya, selalu diperhadapkan dengan kekuatan militerisme. Aksi berpendapat di muka umum selalu saja dipukul mundur tanpa kompromi.

Idealitas demokrasi melulu dikorup oleh realitas yang seolah tak pernah mau bersahabat. Demokrasi dianiaya dan kemudian dimatikan dengan aksi-aksi brutal militer, sampai memenjarakan dan membunuh kaum pejuang demokrasi. Dalam hal ini, mereka yang berjuang untuk keadilan dan kedamaian tanah Papua.

Kiranya tak ada alasan bagi kita untuk tidak bersama-sama merawat paham yang sangat membela kebebasan berpendapat. Ini sebuah hal yang sangat menjunjung tinggi citra kemanusiaan. Sayangnya, militer selalu bersikap mendua, tak jelas. Militer selalu ingin mengorbankan kebebasan berpendapat atau kebebasan berdemokrasi.

Di satu sisi, kita menilai kebebasan berpendapat sebagai medium untuk menyampaikan pendapat secara otentik. Akan tetapi, sekalipun itu telah diatur dalam undang-undang, militerisme pun cenderung takut pada kebebasan ini. Sayangnya, militer belum mampu menerima secara utuh. Negatif thingking terhadap orang Papua membakar budi untuk selalu memilih bertindak arogan kepada rakyat Papua. Sebuah kontradiksi yang tak boleh kita diamkan.

Meniadakan kontradiksi tersebut bukan cara untuk merawat demokrasi (demokratisasi). Kita harus memilih untuk melawan, bukan diam untuk tertindas atau menyerah. Kita harus memilih menjadi aktor, bukan penonton yang hanya tahu mereka-reka. Kita harus memilih untuk bertindak, bukan berkhayal dengan imaji-imaji yang menina-bobokkan.

Yang terpenting, demokrasi di Papua harus dihidupkan. Pemerintah negara dari pusat sampai daerah punya keharus untuk melindungi demokrasi. Pihak-pihak yang tidak menjunjungnya harus mendapatkan ganjaran hukum. Hukum harus diterapkan bagi yang melanggarkanya. Karena yang kebebasan berpendapat atau demokrasi berpendapat telah termuat rapih dalam undang-undang. Maka, yang melarang berdemokrasi sama halnya dengan melarang undang-undang.

Merawat demokrasi dengan cara membela kebebasan berpendapat adalah hal mutlak yang harus diwujudkan. Memang ada militer yang tidak ikut mengakui nilai hakiki demokrasi. Mereka anti atasnya, bahkan berusaha menggerus dan menggantikannya dengan paham yang menurutnya paling benar. Alasannya, cukup membingungkan dan menggelikan.

Ya, militer tak mau tahu atau mungkin pura-pura tidak tahu mengenai demokrasi dan memaksa mengganti demokrasi dengan paham lain yang anti demokrasi.

Patut kita catat bersama bahwa merawat demokrasi itu adalah upaya kita dalam meneguhkan nilai kemanusiaan.

Diakui atau tidak, disadari ataupun tidak, paling tidak militerisme harus kita pandang sebagai tantangan kita dalam berdemokrasi. Fakta militerisme amat menyepelekan, atau bahkan menaifkan demokrasi.

Tolak militerisme di Papua adalah penting bagi keutuhan dan kedamaian negeri. Bahwa kedamaian dan keadilan adalah kebaikan kita. Apalagi kita tahu bahwa militerisme, bukannya datang membangun kedamaian, melainkan justru menghancur-leburkan pijakan kedamaian itu.

Maka tak ada pilihan lain bagi kita kecuali menolaknya. Paling tidak melalui kampanye dan gerakan penyadaran akan akutnya penyakit kronis militerisme ini.

 
Pastor Honaratus Pigai, Petugas Gereja di Papua.
Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: