![]() |
Foto/Facebook, Rasis kepada Natalius Pigai |
Oleh: Dr.
Syahganda Nainggolan (*
Natalius
Pigai, manusia Papua yang kemungkinan besar paling populer di Indonesia saat
ini, mendapatkan serangan rasis berupa postingan dirinya disandingkan dengan
Gorilla dalam group Facebook “Jokowi Presidenku”.
Menanggapi
hal ini, Pigai membagi bagikan postingan tersebut dengan catatan di awali
“Bangsa Malanesia Papua harus ketahui dan sadar bahwa kami ini monyet/. Gorilla
yang hidup di negeri ini. Kedua, Pigai menyatakan bahwa bangsa Papua semakin
nyata mengalami “Genocide” (pemusnahan) dan tidak ada keselamatan hidup bersama
dengan Indonesia. Ketiga, Jokowi sudah diberitahu oleh Pigai atas perlakuan
rasis terhdapnya sejak tahun lalu, oleh para pendukung Jokowi, namun Jokowi
tidak berbuat apa-apa, bahkan itu ketika dirinya masih menjabat ketua Komnas HAM.
Perlakuan
rasime terhadap Pigai telah mengganggu akal sehat saya kenapa bangsa kita
memiliki sifat rasis yang paling primitif. Rasisme bukanlah masalah baru dan
terbatas pada wilayah kita saja. Namun, menyamakan Pigai yang hitam dengan
Gorilla tentunya perlu di dalami, terutama ketika penguasa dan kelompk2 sosial
mendiamkan hal ini.
Apakah
itu rasisme? Chika Unigwe, seorang penulis Belgia keturunan Nigeria, mengatakan
“What is racist is the society that enables acts of racism to thrive with
impunity”. Menurutnya, rasis itu adalah masyarakat yang membuat tindakan rasis
terjadi tanpa hukuman. Unigwe adalah orang yang mengecam “De Morgen”, harian
Belgia yang memasang foto Obama dan Michael Obama dengan wajah monyet, pada
maret 2014, saat kunjungan Presiden Amerika itu ke tetangga Belgia, Belanda.
Kecaman Unigwe menyebarkan persoalan ini keseluruh dunia, dan “De Morgen”
meminta maaf.
Pada
Desember 2016, di West Virginia, seorang wanita Pamela Taylor, di akun
medsosnya mengejek istri Obama sebagai monyet. Dalam waktu singkat 200.000
orang menandatangani petisi online meninta Taylor dipecat dari tempatnya
bekerja. Kemarahan orang orang terhadap Taylor meluas. Akhirnya Taylor
dihentikan bekerja sementara dan dia meminta maaf.
Lalu
mengapa Jokowi diam? mengapa kita juga semua diam dalam kasus Pigai di
Indonesia?
*Masa Depan Orang-orang
Hitam*
Pigai
jelas melihat tidak ada kedamaian Bangsa Melanesia Papua di Indonesia. Meski
ini terlalu sumir sebagai sebuah pendapat politik, namun dikaitkan dengan
rasisme yang terbiarkan, tentu pernyataan ini mempunyai arti.
Meminjam
teori di barat terkait rasialisme dan rasisme (Kulit putih vs hitam) seperti
“Critical Race Theory” (CRT), Pigai menilai bahwa rasisme ini terbangun dari
struktur sosial yang tidak equal antara orang orang hitam Papua dengan
saudaranya dari bangsa Melayu/Jawa. Orang orang Papua yang hitam berada pada
kultur dan struktur yang terdominasi dan struktur/kultur tersebut dipertahankan
terus menerus keberadaannya.
Dalam
jejak pikiran dan tesisnya tentang Indonesia, Pigai menolak konsep mayoritas vs
minoritas. Menurut Pigai, Indonesia adalah sebuah Multi- Minoritas. Pigai
berusaha mencari bukti empirik keberadaan multi minoritas itu. Meski kesulitan
dalam pencariannya, jelas Pigai menuntut adanya kesamaan hak antara orang orang
Papua yang hitam dengan bangsa Jawa dan Melayu. Pigai juga menawarkan beberapa
wakil Presiden Indonesia, bukan hanya satu, untuk sebuah keterwakilan Papua dan
Bangsa Melanesia.
Upaya
Pigai tentu dijustifikasi CRT bahwa ras adalah konstruksi sosial ( dan human
conception) yang menciptakan kalasifikasi antara ras tersebut, dan juga tentang
“power” yang memberikan “previlage” pada dominasi sebuah ras.
Dengan
tesis multi-minoritas, Pigai tetap mengakui perbedaan warna kulit, alias
menolak sebuah konsep Bangsa Indonesia tanpa perbedaan (Colour Blindness).
Namun, sebaliknya, meski berbeda, tidak ada dominasi ras atas dasar warna
kulit.
*Papua dan Pengorbanannya*
Kesedihan
Pigai dalam ke Indonesian tentu bersifat historis. Ketika Indonesia merdeka,
sejarah memperlihatkan bagaimana Aceh menyumbang pesawat pertama kita. Namun
sejarah di bangku sekolah tidak mengajarkan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak
lepas dari transaksi internasional Amerika dan Belanda, di mana Amerika
mendapatkan Tambang Emas Freeport, Indonesia Merdeka dan Belanda di masukkan
dalam projek Marshal Plan yang dibiayai Amerika.
Emas-emas
Papua ini puluhan tahun di bawa ke Amerika demi proteksi Amerika terhadap
Indonesia. Ini adalah Emas-emas nenek moyang bangsa kulit hitam, di daerah di
mana Pigai tumbuh dan berkembang.
Papua
juga bukan hanya bersifat historis, masa lalu, namun Papua juga menyimpan masa
depan buat Bangsa Indinesia non Malenesia, di mana kelebihan jumlah penduduk
dan kemiskinan rakyat Pulau Jawa, bisa diselamatkan oleh alam Papua kelak.
Persoalan
Pigai tentu bukan berarti sinonim dengan persoalan Papua. Bukan berarti Pigai
adalah Papua. Namun, jika rasisme terhadap Pigai, dengan menyamakan Pigai yang
hitam dengan Gorilla, dan kita hanya diam saja, maka adalah keniscayaan kelak
Bangsa Papua sakit hati, sehingga masalah Pigai menjadi masalah Papua.
*Jokowi Sebaiknya
Meminta Maaf*
Pigai
marah pada Jokowi karena dia membiarkan pengikutnya berbuat rasis pada Pigai.
Rasisme adalah kejahatan terburuk dalam kemanusian. Dalam banyak kasus yang
ekstrim, kejahatan rasial dijatuhi hukuman mati.
Kebencian
seseorang terhadap Pigai karena peran dan posisi politiknya, harus dijawab
dengan bantahan politik. Kita sudah membiarkan tanpa hukuman terhadap seorang
warga keturunan, tempo lalu, yang menghina Gubernur NTB (pribumi) sebagai TIKO
(Tikus Kotor). Apakah kita akan diam juga pada kelompok Medsos Pro Jokowi yang
menyamakan Pigai dengan gorilla? Jika kita diam saja, seperti kata Chika Unigwe
di atas, itulah yang disebut rasis. Adalah tugas kita mengingatkan Jokowi untuk
meminta maaf karena tindakan pendukungnya itu.
Tulisan
ini bagian tanggung jawab intelektual saya atas kekejian yang menimpa Pigai.
“Semoga
Allah (Tuhan YME) memberi kemudahan buat bung Pigai dalam perjuangan. Kita
lawan manusia-manusia rasilis itu.”)
*) Direktur Eksekutif
Sabang Merauke Circle/eks Pembina Kesatuan Aksi Penyandang Cacat
Indonesia-KAPCI.
0 komentar:
Post a Comment