“MARI KITA BELAJAR DARI KHASUS TOLIKARA DEMI MENCIPTAKAN PAPUA TANAH DAMAI.”
Jayapura, KAJP/NEWS –Kalimat di atas merupakan tema seminar sehari yang diselenggarakan oleh senat mahasiswa lembaga Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” (STFT “FT”), khususnya biro Kelompok Komunikasi Realitas Sosial (KKRS) di Aula Santo Yosef Seminari Tinggi Interdiosesan Yerusalem Baru (STIYB) pada rabu (30/09/15).
Hal ini ditegaskan oleh ketua Sema, Daniel Gobai dalam kata sambutannya. Ia mengatakan bahwa kegiatan ini diadakan atas inisiatif dari biro KKRS. Pada malam hari sebelumnya, koordinator biro ini, Frater Lukas Walilo sempat mengatakan bahwa besok ada seminar tentang khasus Tolikara.
Ia melanjutkan bahwa yang diundang sebagai nara sumber adalah Presiden Gidi (pdt Dorman Wandikbo), Kapolda Papua, Advokasi Hukum (Bapak Ustat Awer), ketua NU (Dr. H. Toni V. M. Wanggai, S. Ag. MA) dan tinjauan dari bidang akademisi/sosial (Drs. Beri Renwarin). Namun salah satu diantara para pemateri tidak hadir pada hari H-nya.
Sejak dimulainya seminar, jam 10.35 para peserta seminar mulai masuk memenuhi ruangan aula. Mereka yang datang dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan para pengamat hukum dan ham, para wartawan, para dosen hingga para mahasiswa dan para simpatisan.
Dalam pemaparan materi, Pendeta Dorman Wandipko menyampaikan materinya dengan judul “Inseiden Tolikara Menolong Kita Mengenal Gidi (Gereja Injili Di Indonesia) ‘Gereja Bercorak Khas Pribumi’.” Dalam lembaran Photocopy yang dibagikan sema, mulai halaman satu sampai tujuh membicarakan tentang gereja Gidi, dari halaman delapan sampai Sembilan memuat tentang “Kronologi Insiden Tolikara 17 Juli 2015 Yang Dikubur Media” dan halaman Sembilan sampai halaman sepuluh memuat tentang Refleksi: Insiden Tolikara dan Papua Tanah Damai.
Ini kronologi yang dipaparkan presiden Gidi (dikutip dari photocopy yang dibagikan, hal. 8-9):
•Ada kesepakatan bersama antara pimpinan Gidi, Pemda Tolikara, Pihak Muslim & Kapolres Tolikara pada 30 Juni 2015: Seminar dan KKR pemuda GIDI, & ibadah Idul Fitri di Karubaga tetap berjalan, dengan syarat, ibadah Idul Fitri dapat dilaksanakan di dalam musola dan tidak memperdengarkan pengeras suara (toa);
•Surat edaran GIDI yang pertama tanggal 11 Juli 2015, telah dirubah pada tanggal yang sama sesuai dengan percakapan per-telepon antara para pihak: Bupati Kabupaten Tolikara, Presiden Gereja GIDI, Ketua Wilaya GIDI Tolikara, Kapolres Tolikara, disesuaikan dengan kesepakatan bersama;
•Ibadah Idul Fitri pada tanggal 17 Juli dilaksanakan di depan Lapangan Koramil Karubaga dengan menggunakan empat (4) buah pengeras suara (toa) dengan ukuran yang besar, diletakkan di tempat arah lapangan: timur, barat, utara dan selatan;
•Pemuda GIDI yang sedang mengurus seminar dan KKR di lokasi bagian yang berjarak sekitar 300 meter dari lokasi ibadah Idul Fitri, dikejutkan dengan gema suara ibadah umat Muslim yang keluar dari pengeras suara tersebut;
•Menyebabkan para pemuda berjumlah sekitar 8-12 orang berinisiatif untuk turun dan menyampaikan aspirasi kepada mereka yang beribadah di lapangan Koramil untuk tidak mempergunakan pengeras suara;
•Setelah para pemuda menyampaikan aspirasinya, mereka kembali kea rah gereja, setelah itu terdengar bunyi tembakan (sekitar jam 07.00 wp) dan mereka melihat beberapa orang muda yang tidak ikut dalam kelompok 12 orang, tertembak di beberapa titik di lapangan terbang. Korban yang tertembak adalah mereka yang sedang menonton. Penembakan terjadi sedikit jauh dari lokasi sholat Idul Fitri;
•Warga Karubaga dan para pimpinan GIDI yang dikejutkan oleh bunyi tembakan, menuju ke lokasi kejadian;
•Jundi Wanimbo dan Arianto Kogoya, 2 pemuda GIDI yang dijadikan tersangka, mereka yang justru meminta masyarakat untuk mundur karena aparat memakai senjata. Jundi dengan menggunakan kebiasaan masyarakat setempat dalam menghalau massa untuk tidak melakukan tindakan kekerasan atau kekacauan lain, membuka baju lalu mengguling badannya di atas tanah, memintah pemuda dan warga yang ada untuk mundur;
•Mushola terletak di samping Koramil dan setelah penembakan terjadi, aparat langsung mengambil langkah menjaga musola tersebut. Sehingga adalah tidak mungkin bagi masyarakat untuk mendekati lokasi tersebut lalu membakar. Sampai hari ini belum jelas siapa pihak yang membakar kios-kios yang merambat sampai ke mushola;
•Menurut warga yang saat kejadian berada di lapangan, mereka sempat melihat diantara warga yang sholat, ada yang mengeluarkan senjata laras panjang maupun pistol dari balik sarung dan tikar yang dipakai sembahyang lalu menembak ke arah warga;
Beliau pun berpendapat bahwa dalam memandang peristiwa Tolikara, ada tiga pandangan, anatara lain:
Pertama, Jakarta: memandang khasus Tolikara sebagai pembakaran mushola dan asap yang banyak;
Kedua, Polda: terjadi penyerangan dari pihak pemuda (2 orang);
Ketiga, sebenarnya yang terjadi bukan masalah api, musola dan penyerangan tetapi masalah toa.
Ia pun menambahkan bahwa mulai pada tahun 2010, umat muslim tidak memakai toa.
M. Wanggai juga mengaku bahwa di sana sebenarnya tidak ada apa-apa dan yang terjadi sebenarnya adalah kios BBM-nya yang terbakar.
“Ketika teman-teman saya berkunjung ke sana, mereka melihat bahwa tidak ada pembakaran,” katanya. “sehingga ini merupakan provokasi dari orang tertentu,” sambung ketua NU ini. Beliau juga mengatakan bahwa tidak ada konflik tetapi cuma mis komunikasi antara kami (muslim, pihak keamanan dan GIDI).
Selanjutnya, Ustat Awer mengatakan ada dua peristiwa hukum: penyerangan dan pembakaran musola sementara dari versi GIDI adalah penembakan. Berkaitan dengan ini beliau mengatakan pasal pelanggaranpun mulai berubah-ubah hingga kini masih belum jelas, walaupun beliau telah sampaikan bahwa pakai pasal yang ditetapkan pertama.
Selain itu, ia mengutip pembicaraannya dengan Kapolda “mereka (11 orang korban, 1 diantaranya meninggal) yang ditembak itu karena pelaku penyerangan,” kata kapolda kala bertemu empat mata. Hal ini juga merupakan sebuah tanggapan pertentangan dari apa yang dikatakan presiden GIDI sebelumnya bahwa kalau mereka menyerang pasti korban tertembak di sekitar mushola tetapi mereka tertembak jauh dari musolah. Menurutnya, dikatakan oleh mereka (para keamanan yang ada di situ) bahwa peluruh melenceng, itu tidak benar.
Menanggapi hal ini Ustat Awer, nara sumber Advokat Hukum mengatakan bahwa aparat tidak melihat langkah-langkah perdamaian yang kontinyu sehingga langkah-langkah yang diambil selalu menimbulkan luka.
Selain itu, hal ini dikatakannya juga dalam hubungannya dengan penangkapan dua orang pemuda GIDI karena mereka ditangkap tanpa bukti yang jelas. “Yang menjadi janggal adalah tangkap orang tanpa bukti yang jelas. Tangkap dulu baru cari bukti. Itu melanggar hukum,” katanya ketika memberikan penegasan tentang penangkapan dua pemuda itu.
Mantan pekerja di Lembaga Ham Papua (LHP) ini menyayangkan media-media (baik elektronik maupun sosial) yang menjadi sumber konflik. “Saya menghimbau kepada teman-teman wartawan agar menjadi media pendamai bukan konflik,” katanya. Sebelumnya, ia memberikan pernyataan bahwa Metro TV dan TV one lebih dulu ada di sana. “Mereka (Metro TV dan TV One) sudah duluan ada di sana (tempat kejadian),” menegaskan pernyataannya.
Drs Beri Renwarin memberikan perkembangan di media-media (elektronik, sosial dan cetak) terkait peristiwa ini. Ia memulai dengan media cetak CEPOS sebanyak 27 tulisan yang telah dibacanya. “Dari semua yang saya baca kasusnya sama (seperti yang telah dipaparkan tiga pemateri sebelumnya), api menyebar. Namun media elektronik dan sosial (nasional), di sana dikatakan lain, yakni mushola dibakar” katanya. Sambungnya, “karena itu, ada kelompok pengecam bahkan menghakimi namun cukup banyak juga yang menyatakan keprihatinan. Ada yang justru bersikap sinis (baca di media mensos) karena mereka bandingkan pengalaman Tolikara ini dengan peristiwa-peristiwa di tempat lain.”
Dosen sosiologi STFT “FT” ini menghimbau kepada semua yang hadir untuk membaca baik pernyataan 75 imam Katholik demi Papua Tanah Damai. Katanya: “Teman-teman baca baik, dengan jelas pada tanggal 14 Juli 2015 ada 35 pastor yang ingin mendorong agar menjadikan Papua Tanah Damai.” (baca: Pernyataan 75 Imam Katolik Tanah Papua Diapresiasi, MAJALAH SELANGKAH, Kamis, 16 Juli 2015 22:41).
Selain itu, ia juga memberikan beberapa harapannya untuk kedepan terkait peristiwa Karubaga di Tolikara: pertama, mesti menjalin relasi yang lebih luas atau membangun relasi keluar dari GIDI dan muslim sendiri; kedua, agama dan masyarakat seperti sekeping mata uang tetapi jangan kaget kalau itu dirong-rong; ketiga, Papua Tanah Damai bukan slogan tetapi ini merupakan kesadaran kita.
“Akhirnya dari semua ini, saya katakan, kita tetap memperjuangkan Papua Tanah Damai.”
Selanjutnya, Ibu Frederika Korain mengatakan bahwa dirinya sebagai orang katolik merasa gereja katolik di Jayapura diam atas semua ini. Maka dirinya bersyukur dan berterimakasih kepada pihak STFT “FT” yang memfasilitasi berjalannya kegiatan ini karena ini sebagai sebuah dukungan dari Gereja katolik di Jayapura. “Saya sebagai orang katolik merasa bersyukur karena gereja katolik yang memfasilitasi berjalannya kegiatan ini melalui STFT FT,” tutupnya.
(Silvester Dogomo)
0 komentar:
Post a Comment