Papua di Tengah Pertengkaran antara Ideologi dan Kebijakan

Jika kita menelusuri kembali sejarah integrasi Papua ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sesungguhnya Act of Free Choice yang diselenggarakan tahun 1969 dinilai cacat hukum, HAM dan Demokrasi. Mengapa demikian? Sebab tak semua orang Papua diikut-sertakan dalam Act of Free Choice, padahal dalam New York Agreement  dicantumkan bahwa ‘One Man One Vote’. Nyatanya, hanya 1.025 orang yang diberikan hak memilih dalam Act of Free Choice. Saat itu pula, sebagian kecil orang Papua yang berhak memilih, berada dibawah tekanan militer Indonesia. Jika demikian, otomatis mereka akan memilih bergabung dengan Indonesia.
Ketika orang Papua merasa dirinya telah merdeka sejak 1 Desember 1961, mereka (orang Papua) punya pemahaman bahwa Papua adalah sebuah negara yang berdaulat. Dengan pemahaman seperti itu, maka setelah Act of Free Choice diselenggarakan dibawah tekanan dan cacat hukum, beberapa daerah di Tanah Papua terjadi sengketa perang antara militer Indonesia dan orang Papua. Peperangan yang tercetus ini kemudian dikenal dengan sebutan Perang ’69. Ini merupakan wujud perlawanan orang Papua terhadap bangsa Indonesia yang dengan kekuatan militer-nya mengintegrasikan bangsa Papua kedalam pangkuan NKRI.
Bangsa Indonesia berideologi PANCASILA yang didalamnya terkandung 5 sila yang berupaya mempersatukan beraneka ragam perbedaan yang ada di seluruh Indonesia. Hal ini patut dianjungi jempol sebab bangsa Indonesia pernah menyatukan wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke berdasarkan kelima sila itu. Meskipun demikian, bangsa Papua juga punya ideologi ‘Papua Merdeka’. Yakni sebuah ideologi yang tumbuh dan berkembang dari generasi ke generasi (tidak langsung turun dari langit) berdasarkan fakta sejarah yang pernah ada, bahwa Papua telah merdeka pada 1 Desember 1961.
Dengan adanya perbedaan ideologi antara bangsa Papua dan bangsa Indonesia ini, maka dengan mudah pula terjadi pertengkaran yang hingga kini terus menciptakan konflik yang berkepanjangan sebab bangsa Indonesia maupun bangsa Papua terus eksis berpegang teguh pada ideologinya masing-masing. Dalam keadaan seperti ini, Indonesia (tak tinggal diam) membuat kebijakan-kebijakan sepihak untuk meredam ideologi bangsa Papua dengan memberikan Otsus, UP4B dan Otsus Plus. Tapi sayang, kebijakan-kebijakan itu dinilai gagal sebab tidak mensejahterakan rakyat Papua.
Untuk itu bangsa Indonesia (pemerintah pusat) mesti mendengar apa yang diinginkan bangsa Papua (rakyat Papua), begitu pula bangsa Papua mesti mendengar apa yang diinginkan bangsa Indonesia. Paling tidak melalui sebuah dialog damai guna menyelesaikan konflik yang berkepanjangan akibat perbedaan ideologi yang ada selama ini. (Vitalis Goo)
Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: