MENGGUGAT MODERNITAS MANUSIA ZAMAN EDAN


Ditulis oleh
PERDANA PUTRI

Judul       : Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam
Penulis    : Saras Dewi
Tahun      : 2015
Penerbit  : Marjin Kiri
Tebal       : xiv + 172 hlm, 14×20,3 cm

 
Buku, Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia Dengan Alam

Dalam suatu petikan kuotasi, Paulo Coelho pernah menyatakan kegelisahannya tentang sikap manusia dalam melihat lingkungan. Secara ringkasnya, Paulo Coelho mengatakan mengapa kita terus mengatakan ‘kita harus menyelamatkan bumi’? Permasalahannya bukan mengapa menyelamatkan, melainkan mengapa kita. Dalam artian kita (manusia) adalah pusat dari semuanya. Kita merasa yang paling punya kuasa; untuk merusak dan membangun. Padahal menurut Coelho, alam akan selalu seperti ini, global warming selalu terjadi dalam berkali-kali siklus umur bumi, lalu siapa kita bisa bicara ‘menghentikan global warming‘.

Pertanyaan singkat tersebut sebenarnya bisa dijawab dengan, “Tentu kita harus menjaga alam, bukankah alam menyediakan kehidupan bagi kita?”. Jawaban ini tidak sepenuhnya salah, tapi tidak juga sepenuhnya benar. Sebab, bersepakat dengan kerangka berpikir Saras Dewi dalam buku ini, saya menganggap alam adalah kehidupan itu sendiri. Artinya, ketika kita hanya melindungi alam dengan alasan objektifikasi bahwa alam memberikan kebutuhan kita, maka permasalahan ketidakseimbangan (disekuilibrium) alam akan selalu ada. Di masa sekarang, permasalahan ketidakseimbangan alam yang berlarut-larut terlihat dari program-program CSR (corporate social responsibility) perusahaan yang sebenarnya tidak berorientasi pada alam, melainkan tetap pada keuntungan perusahaan — entah itu branding, marketing, atau bahkan profit seutuhnya.

Dalam bukunya, Saras Dewi menguraikan banalitas antroposentrisme yang mendaku alam sebagai objek. Bahwa hanya dengan menganggap alam sebagai provider dari kebutuhan kita, permasalahan lingkungan tidak akan bisa diselesaikan secara fundamental. Buku Ekofenomenologi ini berangkat dari hipotesa bahwa permasalahannya bukan ada di manusia ataupun alam, melainkan bagaimana pemaknaan terhadap relasi antara manusia dan alam mengalami distorsi. Disebabkan oleh pemaknaan hubungan yang terganggu — dan bahkan jarang diangkat dalam kajian lingkungan, manusia tidak jeli dan mendasar dalam menanggapi permasalahan lingkungan, oleh sebab itu kerusakan lingkungan terus terjadi.


Fenomenologi Sebagai Dasar

Dalam menyoal hubungan yang terjadi antara alam dan manusia, maka penerapan fenomenologi tidak hanya tepat, tapi juga sesuai dengan kondisi riil yang ada saat ini. Singkatnya, fenomenologi membahas relasi antara subjek dan objek, jadi kesadaran keduanya bukanlah hal yang terpisah. Fenomena yang terjadi di antara mereka bukannya tidak bermaksud dan aksidental, melainkan ada makna yang mendalam ketika subjek dan objek berinteraksi, di dalam suatu kesatuan ruang dan waktu.

Fenonemologi berargumen hanya dengan memahami relasi yang terjadi antara subjek-objeklah, kita akan melihat subjek dan objek secara holistik di dalam kerang relasi tersebut. Fenomenologi Husserl sebagai salah satu kerangka pikir yang dipakai di buku ini mengkritik pola pikir dualisme modernis ala Cartesian yang terlalu memisahkan subjek-objek, seolah kebenaran final hanya akan didapat dari melihat objek sebagai objek semata. Padahal, menurut Husserl, kebenaran final seperti itu tidak ada karena kita hanya akan mendapat makna yang terpecah, berdasarkan relasi yang terjadi antara subjek dan objek. Husserl berpendapat, sebelum kita terburu-buru menilai dan memahami objek, kita perlu melakukan penundaan (epoche), di mana objek di’kurung’ (bracketing) sebelum diberi makna oleh subjek. Artinya, kita menunda pemaknaan/putusan terhadap objek, dengan catatan ia harus memahami relasi apa yang berjalan di antara keduanya. Dengan ini, subjek dapat melihat objek seutuhnya; objek yang berada di luar dirinya (subjek) dan objek yang sudah diberi kesadaran oleh si subjek.

Melanjutkan Husserl, fenomenologi Merleau-Ponty bergerak memahami tubuh sebagai subjek, bukan lagi objek semata. Kesadaran tubuh sebagai subjek akan mengantar kita untuk memahami bahwa tubuh ada di dalam ruang dan waktu, artinya; subjek menyadari kehadirannya di lingkungannya (Dewi, 2015: 94). Kita sepatutnya tidak membatasi lagi antara dunia alam dan dunia manusia, karena hubungan yang ada mengalir, dan bahkan alam adalah tempat kehadiran dan refleksi kita akan dii sendiri. Dengan demikian, batasan superfisial antara alam-manusia harusnya segera kita pisahkan.

Pendekatan fenomenologi dari dua filsuf di atas menunjukkan bahwa pemaknaan objek sesungguhnya tak pernah tersibak secara utuh, sebab itu terkait dari hubungan intensional dari subjek. Hal ini yang dapat mengawali pertanyaan, ‘benarkah alam merupakan entitas yang tak berkesadaran?’ — dalam artian kesadaran layaknya manusia. Mengingat, entitas objek tak akan pernah kita ketahui secara absolut/final, bagaimana kita tahu bahwa alam — seperti tumbuhan, binatang, — tidak memiliki kesadarannya sendiri? Tentu, hanya karena kita tidak memahami perilaku hewan dan tumbuhan, bukan berarti mekanisme sejenis kesadaran manusia tidak ada. Hal yang serupa dialami oleh Jane Goddall ketika ia meneliti simpanse Afrika, dosen pembimbingnya menolak metode pendekatan behavioral, karena menganggap simpanse tidak memiliki karakter, melainkan hanya mekanisme tertentu saja — senada dengan pola pikir Cartesian yang menganggap binatang bekerja seperti mesin.

Sepanjang sejarahnya, kita hanya melihat bahwa manusia berusaha menalukkan (conquering) alam, di balik alasan survivalitas. Namun, di bawah kacamata Heidegger, survivalitas bukanlah hal banal agar manusia tetap bertahan. Survivalitas tidak hanya sebatas resistensi (bertahan), melainkan juga rekognisi (penyadaran) terhadap dunianya, penanda dari keberadaan dirinya di dalam ruang dan waktu (Dasein) (Dewi, 2015: 104).

Dalam kerangka survivalitas tersebut, teknologi lahir dengan alasan efisiensi dan mempermudah manusia, sehingga merasa tidak apa mengorbankan alam. Distorsi pemaknaan relasi manusia-alam juga tergambar dari relasi manusia-teknologi. Teknologi dalam argumen umum dianggap sebagai biang keladi dari perilaku masyarakat, ia bergerak dari yang komplementer menjadi sesuatu yang niscaya. Oleh karena itu, argumen perkembangan teknologi yang selaras dari masyarakat, dijadikan alasan untuk membuka pabrik-pabrik baru untuk komponen suatu gadget. Menurut Heidegger, ini bermasalah karena dengan begitu kita kembali membenturkan alam sebagai objek. Padahal, teknologi memiliki esensi lain di luar kegunaan bagi manusia semata, ia dapat menyibak realita dan relasinya dengan dunia. Artinya, keliru untuk memandang teknologi tidak lebih dari suatu perangkat mekanistis.

Teknologi tidak bebas nilai, manusia yang memberikan nilai baginya; negatif maupun positif. Disinilah relasi itu harus dimaknai. Penciptaan teknologi tak mesti selalu mengorbankan alam. Relasi yang terdistorsi antara alam dan manusia terefleksikan dari telos atau pertanggungjawaban manusia sebagai pengguna teknologi tercermin dari luaran teknologi yang ia pakai. Dalih teknologi untuk membabat alam adalah bukti tidak jelinya manusia memandang relasi ia dengan teknologi, dan lebih jauh dengan alam. Ketidakpedulian terhadap lingkungannya ini menandakan ketidakyakinan Dasein terhadap apa yang ada di sekitarnya (tidak ada rasa kepemilikan terhadap sesuatu). Padahal, kepedulian merupakan otentisitas Dasein — yang menandakan ke’ada’-an dirinya di dalam ruang dan waktu.


Apakah Harmonisasi Alam Suatu Utopia?

Saya selalu meyakini bahwa budaya merupakan hasil dialektika antara alam dan manusia. Artinya, alam akan selalu tercermin di dalam budaya yang diskursif, atau dipraktikkan oleh manusia. Jelas, melalui premis itu, alam dan manusia tidak mungkin dipisahkan. Namun menjaga keseimbangan alam terdengar seperti mimpi di siang bolong. Mampukah manusia, dengan egonya yang bahkan menutupi kesadaran makhluk lain hanya karena makhluk lain berbeda dari dirinya, berhasil mewujudkan itu? Saya rasa pokok permasalahannya bukanlah apakah kita mampu, melainkan apa kita mau.

Dari paparan buku ekofenomenologi ini, arogansi manusia ketika ia membabat alam dan bahkan berusaha menundukkan alam atas alasan keselamatan manusia berasal dari efisiensi — suatu kosakata yang bagi saya terdengar sangat akrab sebagai orang yang tidak menyukai sistem kapitalisme. Di bawah nama efisiensi, relasi jelas tidak punya makna. Baginya, yang ada hanya masalah objek atau subjek, dan karena subjek dirasa lebih berkuasa dibanding objek, subjeklah penentu keadaan mana yang baginya lebih menguntungkan bagi spesiesnya.

Marius De Geus, di dalam buku ini, mengatakan bahwa keseimbangan lingkungan butuh bermain di kebijakan politis. Namun, politik yang ada saat ini pun tidak bisa terlepas dari kerangka ekonomi negaranya. Kebijakan ekonomi suatu negara akan mempengaruhi putusan-putusan lain yang akan melanggengkan maupun merugikan ekonominya. Pertanyaannya; sampai kapan ekonomi menjadi panglima? Benar, bahwa permasalahan ekonomi adalah permasalahan fundamental, tapi itu juga bukan alasan yang cukup kuat bagi pembebasan lahan semena-mena di Rembang, ataupun di tempat lain.

Fungsi negara sebagai otoritas tertinggi untuk mengawasi kebutuhan pokok bersama (collective goods) tidak berjalan karena relasi yang tidak seimbang ini. Malah sebaliknya, banyak negara yang justru melanggengkan dan menyebarkan paradigma alam sebagai objek. Jika kita ambil contoh di Indonesia, maka peraturan tentang tanah (agraria) akan jadi contoh yang tepat. Di dalam logika hukum Pokok Agraria (UU PA), tanah tidak dilihat sebagai komoditas (objek nilai jual) belaka, melainkan materi yang memiliki fungsi sosial dan berelasi erat dengan masyarakat secara sosio-kultural. Artinya, dalam pondasi hukumnya, ada perlindungan terhadap relasi itu sendiri. Namun, undang-undang di bawahnya yang dibuat pasca 1965, justru bertentangan dengan logika dasar UU PA, misalnya dengan UU Mineral, Tambang, dan lain-lain.

Saya sendiri sebenarnya sependapat dengan Bookchin (yang pemikirannya juga dibahas sekilas di buku ini) dengan desentralisasi dan merombak total (hingga mengurangi) sistem perkotaan yang ada sekarang, Hanya saja menurut De Geus dampak ini tidak mempertimbangan risiko terhadap peradaban manusia yang dinilai dari kepesatan kaum urban. De Geus juga mempertanyakan aplikasi dari sistem anarko model Bookchin. Namun, masyarakat otonom seperti itu justru tejadi di wilayah-wilayah non-urban. Beberapa masyarakat adat (dengan asumsi non-modernis dan ‘masih tradisional’) adalah contohnya , dan keengganan untuk melihat bagaimana adat berelasi pada alam juga menjadi permasalahan tersendiri dalam mengurai relasi antara kita (dengan asumsi sebagai masyarakat modern) dan alam,


Pada Akhirnya

Buku Saras Dewi sejatinya memberikan metode paling fundamental untuk membingkai permasalahan kita dengan alam. Dan ia benar; ini bukan masalah membela alam atau membela peradaban manusia, karena semuanya harus seimbang untuk mencapai harmonisasi – suatu impian semua orang. Hanya saja, yang lebih berat daripada mewujudkan ekuibrilium alam dan manusia, akankah pemahaman kita akan alam dapat berubah? Bagaimana kita dapat mengubah paradigma dan moralitas tujuh milyar manusia untuk sama-sama memikirkan pembangunan yang juga tidak merugikan alam? Saya tidak bilang itu tidak mungkin, tapi bagaimana persisnya pemaknaan ulang terhadap relasi ontologis antara alam dan manusia ini terjadi? Ini adalah tugas besar yang adiluhung, dan di tengah jargon pseudo-pascamodernis, pemaknaan ulang relasi ontologis itu seperti mimpi di siang bolong.

Katakan kita memiliki proyek untuk membuat mobil ramah lingkungan, panel surya, sayuran organik dan lain-lain, tapi bahkan usaha ini pun menjadi objek. Saya sangat mengapresiasi barang-barang eco-friendly, tapi yang tidak saya senangi adalah bagaimana misalnya, barang-barang mahal seperti kosmetik ramah lingkungan dan sayur organik yang olahannya lebih sehat, dilabeli harga mahal seolah industri yang membuatnya hendak bilang ‘oh, perawatan lingkungan memang mahal, oleh karena itu wajar ketika ada pembangunan tak ramah lingkungan, agar konsumen bisa mendapatkan harga barang yang lebih murah’. Jadi, pembangunan yang mempertimbangkan alam tidak menjadi suatu keniscayaan, melainkan bagaimana agar saya mendapatkan brand dengan baik tapi tetap dianggap berkontribusi terhadap peradaban. Hal tersebut pun saya rasa juga disebabkan oleh relasi yang timpang tadi, yang diperkuat dengan mekanisme pasar ala-ala monster kita bersama: kapitalisme.

Di tengah panji pasar, efisiensi adalah kunci. Untuk apa mempersulit pembangunan jika ada jalur mudah? Bukankah itu janji Jokowi kepada investor luar negeri di forum APEC? Bahwa ia akan mempermudah pembebasan lahan di Indonesia untuk ‘membangun’ kawasan ekonomi yang ramah bagi para pemilik dana. Relasi manusia dan alam yang dimaknai secara lebih ontologis ataupun mendasar, serta mendekonstruksi antroposentrisme, nyaris tidak pernah terpikirkan.

Sejak awal peradaban, kita selalu diceritakan ‘nenek moyang menaklukkan alam’, seolah alam adalah suatu hal yang bisa kita taklukkan – artinya kita terpisah dari alam, hanya karena kita secara ‘empiris’ merasakan akal kita, dan kita tidak tahu apa yang sebatang pohon Jati pikirkan. Padahal, alam adalah kita. Alam adalah refleksi seluruh kehidupan kita dengan siklus kehidupannya yang terus mengalir. Bahkan ia ada jauh sebelum kita. Apakah karena kemegahan dan perwujudan ketangguhan di dalam alam itulah yang membuat kita takut dan ketakutan itu mengalienasi hubungan kita terhadap alam? Mungkin. Apakah ini bentuk arogansi? Ya.

Pada intinya, yang jelas di masa depan nanti, ada harga mahal yang harus dibayar untuk menjadi manusia modern yang terus-menerus membedakan dirinya dan alam. Yang merasa angkuh dengan beberapa ribu dollar sudah cukup untuk mengganti penghayatan manusia terhadap alam.


Penulis merupakan mahasiswa S1 Sastra Rusia Universitas Indonesia. Saat ini sedang memasuki tingkat akhir dan berjuang menyelesaikan skripsinya yang fenomenal namun sedikit terganjal birokrasi kampus. Dia merupakan anggota Serikat Mahasiswa Progressif UI, juga KSM Prasetya UI. Di Komune Rakapare, wanita feminis yang akrab dipanggil Pepe ini adalah anggota tim analis.

Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: