Kilat berkutik-kutik di sepanjang kaki langit. Gelapnya malam telah merambat menguasai perkotaan hingga perkampungan di sepanjang lautan pasifik. Kilatan dalam gerimis malam memperlihatkan segalanya yang tersembunyi dibalik pekatnya gelap malam.
Disana, di perkampungan yang terpencil, kilat itu menjadi penerang walau berlalu sekasat mata. Penerang yang mampu memandu jalan setapak dalam malam kelam. Sedang disini, di perkotaan, kilat itu tak menaklukan penerangan kota. Disini, di kota ini, segalanya berjalan secepat kilat. Tak seorang pun melihat bahkan memperdulkan cahaya kilat yang datang berulang kali.
Mungkin hanya John seorang diri, dengan santai menyaksikan kilat yang menerangi cakrawala kota Jayapura. Di atas bukit Bumi Perkemahan, John duduk dalam bisu sembari memandang lampu-lampu yang menyebar di sekitar Waena dan Abepura. Dan langit di sekitar daerah itu sesekali menjadi benderang saat sang kilat datang menyapa alam kota Jayapura.
John duduk terpaku menyaksikan segalanya dalam tenang. Ia yakin kalau alam kota Jayapura sedang menangis dalam rupa gerimis yang tak henti-hentinya membasahi bumi. Mengapa demikian? Pertanyaan ini muncul dalam benaknya. Seperti kota-kota lainnya, alam kota Jayapura sedang menangis karena gunung-gunung telah dibongkar oleh alat-alat berat untuk mengambil material demi pembangunan. Hutan-hutan pun digunduli seenaknya oleh tangan-tangan jahil tanpa menimbang kerusakannya. Apalagi pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya selalu mengakibatkan banjir.
Walau malam semakin berlarut saja, John masih duduk membatu di bawah pohon jambu monyet - pohon yang telah menjadi tempat perteduhan sejak awal gerimis mulai turun. Pohon itu tumbuh liar di sepanjang perbukitan dan John seringkali memetik dan makan buahnya sekedar untuk mengusir rasa lapar.
Bagi John, pohon jambu monyet adalah pengusir rasa lapar, pemberi inspirasi baru, peneduh tubuh dan batin. Di tempat ini, ia pernah merasakan ketenangan ketika alam pikirnya dihantui berbagai beban pikiran sebab ia tak mampu membiayai perkuliahannya. Dan dari sinilah ia menemukan jalan keluarnya. Di tempat ini pula ia merasakan kekenyangan.
Semilir angin malam berembus menyentuh tubuh John. Rasa sejuk menggelayuti sekujur tubuhnya. Barangkali angin ini dikirim dari surga. Pernyataan ini muncul di benaknya.
Sesaat kemudian handphonenya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari teman sekantornya. Demikian bunyi pesan itu: 'Sekedar info: Besok pagi kita akan apel pagi bersaama di kantor.' Sekilas John membaca pesan itu. Paling tidak, pikir John, bos sudah ada di kota Jayapura. Seperti itulah kebiasaan para staf. Saat atasan mereka berada di tempat, tak melakukan perjalanan dinas keluar kota, mereka selalu hadir di kantor. Jika atasan mereka keluar kota, maka kantor terlihat sepi. Hanya John bersama beberapa teman yang selalu hadir di kantor. Dan John selalu membenci kebiasaan buruk teman-temannya itu. Seringkali John membisu, memikirkan ketidakdisiplinan teman-temannya. Sesering juga ia menegur teman-teman untuk mereka harus mengedepankan kedisiplinannya, tetapi mereka tidak memperdulikannya.
Bumi Perkemahan atau yang disingkat dengan Buper, terlebih khusus di tempat dimana John sedang duduk kini, di bawah pohon jambu monyet, di depan halaman rumahnya, merupakan tempat dimana ia menemukan dirinya yang sesungguhnya. Bahwa ia sebagai seorang pegawai mesti berdisiplin dalam menjalankan tugas pelayanannya.
Hampir 5 jam John telah duduk menghabiskan waktunya di bawah pohon jambu monyet di depan rumahnya. Ia bangkit dari posisi duduknya. Ia lalu masuk ke dalam rumah untuk merebahkan tubuh mungilnya di tempat tidur. Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini juga ia menenangkan hati dan pikirannya sebelum memanjatkan syukur dan pujian kepada Sang Khalik.
Disini, di Bumi Perkemahan ini ketenangan dan kesenyapan malam mengiringi John ke dunia mimpinya. Mimpi yang indah akan perkemahan yang didirikannya dalam petualangan hidupnya *** Vitalis Goo
Disana, di perkampungan yang terpencil, kilat itu menjadi penerang walau berlalu sekasat mata. Penerang yang mampu memandu jalan setapak dalam malam kelam. Sedang disini, di perkotaan, kilat itu tak menaklukan penerangan kota. Disini, di kota ini, segalanya berjalan secepat kilat. Tak seorang pun melihat bahkan memperdulkan cahaya kilat yang datang berulang kali.
Mungkin hanya John seorang diri, dengan santai menyaksikan kilat yang menerangi cakrawala kota Jayapura. Di atas bukit Bumi Perkemahan, John duduk dalam bisu sembari memandang lampu-lampu yang menyebar di sekitar Waena dan Abepura. Dan langit di sekitar daerah itu sesekali menjadi benderang saat sang kilat datang menyapa alam kota Jayapura.
John duduk terpaku menyaksikan segalanya dalam tenang. Ia yakin kalau alam kota Jayapura sedang menangis dalam rupa gerimis yang tak henti-hentinya membasahi bumi. Mengapa demikian? Pertanyaan ini muncul dalam benaknya. Seperti kota-kota lainnya, alam kota Jayapura sedang menangis karena gunung-gunung telah dibongkar oleh alat-alat berat untuk mengambil material demi pembangunan. Hutan-hutan pun digunduli seenaknya oleh tangan-tangan jahil tanpa menimbang kerusakannya. Apalagi pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya selalu mengakibatkan banjir.
Walau malam semakin berlarut saja, John masih duduk membatu di bawah pohon jambu monyet - pohon yang telah menjadi tempat perteduhan sejak awal gerimis mulai turun. Pohon itu tumbuh liar di sepanjang perbukitan dan John seringkali memetik dan makan buahnya sekedar untuk mengusir rasa lapar.
Bagi John, pohon jambu monyet adalah pengusir rasa lapar, pemberi inspirasi baru, peneduh tubuh dan batin. Di tempat ini, ia pernah merasakan ketenangan ketika alam pikirnya dihantui berbagai beban pikiran sebab ia tak mampu membiayai perkuliahannya. Dan dari sinilah ia menemukan jalan keluarnya. Di tempat ini pula ia merasakan kekenyangan.
Semilir angin malam berembus menyentuh tubuh John. Rasa sejuk menggelayuti sekujur tubuhnya. Barangkali angin ini dikirim dari surga. Pernyataan ini muncul di benaknya.
Sesaat kemudian handphonenya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari teman sekantornya. Demikian bunyi pesan itu: 'Sekedar info: Besok pagi kita akan apel pagi bersaama di kantor.' Sekilas John membaca pesan itu. Paling tidak, pikir John, bos sudah ada di kota Jayapura. Seperti itulah kebiasaan para staf. Saat atasan mereka berada di tempat, tak melakukan perjalanan dinas keluar kota, mereka selalu hadir di kantor. Jika atasan mereka keluar kota, maka kantor terlihat sepi. Hanya John bersama beberapa teman yang selalu hadir di kantor. Dan John selalu membenci kebiasaan buruk teman-temannya itu. Seringkali John membisu, memikirkan ketidakdisiplinan teman-temannya. Sesering juga ia menegur teman-teman untuk mereka harus mengedepankan kedisiplinannya, tetapi mereka tidak memperdulikannya.
Bumi Perkemahan atau yang disingkat dengan Buper, terlebih khusus di tempat dimana John sedang duduk kini, di bawah pohon jambu monyet, di depan halaman rumahnya, merupakan tempat dimana ia menemukan dirinya yang sesungguhnya. Bahwa ia sebagai seorang pegawai mesti berdisiplin dalam menjalankan tugas pelayanannya.
Hampir 5 jam John telah duduk menghabiskan waktunya di bawah pohon jambu monyet di depan rumahnya. Ia bangkit dari posisi duduknya. Ia lalu masuk ke dalam rumah untuk merebahkan tubuh mungilnya di tempat tidur. Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini juga ia menenangkan hati dan pikirannya sebelum memanjatkan syukur dan pujian kepada Sang Khalik.
Disini, di Bumi Perkemahan ini ketenangan dan kesenyapan malam mengiringi John ke dunia mimpinya. Mimpi yang indah akan perkemahan yang didirikannya dalam petualangan hidupnya *** Vitalis Goo
0 komentar:
Post a Comment