“…Sifat Kebinatangan Manusia Masa Kini Di Papua Merupakan Keserakahan. Sifat Serakah Pertama-tama Muncul Dari Dalam Diri Manusia Itu Sendiri Sebagai Akibat Kehendak Bebas Yang Disalahgunakan. Apabila Suara Hati Dan Akal Sehat Ditata Dengan Baik Maka Akan Menentukan Hidup Dan Kehidupannya Yang Lebih Baik. Manusia Yang Demikian Akan Memuliakan Allah, Menyelamatkan Jiwa Dan Menjadikan Di Bumi Ini Seperti Di Surga….”
(Oleh: Silvester Dogomo)
Gambaran Umum
Tikus-tikus manusia yang telah saya gambarkan dalam tulisan pertama di (KAJP NEWS/Bangun Hidup, Pakai AKAL dan HATI), merupakan suatu gambaran di mana tikus-tikus rumah itu hidup dan bertindak. Tikus rumah itu tidak selalu mengenal barang milik orang lain. Tikus rumah itu juga tidak berpikir dan merasa bahwa sesuatu (kesalahan) yang dilakukan merupakan suatu kesalahan. Tikus rumah itu juga merupakan tikus yang paling cerdik untuk melakukan apa saja, misalnya mencuri, makan beras, nasi, daging, dll. Anehnya adalah tindakannya itu dilakukannya tanpa seizin pemiliknya dan itupun ditiru oleh manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) serakah artinya selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki; Loba; Tamak; Rakus; misalnya: maskipun sudah kaya, ia masih serakah juga hendak mengangkangi (mengambil kepunyaan orang lain dengan tidak sah; hendak menguasai sendiri; misalnya, dia mengangkangi harta peninggalan orang tuanya sehingga adik-adiknya terlantar) harta saudaranya. Keserakaan adalah sifat dari serakah itu sendiri. Keserakaan berbanding lurus dengan ketamakan sehingga dalam tulisan ini kedua kata ini menunjuk pada arti yang sama. Sehingga keserakahan manusia adalah orang yang memprakterkkan sifat serakah/tamak ini.
Manusia yang memiliki ketamakan dinamakan manusia yang tamak atau serakah. Penyebab keserakahan itu memiliki dua kemungkinan, yakni pertama, kelemahan manusiawinya atau kedua, karena manusia itu sendiri dengan sadar, tahu dan mau melakukan tindakan kebinatangan itu dengan bertindak seperti orang yang serakah. Tindakan kedua ini merupakan bagian dari tindakan bebas (kehendak bebas) manusia, yang memiliki kemungkinan untuk tidak menjadi tamak karena memilih dan memutuskan untuk tidak melakukan tindakan ketamakan. Demi berhasilnya suatu usaha mereka yang bersifat tamak itu mengorbankan harta benda sesama tanpa sepengetahuan pemiliknya. Demi menjadikan status quo alias mencari nama baik atau agar bisnis ekonomi membaik seperti permainan togel dan ceme, mereka juga membenci bahkan menghilangkan nyawa sesama yang tak berdosa. Atau mereka membunuh secara terang-terangan demi pengembangan dan keberhasilan suatu bisnis gelap atau demi menduuki jabatan tertentu dalam pemerintahan.
PENJUALAN TANAH (Masyarakat Asli)
Di seluruh pelosok tanah Papua, orang setempat semacam dikagetkan dengan kehadiran banyak kabupaten baru yang menawarkan berragam tawaran yang menarik. Kebanyakan orang setempat terjerumus di dalamnya karena tidak sadarkan diri dengan budayanya. Mereka yang mempraktekkan sifat yang satu ini diakhibatkan oleh kurangnya pemahaman identitas dirinya sebagai manusia Papua. Sehingga baik secara sadar atau tidak sadar mereka lebih memilih untuk menikmati kebahagiaan diri sendiri dan mengorbankan harta kekayaan yang berharga, yakni “tanah”.
Mereka lebih cenderung menggantikan sepenggal “mama yang memberi hidup” dengan sepeda motor atau dengan uang secukupnya. Tanah yang dipandang sebagai mama itu dikianatinya. Kini bukan mereka punya mama lagi tetapi orang punya mama. Dengan begitu mereka sendiri melawan dirinya sendiri dan meruntuhkan pandangannya sebagai mama yang sudah lama berurat berakar dalam budaya manusia Papua. Hasil yang didapatnya adalah hidup menderita setelah motornya rusak dan uangnya habis. Lebih para lagi bagi mereka yang mau diperalat oleh orang yang melakukan bisnis gelap untuk menghilangkan nyawa orang tak bersalah.
Dampak keserakahan/ketamakan pada uang dan tawaran harta benda lainnya, diantara keluarga bahkan di dalam keluarga sendiri saling tidak suka, bermusuhan, bahkan saling menghilangkan nyawa (yang dulunya tabu). Kedua orang tua saling memusuhi, antara anak-anaknya pun demikian serta antara orang tua dan anak juga sama. Kini mereka kurang memiliki semangat kerja yang tinggi dan berharap, berharap dan berharap terus. Kalau begitu mereka berharap pada apa dan siapa? Apa perlakuan dan tindakan dari yang diharapkan itu?
KORUPSI (Pemerintah – Elit Politik)
Tak terkecuali sifat ketamakan itu juga dipraktekkan oleh para elit politik, para pejabat pemerintahan dan para penanggung jawab OTSUS. Ketika terjadi pemilihan umum (pemilu) badan legislatif, eksekutif dan yudikatif baik pusat maupun daerah selalu terjadi pembayaran suara.
Waaa, gila kekuasaan ini dapat menyogok suara hati dan akal sehat. Kehidupan iman dan moral sebagai orang beriman di satu sisi dan keyakinan nilai-nilai dasar dalam budaya dan penghayatannya di sisi lain dipertaruhkan di sini. Kini menjadi pertaruhan nyawa bukan sekedar suara yang dapat dimengerti sebagai pelafalan saja. Suara hati dan akal sehat para penguasa telah dikuasai oleh nafsu uang, harta benda dan kekuasaan. Orang demikian gampang mendapatkan segala sesuatu (entah baik atau tidak) baik dengan cara yang baik (dengan gaji atau honornya) maupun tidak (dengan hasil korupsi, pembunuhan, bisnis gelap, dll).
Selain itu, para pejabat pemerintah kabupaten-kabupatan baru (dan kabupaten pada umumnya) di Papua lebih memilih menjadi sebagai orang yang tamak/serakah. Pembangunan di Kabupaten Dogiyai yang tidak bertahap, sistematis dan terstruktur membuat ketidakpercayaan masyarakat kepada mereka, seperti hal-hal yang menjadi sorotan masyarakat itu seperti kinerja pemerintahan yang kurang jelas; pembangunan sentral masyarakat yang ambigu dan masih absurt. Lebih para lagi adalah usaha para pejabat pemerintah ini untuk membentuk kabupaten baru, kabupaten Mapia Raya yang sampai kini masih ditolak habis-habisan oleh para mahasiswa yang berasal dari Kabupaten ini. Selain itu, mahasiswa Kabupaten Dogiyai dan Deiyai yang belum lama ini mempertanyakan study akhirnya kepada pemerintah yang berwewenang. Kabupaten Intan Jaya di mana kepala pemerintah memukul mahasiswa yang rame dibicarakan media (Suara rakyat atau SURAT). Termasuk kabupaten-kabupaten baru yang masih belum dewasa lainnya yang menciptakan situasi demikian.
Hal-hal seperti ini menandakan penggunaan dana APBD, APBN (yang dialokasikan ke daerah), dana OTSUS yang kurang bahkan tidak maksimal. Itulah realitas yang terjadi, ketamakan manusia Papua pada masa global ini.
Ketetapan UU No. 21 tahun 2001 sebagai pengejawantahan dari ketetapan MRP RI No. IV/MRP/1999 dan ketetapan MRP RI No IV/2000 (Neles Tebai, Dialog Jakarta – Papua Sebuah Perspektif Papua, 2009: 03) tinggal sebatas aturan yang satatik. Masyarakat Papua secara umum menyatakan kegagalan dalam implementasinya. Orang-orang kecil dan lemah hanya mengalami 1% saja atau bahkan kebanyakan dari mereka yang tidak merasakan dan mengalami walaupun mencium bauhnya. Seola-ola dana OTSUS ditujukan kepada orang-orang yang menanganinya mulai dari pusat sampai daerah sehingga sekitar 99% atau bahkan 100% habis dalam perjalanan. Mungkinkah dana ini mempunyai tangan ataukah itu merupakan ulah dari manusia dengan tindakan kebinatangannya? Bukankah itu merupakan ketamakan?
PELANGGARAN HAM (TNI - Polri)
Ada begitu banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Kebanyakan dari pelanggaran itu dilakukan oleh TNI-Polri. Dari pelanggaran yang kecil-kecilan, seperti menyeting permainan togel dan ceme sedemikian rupa agar terjadi kekacauan terutama di beberapa kabupaten baru yang telah disebutkan di atas. Salah satu ulah penembakan Polri (Brimob) terhadap masyarakat sipil akibat permainan perjudian ini adalah seperti yang terjadi di Kabupaten Dogiyai (13-14/04/11) lalu. (baca:http://dpopolri.blogspot.com/2011_04_01_archive.html ; selain itu lihat juga http://westpapuamedia.info/2011/04/).
Hal yang lebih disayangkan adalah mengenai berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan pihak-pihak terkait, masih belum tuntas hingga kini. Kebanyakan dari masyarakat sipil, wartawan, LSM, dan DPRP (bagian ham – Laorensius Kadepa) maupun dari pihak Gereja menyuarakan dengan tegas demi menciptakan Papua tanah damai yang diidam-idamkan setiap orang di Papua.
Sejak 08 Desember 2014 lalu hingga kini tercatat begitu banyak pelanggaran HAM berat yang tidak ditangani secara damai. Pihak yang berwewenanga tidak menggunakan hati dan akal untuk menciptakan Papua tanah damai. Mereka hanya menggunakan kekuasaan, kekuatan dan kekerasan tanpa mengindahkan harkat dan martabat manusia.
Beberapa pelanggaran HAM berat yang dilakukan pihak terkait yang sampai sekarang masih belum ada penuntasannya antara lain: kasus Paniai berdara pada senin (08/12/14), penembakan seorang pemuda di Ugapuga-Dogiyai pada kamis (02/07/15), penembakan di Karubaga-Tolikara yang menewaskan satu orang umat GIDI pada jumat (17/07/15), penembakan 2 orang umat Koperapoka (28/08/15), penembakan seorang siswa di gorong-gorong, dll.
Peristiwa-peristiwa ini seolah-olah menjadi kenangan duka lara manusia Papua yang tak pernah berakhir. Peristiwa ini yang seola-ola mengendalikan manusia bukan manusia yang mengendalikan peristiwa. Pihak terkaitpun berdiam diri, tidak mau mengungkapkan dan menyelesaikan masalah HAM berat ini.
Keserakahan yang timbul dalam diri mereka, yakni masalah rakus akan kekuasaan dan jabatan, harta dan kekayaan, ekonomi dan politik atas negeri ini sampai mereka juga rakus manusianya. Sifat serakah ini mendorong diri mereka untuk bertindak seperti orang gila ataupun binatang. Kebinatangan itu tampak dalam kebrutalan melakukan tindak kekerasan sampai melakukan pelanggaran HAM berat yang berturut-turut.
KESERAKAHAN MANUSIA: Refleksi Kritis
“Kata-Nya lagi: "Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” (Mrk 7:20-23).
Keserakahan yang dibicarakan dalam Injil karangan Markus 7:22 merupakan sesuatu yang datang dari dalam diri manusia bukan dari luar dirinya. Setelah dari dalam diri manusia timbul berbagai keinginan jahat (termasuk keserakahan) maka itu dilaksanakan dalam tindakan nyata, seperti membunuh orang tak bersalah, melakukan usaha/bisnis gelap, dll. Tindakan nyata yang keluar akibat keserakahan, itulah yang dapat menajiskan manusia sehingga tidak salah apabila Uskup Keuskupan Timika, MGR John Piliph Saklil Gayabi Pr bersuara “Pemerintah dan Negara jadikan negri ini najis” dalam media sosial on line Papua Anigou sebagai suara kenabiaan dan kegembalaannya. Tindakan keserakahan seperti ini menandakan bahwa suara hati yang baik tidak didengarkan sehingga tidak memutuskan pula untuk memilihnya secara baik pula.
Sejak penciptaan, Allah memberi kebebasan (kehendak bebas) untuk berbuat apa saja sesuai kehendak bebasnya. Hal ini berarti manusia bebas memilih dan memutuskan untuk melakukan jahat atau baik. Manusia Papua pada zaman kini dengan kehendak bebasnya lebih memilih menjadi tamak/serakah. Itu berarti manusia Papua memilih menjauh dari hadirat Allah dan tidak patuh pada perintah-Nya.
Sifat tamak merupakan suatu kekacaubalauan yang timbul dalam diri manusia. Manusia yang mempraktekkannya adalah mereka yang mau hidup dalam kekacaubalauan alias ketidakdamaian hidup sehingga ketamakan menusia yang demikian menciptakan situasi ketidakdamaian hidup di Papua.
Allah mengajak manusia untuk menjadikan perintah dan hukum-Nya miliknya sehingga perintah itu menuntunnya pada kedamaian. Manusia yang demikian tentu selalu mendatangkan kebaikan, keselamatan dan kebahagiaan serta menciptakan kedamaian.
Namun, perasaan dan pikiran manusia tamak/serakah telah tumpul sehingga mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan kemudian mengerjakan dengan serakah segala macam kecemaran, termasuk keserakahan itu sendiri. Daya nalar dan kepekaan sebagai yang dikuasai nafsu merupakan akibat dari tidak melestarikannya suara hati/hati nurani dan akal sehat dengan baik. Pembiaran terhadap hati dan akal akan berdampak pada pembiaran terhadap mengambil keputusan yang baik. Penggunaan akal dan hati yang baik mesti diutamakan karena mengabaikan salah satunya sama dengan orang yang berada dalam ketakter-arah-an hidup untuk menjadikan dunia ini damai.
Ketamakan akan hilang dengan sendirinya apabila menanamkan dalam hati dan pikiran dengan komitmen yang kuat untuk membangun bumi ini. Dengan demikian dapat mempergunakan kehendak bebas secara baik dan benar demi kemuliaan nama Tuhan, keselamatan jiwa dan menjadikan di atas bumi seperti di surga.**
Tikus-tikus manusia yang telah saya gambarkan dalam tulisan pertama di (KAJP NEWS/Bangun Hidup, Pakai AKAL dan HATI), merupakan suatu gambaran di mana tikus-tikus rumah itu hidup dan bertindak. Tikus rumah itu tidak selalu mengenal barang milik orang lain. Tikus rumah itu juga tidak berpikir dan merasa bahwa sesuatu (kesalahan) yang dilakukan merupakan suatu kesalahan. Tikus rumah itu juga merupakan tikus yang paling cerdik untuk melakukan apa saja, misalnya mencuri, makan beras, nasi, daging, dll. Anehnya adalah tindakannya itu dilakukannya tanpa seizin pemiliknya dan itupun ditiru oleh manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) serakah artinya selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki; Loba; Tamak; Rakus; misalnya: maskipun sudah kaya, ia masih serakah juga hendak mengangkangi (mengambil kepunyaan orang lain dengan tidak sah; hendak menguasai sendiri; misalnya, dia mengangkangi harta peninggalan orang tuanya sehingga adik-adiknya terlantar) harta saudaranya. Keserakaan adalah sifat dari serakah itu sendiri. Keserakaan berbanding lurus dengan ketamakan sehingga dalam tulisan ini kedua kata ini menunjuk pada arti yang sama. Sehingga keserakahan manusia adalah orang yang memprakterkkan sifat serakah/tamak ini.
Manusia yang memiliki ketamakan dinamakan manusia yang tamak atau serakah. Penyebab keserakahan itu memiliki dua kemungkinan, yakni pertama, kelemahan manusiawinya atau kedua, karena manusia itu sendiri dengan sadar, tahu dan mau melakukan tindakan kebinatangan itu dengan bertindak seperti orang yang serakah. Tindakan kedua ini merupakan bagian dari tindakan bebas (kehendak bebas) manusia, yang memiliki kemungkinan untuk tidak menjadi tamak karena memilih dan memutuskan untuk tidak melakukan tindakan ketamakan. Demi berhasilnya suatu usaha mereka yang bersifat tamak itu mengorbankan harta benda sesama tanpa sepengetahuan pemiliknya. Demi menjadikan status quo alias mencari nama baik atau agar bisnis ekonomi membaik seperti permainan togel dan ceme, mereka juga membenci bahkan menghilangkan nyawa sesama yang tak berdosa. Atau mereka membunuh secara terang-terangan demi pengembangan dan keberhasilan suatu bisnis gelap atau demi menduuki jabatan tertentu dalam pemerintahan.
PENJUALAN TANAH (Masyarakat Asli)
Di seluruh pelosok tanah Papua, orang setempat semacam dikagetkan dengan kehadiran banyak kabupaten baru yang menawarkan berragam tawaran yang menarik. Kebanyakan orang setempat terjerumus di dalamnya karena tidak sadarkan diri dengan budayanya. Mereka yang mempraktekkan sifat yang satu ini diakhibatkan oleh kurangnya pemahaman identitas dirinya sebagai manusia Papua. Sehingga baik secara sadar atau tidak sadar mereka lebih memilih untuk menikmati kebahagiaan diri sendiri dan mengorbankan harta kekayaan yang berharga, yakni “tanah”.
Mereka lebih cenderung menggantikan sepenggal “mama yang memberi hidup” dengan sepeda motor atau dengan uang secukupnya. Tanah yang dipandang sebagai mama itu dikianatinya. Kini bukan mereka punya mama lagi tetapi orang punya mama. Dengan begitu mereka sendiri melawan dirinya sendiri dan meruntuhkan pandangannya sebagai mama yang sudah lama berurat berakar dalam budaya manusia Papua. Hasil yang didapatnya adalah hidup menderita setelah motornya rusak dan uangnya habis. Lebih para lagi bagi mereka yang mau diperalat oleh orang yang melakukan bisnis gelap untuk menghilangkan nyawa orang tak bersalah.
Dampak keserakahan/ketamakan pada uang dan tawaran harta benda lainnya, diantara keluarga bahkan di dalam keluarga sendiri saling tidak suka, bermusuhan, bahkan saling menghilangkan nyawa (yang dulunya tabu). Kedua orang tua saling memusuhi, antara anak-anaknya pun demikian serta antara orang tua dan anak juga sama. Kini mereka kurang memiliki semangat kerja yang tinggi dan berharap, berharap dan berharap terus. Kalau begitu mereka berharap pada apa dan siapa? Apa perlakuan dan tindakan dari yang diharapkan itu?
KORUPSI (Pemerintah – Elit Politik)
Tak terkecuali sifat ketamakan itu juga dipraktekkan oleh para elit politik, para pejabat pemerintahan dan para penanggung jawab OTSUS. Ketika terjadi pemilihan umum (pemilu) badan legislatif, eksekutif dan yudikatif baik pusat maupun daerah selalu terjadi pembayaran suara.
Waaa, gila kekuasaan ini dapat menyogok suara hati dan akal sehat. Kehidupan iman dan moral sebagai orang beriman di satu sisi dan keyakinan nilai-nilai dasar dalam budaya dan penghayatannya di sisi lain dipertaruhkan di sini. Kini menjadi pertaruhan nyawa bukan sekedar suara yang dapat dimengerti sebagai pelafalan saja. Suara hati dan akal sehat para penguasa telah dikuasai oleh nafsu uang, harta benda dan kekuasaan. Orang demikian gampang mendapatkan segala sesuatu (entah baik atau tidak) baik dengan cara yang baik (dengan gaji atau honornya) maupun tidak (dengan hasil korupsi, pembunuhan, bisnis gelap, dll).
Selain itu, para pejabat pemerintah kabupaten-kabupatan baru (dan kabupaten pada umumnya) di Papua lebih memilih menjadi sebagai orang yang tamak/serakah. Pembangunan di Kabupaten Dogiyai yang tidak bertahap, sistematis dan terstruktur membuat ketidakpercayaan masyarakat kepada mereka, seperti hal-hal yang menjadi sorotan masyarakat itu seperti kinerja pemerintahan yang kurang jelas; pembangunan sentral masyarakat yang ambigu dan masih absurt. Lebih para lagi adalah usaha para pejabat pemerintah ini untuk membentuk kabupaten baru, kabupaten Mapia Raya yang sampai kini masih ditolak habis-habisan oleh para mahasiswa yang berasal dari Kabupaten ini. Selain itu, mahasiswa Kabupaten Dogiyai dan Deiyai yang belum lama ini mempertanyakan study akhirnya kepada pemerintah yang berwewenang. Kabupaten Intan Jaya di mana kepala pemerintah memukul mahasiswa yang rame dibicarakan media (Suara rakyat atau SURAT). Termasuk kabupaten-kabupaten baru yang masih belum dewasa lainnya yang menciptakan situasi demikian.
Hal-hal seperti ini menandakan penggunaan dana APBD, APBN (yang dialokasikan ke daerah), dana OTSUS yang kurang bahkan tidak maksimal. Itulah realitas yang terjadi, ketamakan manusia Papua pada masa global ini.
Ketetapan UU No. 21 tahun 2001 sebagai pengejawantahan dari ketetapan MRP RI No. IV/MRP/1999 dan ketetapan MRP RI No IV/2000 (Neles Tebai, Dialog Jakarta – Papua Sebuah Perspektif Papua, 2009: 03) tinggal sebatas aturan yang satatik. Masyarakat Papua secara umum menyatakan kegagalan dalam implementasinya. Orang-orang kecil dan lemah hanya mengalami 1% saja atau bahkan kebanyakan dari mereka yang tidak merasakan dan mengalami walaupun mencium bauhnya. Seola-ola dana OTSUS ditujukan kepada orang-orang yang menanganinya mulai dari pusat sampai daerah sehingga sekitar 99% atau bahkan 100% habis dalam perjalanan. Mungkinkah dana ini mempunyai tangan ataukah itu merupakan ulah dari manusia dengan tindakan kebinatangannya? Bukankah itu merupakan ketamakan?
PELANGGARAN HAM (TNI - Polri)
Ada begitu banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Kebanyakan dari pelanggaran itu dilakukan oleh TNI-Polri. Dari pelanggaran yang kecil-kecilan, seperti menyeting permainan togel dan ceme sedemikian rupa agar terjadi kekacauan terutama di beberapa kabupaten baru yang telah disebutkan di atas. Salah satu ulah penembakan Polri (Brimob) terhadap masyarakat sipil akibat permainan perjudian ini adalah seperti yang terjadi di Kabupaten Dogiyai (13-14/04/11) lalu. (baca:http://dpopolri.blogspot.com/2011_04_01_archive.html ; selain itu lihat juga http://westpapuamedia.info/2011/04/).
Hal yang lebih disayangkan adalah mengenai berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan pihak-pihak terkait, masih belum tuntas hingga kini. Kebanyakan dari masyarakat sipil, wartawan, LSM, dan DPRP (bagian ham – Laorensius Kadepa) maupun dari pihak Gereja menyuarakan dengan tegas demi menciptakan Papua tanah damai yang diidam-idamkan setiap orang di Papua.
Sejak 08 Desember 2014 lalu hingga kini tercatat begitu banyak pelanggaran HAM berat yang tidak ditangani secara damai. Pihak yang berwewenanga tidak menggunakan hati dan akal untuk menciptakan Papua tanah damai. Mereka hanya menggunakan kekuasaan, kekuatan dan kekerasan tanpa mengindahkan harkat dan martabat manusia.
Beberapa pelanggaran HAM berat yang dilakukan pihak terkait yang sampai sekarang masih belum ada penuntasannya antara lain: kasus Paniai berdara pada senin (08/12/14), penembakan seorang pemuda di Ugapuga-Dogiyai pada kamis (02/07/15), penembakan di Karubaga-Tolikara yang menewaskan satu orang umat GIDI pada jumat (17/07/15), penembakan 2 orang umat Koperapoka (28/08/15), penembakan seorang siswa di gorong-gorong, dll.
Peristiwa-peristiwa ini seolah-olah menjadi kenangan duka lara manusia Papua yang tak pernah berakhir. Peristiwa ini yang seola-ola mengendalikan manusia bukan manusia yang mengendalikan peristiwa. Pihak terkaitpun berdiam diri, tidak mau mengungkapkan dan menyelesaikan masalah HAM berat ini.
Keserakahan yang timbul dalam diri mereka, yakni masalah rakus akan kekuasaan dan jabatan, harta dan kekayaan, ekonomi dan politik atas negeri ini sampai mereka juga rakus manusianya. Sifat serakah ini mendorong diri mereka untuk bertindak seperti orang gila ataupun binatang. Kebinatangan itu tampak dalam kebrutalan melakukan tindak kekerasan sampai melakukan pelanggaran HAM berat yang berturut-turut.
KESERAKAHAN MANUSIA: Refleksi Kritis
“Kata-Nya lagi: "Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.” (Mrk 7:20-23).
Keserakahan yang dibicarakan dalam Injil karangan Markus 7:22 merupakan sesuatu yang datang dari dalam diri manusia bukan dari luar dirinya. Setelah dari dalam diri manusia timbul berbagai keinginan jahat (termasuk keserakahan) maka itu dilaksanakan dalam tindakan nyata, seperti membunuh orang tak bersalah, melakukan usaha/bisnis gelap, dll. Tindakan nyata yang keluar akibat keserakahan, itulah yang dapat menajiskan manusia sehingga tidak salah apabila Uskup Keuskupan Timika, MGR John Piliph Saklil Gayabi Pr bersuara “Pemerintah dan Negara jadikan negri ini najis” dalam media sosial on line Papua Anigou sebagai suara kenabiaan dan kegembalaannya. Tindakan keserakahan seperti ini menandakan bahwa suara hati yang baik tidak didengarkan sehingga tidak memutuskan pula untuk memilihnya secara baik pula.
Sejak penciptaan, Allah memberi kebebasan (kehendak bebas) untuk berbuat apa saja sesuai kehendak bebasnya. Hal ini berarti manusia bebas memilih dan memutuskan untuk melakukan jahat atau baik. Manusia Papua pada zaman kini dengan kehendak bebasnya lebih memilih menjadi tamak/serakah. Itu berarti manusia Papua memilih menjauh dari hadirat Allah dan tidak patuh pada perintah-Nya.
Sifat tamak merupakan suatu kekacaubalauan yang timbul dalam diri manusia. Manusia yang mempraktekkannya adalah mereka yang mau hidup dalam kekacaubalauan alias ketidakdamaian hidup sehingga ketamakan menusia yang demikian menciptakan situasi ketidakdamaian hidup di Papua.
Allah mengajak manusia untuk menjadikan perintah dan hukum-Nya miliknya sehingga perintah itu menuntunnya pada kedamaian. Manusia yang demikian tentu selalu mendatangkan kebaikan, keselamatan dan kebahagiaan serta menciptakan kedamaian.
Namun, perasaan dan pikiran manusia tamak/serakah telah tumpul sehingga mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan kemudian mengerjakan dengan serakah segala macam kecemaran, termasuk keserakahan itu sendiri. Daya nalar dan kepekaan sebagai yang dikuasai nafsu merupakan akibat dari tidak melestarikannya suara hati/hati nurani dan akal sehat dengan baik. Pembiaran terhadap hati dan akal akan berdampak pada pembiaran terhadap mengambil keputusan yang baik. Penggunaan akal dan hati yang baik mesti diutamakan karena mengabaikan salah satunya sama dengan orang yang berada dalam ketakter-arah-an hidup untuk menjadikan dunia ini damai.
Ketamakan akan hilang dengan sendirinya apabila menanamkan dalam hati dan pikiran dengan komitmen yang kuat untuk membangun bumi ini. Dengan demikian dapat mempergunakan kehendak bebas secara baik dan benar demi kemuliaan nama Tuhan, keselamatan jiwa dan menjadikan di atas bumi seperti di surga.**
0 komentar:
Post a Comment