Budaya Suku Mee dalam Perkembangan Kehidupan Sosial

Oleh: Mikael Tekege

“Tantangan yang kita hadapi pada saat ini dan keperluan akan pembaharuan memaksa kita untuk  berunding, untuk bekerjasama, untuk menyesuaikan keinginan dan pikiran kita sendiri dengan  keinginan dan pikiran orang lain”  Uskup Rudolf Staverman, OFM, November 1967.


Google Search


Membangun sebuah rumah diatas dasar atau pondasi yang kuat, tidak mudah rubuh ketika diterpa angin.  Begitu juga dengan kehidupan manusia. Ketika manusia menjalani kehidupan berdasarkan pondasi yang kuat, mereka tidak mudah terdoktrin dengan pengaruh-pengaruh dari luar yang berusaha mengarahkan masyarakat pada ambang kehancuran. Pondasi yang saya maksud di sini adalah aturan hukum adat dan nilai-nilai budaya setempat. Orang yang hidup dan melangkah atas dasar budaya yang kuat mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk sehingga tidak mudah terpengaruh.
Yang dimaksud dengan budaya adalah cara berpikir, berkarya, bergaul dan bertutur yang telah menjadi kebiasaan secara individu maupun kolektif dalam masyarakat di suatu wilayah. Budaya memuat segala aktifitas fisik maupun nonfisik (moril dan materil) yang diaplikasikan dalam kehidupan sosial.  Setiap suku bangsa tentu memiliki budaya yang sangat berbeda-beda yang diwariskan secara turun temurun. Kehidupan masyarakat Papua pada umumnya dan khususnya masyarakat suku Mee pun tidak terlepas dari budaya tersebut. Semua itu, terangkum dan tercermin dalam aktivitas kehidupan sosial. Dalam budaya, terdapat aturan hukum adat dan norma sosial yang membatasi hal-hal tertentu sehingga itu tergolong ke dalam perilaku setiap individu. Perilaku juga merupakan bagian dari pada budaya tersebut, tetapi lebih mengarah untuk melihat baik dan buruknya aktivitas seseorang. Sedangkan budaya dimengerti menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, sesuatu yang bertentangan budaya dapat digolongkan ke dalam perilaku individu.[1] 
Berdasarkan budaya suku Mee yang diwariskan secara turun-temurun, tentu  memiliki  metode tersendiri dalam menata kehidupan sosial, baik itu dari segi sosial, ekonomi, pendidikan dan sistem  politik serta keyakinan. Semua itu merupakan bagian dari pada budaya itu sendiri. Berikut ini adalah penjelasan lebih lanjut secara singkat soal budaya suku Mee, ditinjau dari beberapa segi kehidupan, yakni: sosial, ekonomi, pendidikan, sistem politik, keyakinan, seni, aturan hukum adat dan yang terakhir masukmya budaya luar.
 
1.       Sosial
Kehidupan  masyarakat suku Mee tidak terlepas dari jiwa sosial atau rasa empati dan saling menghargai terhadap sesama manusia. Mereka (masyarakat Mee) secara turun-temurun, tidak membiarkan sesama yang lain menderita, lapar, susah dan sakit. Hal ini membuat masyarakat Mee bersatu dalam menghadapi persoalan yang timbul dari dalam maupun luar. Dengan kata lain, masyarakat Mee memiliki budaya kolektifitas, empati, humanis dan religius. 
Suatu idealisme yang sangat konkrit dan nyata untuk menjadi seorang manusia yang diakui, dihargai, dihormati dan dikagumi yang pertama harus diperbuat dan perlihatkan adalah kebaikan dan kebenaran bersikap. Jikalau hal pertama ini telah ditunaikan, maka hal-hal lain akan datang menyusul. Menjadi diri sendiri adalah idealisme utama leluhur[2]. Berdasarkan idealisme ini, leluhur suku memiliki perspektif dalam kehidupannya bahwa harus menjadi yang pertama dalam menolong dan membantu orang-orang atau sesama yang benar-benar membutuhkan bantuan atau uluran tangan dari orang lain.
 
2.      Segi ekonomi
Masyarakat suku Mee pada umumnya memiliki satu istilah “Keitai/Ekowai” (melakukan/mengerjakan) dalam kehidupan mereka. Keitai/ekowai merupakan suatu landasan hidup sosial yang dipegang teguh oleh masyarakat suku Mee sebagai motivasi bagi setiap orang untuk bekerja dengan sungguh-sungguh sesuai dengan bidang pekerjaan yang ditekuninya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mata pencaharian masyarakat Mee pada umumnya adalah berkebun, beternak dan kegiatan lainnya yang digolongkan ke dalam keahlihan masing-masing individu. Hal itu juga dikatakan oleh Manfred Christianus Mote, bahwa masyarakat suku Mee adalah masyarakat agraris yang hidup dari kegiatan bertani dan berternak. Makanan pokoknya adalah petatas (Notaa) dan keladi (Nomoo).  Suatu keluarga etnis Mee, menimal memiliki dua buah lahan kebun petatas atau pun keladi. Pertimbangannya adalah jika mereka sedang mengerjakan sebuah kebun dan hasilnya belum tua, maka sementara itu mereka memanen hasil-hasil dari sebuah kebun yang lain. 
Kepentingan pemenuhan kebutuhan  makanan tersebut, mereka bekerja setiap hari. Dengan demikian, tidak boleh ada hari tanpa bekerja. Orang yang tidak bekerja, tidak boleh makan atau dilarang untuk makan hasil usaha orang lain, bahkan tidak diberi makan kepada orang yang tidak bekerja kebun, sebab ia tidak mau makan dan itu berarti tidak mau hidup[3]. Pandangan ini memberikan dorongan bagi setiap individu agar terus-menerus bekerja dan berusaha untuk memenuhi kehidupannya secara mandiri.
 
3.      Pendidikan
Nota/dugi naine gapeko, tai/bugi ekowai (kalau mau makan ubi, harus kerja kebun) ekina naine gapeko, ekina muni (kalau mau makan daging babi, pelihara babi), naapo naine gape, naapo wei (kalau mau makan sayur, tanam sayur di kebun) dan lain-lain. Itulah beberapa kalimat yang disampaikan oleh orang tua kepada anaknya yang tidak kerja sambil makan salah satu diantaranya yang disebutkan di atas. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan suatu dorongan dalam diri anak tersebut agar ia dapat kerja kebun, pelihara ternak babi, dan juga pekerjaan lainnya.  Dengan kata lain, jika orang tua menginginkan anaknya mempunyai kreatifitas dalam kehidupannya, maka harus pelit terhadap anak yang pemalas. Sedangkan anak yang rajin selalu diarahkan agar kreatifitasnya dapat ditingkatkan dalam hidupnya. 
Selain dari itu, sistem pendidikan masyarakat suku Mee secara adat memiliki metode tersendiri dalam proses pembelajarannya. Metode yang saya maksudkan adalah pada saat memberikan pendidikan adat  pria dan wanita dapat dipisahkan sehingga kaum wanita diajari oleh wanita yang lebih tua (mama), begitu juga kaum pria diajari oleh yang lebih tua (bapa). Materinya  dimulai dari kasih sayang terhadap orang tua, norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial sampai dengan kemandirian hidup. Dan dapat disesuaikan dengan perkembangan umur anak. 
Disisi lain, pendidikan secara lisan itu juga disampaikan dalam banyak bentuk, seperti yang dikatakan oleh Manfred C Mote, yakni melalui cerita, dongeng, mitos, hikayat, pantun, atau dalam bentuk lagu, seperti Uga, totauga, komauga, kotekauga, bedouyouga, yametegauwa, tuupe, gowai dan gaupeuga. Lainnya dalam bentuk  nasehat, wasiat dan dalam bentuk perumpamaan dan perbandingan, pepata dan teka-teki[4]. Dengan pendidikan seperti itu, anak dapat dilatih untuk menganalisis dan menangkap makna yang terkandung di dalam. Dengan kata lain, bukan hanya sebatas mendengar dan mengetahui alur ceritanya saja, melainkan menganalisis apa makna dibalik itu.
 
4.      Segi politik dan Kepemimpinan
Suku Mee memiliki sistem politik beserta sistem kepemimpinan dalam kehidupan sosial. Konsep politik dan kepemimpinan tersebut dikembangkan secara alami bersama perkembangan peradaban suku Mee itu sendiri. Konsep tersebut, yakni pria berwibawa (big man) atau dalam bahasa Mee disebut Tonawi. Tonawi dibagi menjadi beberapa kelompok, yakni:
a.       Mana wegai/duwai Tonawi
Dalam kehidupan masyarakat Mee, seseorang disebut mana wegai/duwai Tonawi (tonawi berdasarkan keahlian diplomasi) ketika seseorang memecahkan suatu persoalan atau perkara sebesar apa pun yang dihadapi oleh masyarakat secara berulang kali dan dalam pembicaraannya akan menunjukkan  perbedaan daripada pembicara yang lainnya secara netral. Orang yang memiliki kelebihan dalam hal ini, selalu didengar dan dihormati oleh masyarakatnya.
b.       Keitai/ekowai Tonawi
Masyarakat dan kerabatnya akan mengakui sebagai Keitai/Ekowai Tonawi (Tonawi berdasarkan usaha kerja keras) ketika seseorang menunjukkan imagenya dengan kerja keras dalam mengerjakan suatu bidang pekerjaan yang ditekuninya. Dan pekerjaan sebesar apa pun dapat dikerjakan dalam kurun waktu  singkat dan hasilnya akan berbeda dengan orang lain atau lebih unggul ketimbang yang lainnya. Dengan kata lain, ia memang unik dari yang lainnya.
c.        Tonawi/Yago Mee
Mendapatkan karunia tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan melalui proses dan cobaan yang amat sangat lama sekitar 2-3 tahun lamanya. Dengan kata lain, untuk mendapatkan karunia harus menderita dan itulah syarat utama. Dan setelah itu ia akan mendapatkan karunia mengusir roh jahat atau menyembuhkan orang sakit  (Yagomee atau tonawi). Penderitaan tersebut antara lain, menjadi orang gila,  sakit parah, anak istri menjadi korban, dan ternak peliharaan mengalami kematian dan lain-lain. Jadi untuk mendapatkan karunia harus melalui penderitaan amat sangat menyedihkan dan setelah melalui semua itu akan disebut kamuh tetai tonawi atau didi beu awetai tonawi (tonawi atau orang hebat).
d.      Ekina Mege Tonawi
Ekina tonawi tahu bagaimana cara merencanakan, mengatur, memelihara dan mengembangkan dan membuahkan hasil secara teratur.  Kemudian memasarkan pada saat pesta adat yang dalam bahasa Mee disebut “Yuwo”. Kemudian ada juga cara lain yang dilakukan oleh seorang ekina tonawi agar ternaknya tetap berkembang, yakni memberikan atau membagikan bibit ternak babi kepada orang lain terutama keluarga  yang tidak punya atau hidup pas-pasan “iyoo” dengan tujuan agar mereka juga bisa memiliki ternak babi sehingga yang penting iyoo badii. Tonawi memberikan ternak babi kepada orang lain untuk dipiara dan hasilnya digunakan untuk kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri. Namun, ketika memasarkan induk babi, maka hasilnya diberikan kepada pemiliknya (tonawi).
***
Untuk menjadi tonawi bukanlah semata-mata disebut dan diakui  sebagai tonawi, melainkan melalui pengorbanan dan proses yang sangat panjang. Akan ada pengakuan tonawi dari masyarakat dan kerabatnya ketika masyarakat mengetahui pengorbanan dan proses yang dilalui oleh seseorang. Ada dua cara untuk menjadi tonawi, yakni: pertama, menjadi tonawi melalui upaya dan usaha kerja kerasnya, seperti ekina mege/agiyo tonawi, ekowai tonawi, dan manaduwai tonawi (tonawi yang memiliki harta, kerja keras dan pintar diplomasi); dan yang kedua, menjadi tonawi karena karunia, seperti kamu tetai tonawi/yagome (tonawi atau orang hebat)
5.      Keyakinan
Suku Mee mempunyai keyakinan dalam kehidupan dari dahulu. Mereka meyakini bahwa ada sesuatu yang membuat, menulis dan menciptakan segala-galanya. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan atau penyebutan “Ugatamee” secara turun-temurun. UGATAMEE (pribadi yang menulis), Ebiyatamee (pribadi yang menciptakan), Ipabokoutomee (pribadi yang penuh kasih) dll. Dengan demikian, orang Mee meyakini bahwa ada pribadi yang menuliskan, menciptakan dan memberikan segala-galanya dalam kehidupan mereka.Berdasarkan keyakinan tersebut, suku Mee menjalani kehidupannya atas dasar ajaran yang bersumber dari UGATAME yang kemudian dalam bahasa Mee disebut KABOMANA, TOUYEMANA (ajaran dasar) yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai fondasi hidup dan diwariskan secara turun-temurun.
6.      Seni
eni dan tarian adat pun tidak terlepas kehidupan masyarakat suku Mee.  Ada beberapa tarian yang dimiliki dan diwariskan secara turun-temurun. Tarian yang dimaksud antara lain, seperti emaida Yibu (yosim), gaupe uga (pemberian nama), tegauwa, dll. Tarian-tarian ini dilakukan dengan penuh semangat dalam kehidupan mereka dan dilestarikan secara turun-temurun. 
7.      Aturan Hukum Adat
Tentunya masyarakar Mee memiliki aturan hukum adat yang termuat  larangan-larangan atau norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial. Aturan hukum adat tersebut tidak tertulis sehingga disampaikan secara lisan kepada generasi penerus agar dapat dipatuhi. Hal menarik dan unik dari aturan hukum adat ini adalah memiliki efek atau dampak yang jelas secara alami bagi yang melanggarnya. Dengan demikan, manusia etnis Mee[5] mempunyai hukum, norma dan aturan-aturan adat yang mengatur, mengarahkan mengendalikan, mengawasi dan mengontrol seluruh dinamika kehidupan masyarakat. 
Berdasarkan penjelasan singkat di atas ini, dapat saya katakan bahwa tidak ada yang kurang dalam kehidupan suku Mee. Segala-galanya telah diberikan oleh UGATAME sejak awal. Namun, itu  juga harus diperbaharui sesuai dengan tuntutan zaman untuk terus-menurus menuju prinsip-prinsip keteraturan dan etika demi membuat keteraturan dan pilihan etika baru berdasarkan identitas asli guna mempertahan eksistensi identitas  itu sendiri. 
 
Masuknya Budaya Luar
Seiring dengan berjalannya waktu, konteks kehidupan  masyarakat suku Mee pun mulai mengalami perubahan bersama masuknya budaya luar. Kita tidak pungkiri bahwa budaya luar tidak semuanya buruk, melainkan ada juga yang positif tergantung kita memfilter. Meskipun demikian, kadang budaya luar juga masuk bersama doktrin yang sangat meyakinkan bagi masyarakat suku Mee agar dapat diterima secara menyeluruh dan meninggalkan budaya yang ada sejak awal mula. 
Sebagai masyarakat yang baru mengenal dunia luar dengan budayanya yang merupakan hal baru bagi mereka (masyarakat), sehingga rasa ingin mencoba pun semakin meningkat dikalangan masyarakat suku Mee. Semakin lama semakin melupakan budaya asli, seakan-akan tidak memiliki arti dan makna dalam kehidupan masyarakat suku Mee itu sendiri. Hal ini diakibatkan oleh kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat yang mampu memfilter budaya luar yang masuk tersebut. Masyarakat suku Mee tidak ditolong untuk mengenal jati diri mereka sehingga terjebak dalam pengaruh budaya baru tanpa membedakan baik dan buruk serta benar dan salah. Akibatnya, secara sadar maupun tidak sadar kadang kita menghina dan membenci diri kita sendiri. Namun, kita tidak mungkin menjauhkan diri perkembangan zaman yang semakin maju ini, sehingga yang terpenting adalah sadar akan persoalan ini,  belajar dan memahami budaya asli, kemudian budaya luar dijadikan sebagai pelangkap dalam menghadapi perkembangan zaman. Dengan kata lain, berpikir global dan bertindak lokal. Disinilah pendidikan berperan untuk memahami persoalan tersebut.
Pembaharuan Identitas Tugas “Generasi Muda”
Menurut I Ngurah Suryawan, penjajahan secara produktif dalam cara berpikir telah dilakukan terhadap bangsa Papua melalui serangkaian teori dan pendekatan politik budaya yang deskriminatif, diperaktekan masif dalam kerangka pembangunan masyarakat tertinggal. Maka tidak heran citra Papua yang lahir kemudian adalah tidak berbudaya, bodoh, terbelakang, terasing, barbar[6]. Semua stigma tersebut merupakan bagian dari upaya pembunuhan karakter sekaligus budaya agar masyarakat Papua pada umumnya dan khususnya suku Mee melupakan identitas mereka dan dapat digantikan dengan identitas palsu. Semua itu sengaja dilakukan oleh negara melalui sistem maupun dalam aktifitas sehari-hari agar dapat dikendalikan dengan mudah sesuai dengan kehendak negara. Oleh karena itu, tidak salah dan tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa masyarakat Mee, dan masyarakat Papua pada umumnya saat ini diperbudak melalui sistem. 
Kehidupan masyarakat Mee saat ini dituntut untuk berpartisipasi dalam memaknai perkembangan zaman yang semakin pesat ini, dan itulah suatu keharusan bagi setiap individu. Namun, kadang orang Papua pada umumnya dan suku Mee melangkah tanpa dasar yang kuat sehingga mudah terdoktrin dengan terpengaruh kepada yang berusaha mengarakan masyarakat pada ambang kehancuran. Konteks bukanlah sebuah kebetulan, melainkan kesengajaan secara sistematis. Problem inilah yang membuat masyarakat Papua pada umumnya dan khususnya masyarakat Mee untuk menggali identitas aslinya agar dapat memperbaharui dan disejajarkan dengan perkembangan zaman saat ini. Persoalan ini akan dijawab oleh orang-orang, terutama generasi muda yang memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat Papua. Untuk itu perlu membangun kesadaran melalui pendidikan berbasis budaya, sosialisasi dan perlu membangun gerakan budaya serta membangun budaya membaca dan menulis. Dengan demikian, secara perlahan-lahan, masyarakat Mee akan dapat menemukan identitas aslinya dan dapat diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman.
***
Esensinya, dalam kehidupan masyarakat Mee, tidak ada yang kurang. Semuanya terangkum dalam budaya mereka. Masyarakat Mee mempunyai jiwa sosial, memiliki sistem ekonomi, sistem politik, seni dan keyakinan serta memiliki hukum, norma dan aturan-aturan adat yang mengatur, mengarahkan, mengendalikan, mengawasi dan mengontrol seluruh dinamika kehidupan mereka. 
Namun, realitas saat ini membuktikan masyarakat Mee sedang berada dalam masa transisi antara budaya asli dengan budaya modern (benturan antar budaya) yang kemudian bukan hanya menghancurkan budaya saja, tetapi juga mengorbankan harta benda bahkan nyawa. Untuk itu, generasi muda Mee dan Papua pada umumnya dituntut memiliki kesadaran dan rasa kepedulian demi melihat dan merespon persoalan ini.



[1] Budaya adalah pikiran, akal budi atau cipta, rasa, karsa dan karya manusia. Suku Mee memiliki budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Budaya menyangkut hal-hal yang baik, sedangkan perilaku menyangkut baik dan buruk. Meskipun perilaku juga bagian dari budaya tersebut, namun dapat dipisahkan karena sesuatu yang tidak baik bukan cerminan dari budaya tersebut sehingga digolongkan kedalam perilaku seseorang.


[2] Mote Chrisantus Manfred, (2013), TOUYE “Pegangan Hidup Bersama” Gai, Dimi Gai dan Touye Dalam Kehidupan Suku Mee Papua, Kanisius, Yogyakarta.


[3] Mote Chrisantus Manfred Hlm, 73


[4] Mote Chrisantus Manfred Hlm, iv


[5] Mote Chrisantus Manfred Hlm, 173

[6] Suryawan I Ngurah, (2013), Jiwa Yang Patah “Sejarah Sunyi dan Gerakan (Antropologi) Pembebasan Bangsa Papua”, Kapel Press: Yogyakarta.
Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: