Para Pembunuh Ratapan: Kidung-Kidung Anak Papua, Dambaan Kebebasan dari Duka Nestapa
Judul:
Para Pembunuh Ratapan: Kidung-Kidung Anak Papua, Dambaan Kebebasan dari Duka Nestapa
Penyair:
Honaratus Pigai
Penerbit:
Pilar Media
Tahun Terbit:
2015
Telah hadir sebuah buku puisi karya Honaratus Pigai, berjudul Para Pembunuh Ratapan.
Berikut ini adalah cuplikan penyair dalam kata pengantar atau yang disebut setawa-dagi oleh penyair:
Karya puisi ini saya beri judul: “PARA PEMBUNUH RATAPAN: Kidung-Kidung Anak Papua, Dambaan Kebebasan Dari Duka Nestapa” merupakan syair-syair yang mengalir otomatis dari hati sang anak manusia Papua atas realitas Papua yang dirasa, dipikirkan dan dialaminya sendiri. Kita dapat melihat kenyataan yang terjadi bahwa gelombang kekerasan amat sangat memukul mundur damai dan kebebasan. Damai yang diharapkan agar kekerasan tidak menjadi penguasa tak kunjung datang. Setiap waktu kekerasan dan konflik terjadi tanpa ada ujung pangkalnya. Manusia yang harus mendapatkan penghormatan terhadap martabatnya, malah mendapatkan title “binatang.” Akibat titel kebinatangan mengajak para pemberi titel dengan muda memburu dan membunuh. Humanis terkikis dengan sikap arogan dan pelanggaran hak asasi manusia. Kebebasan dari kekerasan yang berkepanjangan di Papua pun tak ada solusi tepat. Sepertinya sudah mengakar.
Manusia sudah tidak lagi menghargai sesamanya sebagai manusia. Manusia dianggap bukan lagi sebagai manusia. Manusia dianggap binatang. Anggapan melulu negatif thinking ini sangat tidak lagi menghargai kodrat manusia, melainkan mendekati penghinaan dan pengorbanan terhadap kodrat asali manusia. Yang aneh, penghinaan ini sedang berjalan terus di era modern dengan mendasarkan sikap egoisme fundamental. Karena keangkuhan materialisme, mengakibatkan mata nurani menjadi buta aksara melihat nilai kemanusiaan. Keangkuhan membuat orang ingin menghabiskan hak kepunyaan orang lain. Keangkuhan pada para materialis memeranakan dan mencucurkan air mata sesama manusia. Ini realitas yang sungguh-sungguh tidak manusiawi dan “biadab.”
Di sisi lain, para pemegang kekuasaan Negara Indonesia pun dengan kokoh menstigma manusia Papua dengan pandangan-pandangan negatif (kotor, bodoh, pengacau, pemabuk, dan pezinah). Stigmatisasi lebih tinggi lagi yang dialamatkan kepada rakyat Papua yang memperjuangkan keadilan – kebenaran – kebebasan – kedamaian adalah Separatis dan Makar. Sungguh identitas rakyat Papua terkikis habis-habisan. Apalagi stigmatisasi itu dibarengi dengan sikap arogansi dan dehumanisasi, tanpa peduli. Nyawa anak manusia Papua menjadi santapan tiap hari oleh kaum pencabut nyawa. Keadaan ini amat sangat tidak bersahabat.
Di tengah realitas kebobrokan dan hilangnya nilai kemanusiaan ini, anak manusia keriting berkisah di balik duka nestapanya atas hilangnya harga diri dan jati dirinya sebagai manusia: “Perbuatan-perbuatan salah adalah biasa bagi manusia, tetapi perbuatan pura-pura itulah sebenarnya yang menimbulkan permusuhan dan pengkhianatan serta pemusnahan”.
Sambil duduk merenung, sikap optimis untuk menempuh jalan tengah yang dapat menggugurkan semua kebobrokan manusia bobrok menjadi prioritas. Karena itu, ratapan harus dibunuh, kemanusiaan harus menang, penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia harus diprioritaskan, solusi damai dan bebas harus diperhitungkan, agar tidak ada lagi penghilangan atau pemusnahan nilai kemanusiaan di Papua. Dengan tegar dan kokoh melangkah dengan suara nyaring, aku berseru dalam tulisanku:
Aku Dan Tulisanku
Adakah orang bertanya tentang aku,
ketika aku tak pernah menulis satu kata?
Adakah orang akan mencari namaku,
ketika aku tak pernah meninggalkan pesan-kesan?
Tulisanku adalah diriku,
diriku mustahil adalah tulisanku.
Jari-jariku bekerja dengan otakku,
tapi tidak dengan diriku.
Diriku adalah kumpulan prilaku potensi dosa,
diriku adalah susunan tulang daging darah,
yang mungkin telah menyerap barang haram.
Diriku bukan milikku,
tapi kepunyaan Sang Pencipta,
lingkunganku telah mengklaim demikian.
Adakah orang pernah menerima aku berbeda dengan tulisanku?
berjayalah kalimat-kalimat yang kutulis,
sebab mereka mendapat teman dan musuh yang menghormati.
Ingin aku memasukkan diriku ke dalam tulisanku,
harapku bisa mendapat sapaan hormat yang sama.
Tulisanku adalah produksi otakku,
tak dapat bercengkrama dengan prilakuku,
yang diproduksi oleh niatku yang subjektif maupun objektif.
Tulisanku memberi tahu tentang aku ke dunia,
sementara aku tak pernah berbuat yang sama kepada tulisanku.
Aku dan tulisanku,
adalah dari satu sumber,
yang sama-sama mendambakan kebebasan.
Honaratus Pigai
Timika, 16 Maret 2014 (di hari pentahbisanku jadi Diakon)
Aku Dan Tulisanku
Adakah orang bertanya tentang aku,
ketika aku tak pernah menulis satu kata?
Adakah orang akan mencari namaku,
ketika aku tak pernah meninggalkan pesan-kesan?
Tulisanku adalah diriku,
diriku mustahil adalah tulisanku.
Jari-jariku bekerja dengan otakku,
tapi tidak dengan diriku.
Diriku adalah kumpulan prilaku potensi dosa,
diriku adalah susunan tulang daging darah,
yang mungkin telah menyerap barang haram.
Diriku bukan milikku,
tapi kepunyaan Sang Pencipta,
lingkunganku telah mengklaim demikian.
Adakah orang pernah menerima aku berbeda dengan tulisanku?
berjayalah kalimat-kalimat yang kutulis,
sebab mereka mendapat teman dan musuh yang menghormati.
Ingin aku memasukkan diriku ke dalam tulisanku,
harapku bisa mendapat sapaan hormat yang sama.
Tulisanku adalah produksi otakku,
tak dapat bercengkrama dengan prilakuku,
yang diproduksi oleh niatku yang subjektif maupun objektif.
Tulisanku memberi tahu tentang aku ke dunia,
sementara aku tak pernah berbuat yang sama kepada tulisanku.
Aku dan tulisanku,
adalah dari satu sumber,
yang sama-sama mendambakan kebebasan.
Honaratus Pigai
Timika, 16 Maret 2014 (di hari pentahbisanku jadi Diakon)
0 komentar:
Post a Comment