LEPEMAWIL – MIMTI: PT Freeport Indonesia Bertanggungjawab???

Foto Ilustrasi Google

Gambaran umum
Dalam buku kecil berjudul: “Laporan dan Rencana: Aspirasi Masyarakat Atas Tuntutan Pencemaran Limba Tailing Pembuangan PT Freeport Indonesia Dan Rencana Tindak Lanjut Program LEPEMAWIL-MIMTI”, tim sosialisasi Lembaga Peduli Masyarakat Wilayah Mimika Timur Jauh (LEPEMAWIL-MIMTI) 2014 pada halaman dua menjelaskan tentang profil Lembaga. LEPEMAWIL-MIMTI merupakan organisasi yang dibentuk oleh pemuda-pemudi dan masyarakat yang berasal dari distrik Jita, Agimuga, dll (yang berasal dari wilayah Mimika Timur Jauh). Lembaga ini memiliki badan hukum notaris dan telah terdaftar sebagai organisasi masyarakat di tingkat Kabupaten, berkat bantuan Bapak Abdul Muis (mantan bupati kabupaten Mimika) dan ibu Enggel Bertha Kotoro (ketua II MRP Propinsi Papua). Pada akhir dari profil yang dilampirkan di halama ini, lembaga ini mengajak semua elemen termasuk tokoh-tokoh agama untuk membantu dan bekerja sama demi terciptanya kesejahteraan, pemerataan dan hubungan yang harmonis di tanah Amungsa bumi Kamoro.
Saya mengisahkan paragraf di atas ini, bukan berarti bahwa tulisan ini berangkat dari apa yang dipaparkan saja, tetapi juga didukung oleh beberapa pengalaman yang saya sendiri rasakan dan alami secara langsung di lapangan. Maka itu, dibawah ini saya akan menggambarkan bagaimana kisah dari salah satu pengalaman yang saya alami, apa pendapat mereka yang mengalami suka duka yang bahkan makan minum pun susah karena sumber pencarian mereka dimusnahkan dengan tailing dari PT. Freeport Indonesia. Selanjutnya, saya akan menjelaskan bagaimana tujuan dan maksud serta latar belakang dan tuntutan LEPEMAWIL - MIMTI.

Sekilas Kisah
Pada Sabtu, 29 Oktober 2016 dalam perjalanan pulang ke tempat tugas di paroki Kebangkitan Agimuga setelah mengikuti pertemuan tim pastoral keuskupan Timika di Transit SP2 Timika, saya lewat laut dengan perahu batang bersama beberapa umat dari Agimuga. Ketika kita melewati perjalanan ini, kita pasti akan mengalami suka-duka perjalanan dibandingkan dengan lewat udara. Namun disini saya tidak mau membandingkan, tetapi saya mau menekankan batapa sulitnya melewati laut yang tentunya akan berhadapan dengan “limba” yang hingga kini masih belum ada solusinya.
Walaupun kami telah memprediksikan air akan surut dan kami akan bermalam diperjalanan, sore itu kami mulai berangkat dari pelabuhan pomako Timika. Memang benar terjadi seperti yang kami prediksikan lalu kami bermalam di pulau puriri, yang didepannya terbentang luas limbah yang semakin ganas memperdangkal areal laut yang tentunya merupakan tempat pencarian bagi para nelayan terlebih bagi orang-orang kamoro yang hidup dari hasil laut dan kali di pesisir pantai.
Sekelompok orang Kamoro yang berassal dari Pulau keraka dan telah bermalam selama dua minggu menjemput kami yang mendekati kem mereka. Mereka menanyai kami tengang perjalanan kami dan siapa kami lalu kami jelaskan semuanya. Kemudian mereka menerima kami dengan sukacita dan mempersiapkan tempat duduk dan tidur untuk kami. Akhirnya kami asar badan lalu menempati tempat tidur untuk istirahat.
Setelah kami menempati tempat peristirahatan, kami pun menanyakan kepada mereka beberapa hal. Kabarnya mereka datang untuk mencari ikan, udang maupun keraka untuk dijual dan uangnya akan dipergunakan untuk memperlengkapi kebutuhan NATAL. Selain itu, merekapun menjelaskan demikian: “Anak, kami di sini sudah dua minggu. Kami sedang mencari (ikan, udang dan keraka) untuk NATAL. Besok saya dan bapa akan ke pomako untuk menjual ikan sedikit ini (sambil menunjukkan ikan hasil tangkapannya),” kata seorang ibu kamoro yang tidak mau menyebutkan namanya.
Selanjutnya saya pun bertanya tentang sebuah jalur air yang sedang dirintis oleh beko (eksa patuk) yang muaranya sampai di kali yang menjadi tempat pencarian mereka dan jalur transportasi satu-satunya lewat kali dengan tujuan otakwa, Fakafuku, Agimuga, Jita, dll. “Lalu mama, apakah mama tahu, kenapa ada yang membuat jalur air baru dengan beko, yang muaranya sampai di tempat mencari, lagian tempat mencari ini juga kan merupakan jalur transportasi satu-satunya lewat laut ke Otakwa, Omoga, Pulau Yul, Fakafuku, Agimuga dan Jita?”, tanya saya. “ya, benar. Orang-orang dari sana juga harus bersuara karena kalau ini ditutup dan mereka harus lewat laut berarti nanti akan ada banyak korban. Dan ini siapa yang akan bertanggungjawab. Tentu orang yang menutup jalur kali ini”, jawabnya. Ia pun menjelaskan tentang jalur ini merupakan tempat mencari: “orang tua-orang tua kami dulu mencari itu di sungai besar sebelah. Sungai Wanogon inilah yang menjadi tempat mencari dan itu mereka mencari dan mendapat banyak, yang cukup untuk memenuhi kebutuhan satu minggu satu bulan ke depan. Tetapi sekarang, walaupun kami mencari selama dua tiga minggu pun hasilnya tidak memuaskan. Harapan kami satu-satunya adalah kali ini sehingga tadi anak lihat di sepanjang kali ini ada pasang jaring. Itu kami yang pasang dan besok pagi saya punya anak-anak bersama dengan orang-orang disini akan pergi cek, sementara saya dan bapa pergi jual ikan lalu balik ke sini.”
Mereka pun menjelaskan bahwa PT Freeport memakai orang Kamoro asli, pemilik tanah di sekitar pulau puriri ini, yaituorang yang memiliki CV OTOMONA. Mereka berkomitmen untuk menyampaikan ini kepada pemilik CV yang berdomisili di Jln Serui Mekar Timika bahwa jalur ini tidak usa ditutup dengan menyalurkan tailing lewat kali ini lagi. Mereka menuntut juga bahwa mesti secepatnya mencari solusi untuk menangani limbah yang semakin merambak ke Laut lepas, yang mencemarkan laut dan segala isinya.Kabarnya, PT FI mau menyalurkan limbah lewat jalur kali transportasi ini untuk membuat Smelter di sekitar Pulau Puriri.

Foto Inspirasi Google
LEPEMAWIL – MIMTI: PT Freeport Indonesia Bertanggungjawab?

PermasalahanLatar belakang masalah adanya lembaga LEPEMAWIL-MIMTI yang dimuat di dalam buku kecil yang dimaksud di atas:pertama, dari pihak bersangkutan (pemerintah, perusahaan dan steacholder) masih memilah-milahkan suku Amungme bahwa ada suku Amungme yang berasal dari pantai dan dari gunung, sementara suku kamoro pun demikian lalu timbul pertanyaan tentang asal usul suku Amungme dan Kamoro yang ada di wilaya Mimika Timur.Kedua, pemerintah sebagai badan pengontrol dan lembaga adat (LEMASA DAN LEMASKO) sebagai lembaga independen, diakui bahwa mendapat keuntungan sementara masyarakat kecil dirugikan terus. Ketiga, dengan kedua alasan ini, diakui oleh lembaga ini bahwa kehidupan masyarakat tidak seperti yang diharapkan dan tidak seperti laporan-laporan di atas kertas putih, media cetak dan elektronikdi atas tanahnya sendiri, terutama masyarakat yang ada di wilaya Mimika Timur jauh. Dengan tiga alasan inilah terbentuk lembaga ini.

Tujuan dan maksud
Tujuan maksud baik yang diperjuangkan oleh lembaga ini guna mendiskusikan dan mengevaluasi hasil tuntutan masyarakat di wilaya Mimika Timur jauh atas pendangkalan dan pencemaran limbah tailing pembuangan PT Freeport Indonesia yang hingga saat ini belum ada penyelesaian yang serius, serta peran pemerintah Kabupaten terhadap pemerintah di distrik Agimuga dan Jita dalam pelayanan pembangunan di semua bidang. (selain itu, lembaga ini dapat melihat sejauhmana lembaga adat LEMASA dan LEMASKO berperan dalam pembangunan masyarakat dalam hal membangun budaya orang Amume dan Kamoro).
Sementara, tujuan dari lembaga ini: pertama, memberi pemahaman dan menerima usulan yang dapat menjadi acuan kami dalam melanjutkan aspirasi masyarakat. Kedua, memberi informasi, pemahaman dan keterlibatan masyarakat terkait program kerja dan pengangkatan anggota kelembagaan. Ketiga, mengajak masyarakat, para toko adat, Gereja, pemuda dan pemudi agar telibat langsung guna menjadikan lembaga ini sebagai lembaga pengontrol, media dan penyalur aspirasi masyarakat terhadap pihak pemerintah dan steacholder di Kabupaten Mimika.

Isi Tuntutan Masyarakat
Isi tuntutan sebagaimana yang dimuat dalam buku kecil yang dimaksud di atas antara lain: pertama, segera menyediakan mesin penyedot (Smelter) limba yang menyebabkan pendangkalan. Kedua, membuka pelabuhan baru dan menyediakan layanan berlayar sementara untuk melewati laut. Ketiga, mencari solusi yang tepat guna membuka jalan darat dan penyediaan rumah singgah. Keempat, segera membayar kerusakan lingkungan mulai dari tahun 1967 sampai dengan tahun 2013 ini. Kelima, selama PT Freeport masih beroperasi maka pembayaran atas kerugian kerusakan lingkungan harus terus dibayar yakni selagi sungai Wanogon masih kabur maka freeport wajib membayar kerugian kami, sesuai dengan kesepakatan yang dan akan kami buat bersama. Besar tuntutan sebagai berikut: 1) Terhitung dari tahu 1967 sampai dengan 2013 sebesar 184 %. 2) selama satu tahun PT Freeport harus membayar kerusakan lingkungan sebesar 4 %. Keenam, apabila tuntutan kami ini tidak dijawab sesuai dengan point-point di atas ini maka kami forum bersama dengan seluruh komponen masyarakat sewilaya Mimika Timur jauh akan turun lapangan melakukan demo damai dan menyelesaikan persoalan ini secara jalur hukum adat dan hukum positif.
Beberapa hal di atas ini merupakan ringkasan dari hasil sosialisasi dan sekaligus pengambilan data dari usulan-usulan masyarakat umum di Mimika Timur Jauh, mulai dari Tanggul Timur, Distrik Jita dan Distrik Agimuga yang dimulai pada tanggal 18 April s/d 04 Mei 2013.

Solusi
Dari hasil perbincangan dengan Warga Koperapoka yang tinggal di Pulau Keraka (dalam Sekilas Kisah), yang sementara sedang mencari di pulau Puriri dan tulisan dalam buku kecil yang memuat tentang laporan, saya dapat mengambil dua kesimpulan:
Pertama, Pemerintah, LEMASA dan LEMASKO diakui bahwa kurang ada pengawasan terhadap perusahaan dan penyaluran dana (apabila dana kerugian sungai wanomon itu diberikan melalui pemerintah dan lembaga adat LEMASA dan LEMASKO)  yang kurang jelas kepada masyarakat kecil yang tinggal di wilaya Mimika Timur Jauh. Pemerintah Mimika sebagai lembaga pengawas mestinya sayang kepada masyarakat kecil dan tidak boleh ada kepentingan pribadi atau kelompok (entah kepentingan kedudukan, kepentingan partai, kepetingan keluarga atau kepentingan lain sehingga melakukan korupsi) yang tentunya kerugian pasti dirasakan oleh PT Freeport sebagai yang mengeluarkan dana sehingga mengalami beban sebab masyarakat yang belum mengalami dana itu samakin menderita dan melarat dan dengan demikian tetap menuntut hingga terbentuknya LEPEMAWIL-MIMTI. Maka PT Freeport merasa rugi kalau pembayaran dilakukan dua kali, sementara rakyat kecil berada dalam ketidaktahuan bahwa perusahaan raksasa ini telah membayar sehingga mereka semakin menderita di atas tanahnya sendiri karena ulah orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Kedua, akan tetapi kalau dana itu tidak disalurkan maka pihak PT Freeport mesti tahu dan sadar bahwa sungai Wanogon yang telah menjadi “lapangan limba” adalah tempat mencari hidup dan satu-satunya jalur transportasi lewat kali bagi masyarakat Mimika Timur Jauh. Sungai ini bermakna ganda maka pihak perusahaan harus membayar kerugian ini kepada pihak yang bersangkutan (Pemerintah dan lembaga adat LEMASA dan LEMASKO) agar mereka dapat menyalurkan dana kerugian itu kepada pihak yang bersangkutan pula. Kalau demikian, mungkin LEPEMAWIL-MIMTI ini tidak ada karena tujuan terbentuknya telah tercapai, yaitu terciptanya kesejahteraan, pemerataan dan hubungan yang harmonis diantara ketiga unsur, yakni pihak perusahaan, pihak pemerintah dan lembaga adat, dan pihak masyarakat wilaya Mimika Timur Jauh merasa dirugikan.
Atas kesimpulan ini, penulis mau menawarkan beberapa solusi yang mesti diperhatikan demi terciptanya tujuan tersebut di Tanah Amungsa Bumi Kamoro.Solusi ini tidak menuduh dan menuntut siapa-siapa sehingga ini ditujukan kepada semua masyarakat yang ada di wilaya Mimika Timur jauh, pihak pemerintah dan LEMASA dan LEMASKO serta steacholder, dan pihak PT Freeport:
Pertama, berkaitan dengan isi tuntutan pada point kedua, saya mau menambahkan bahwa pihak yang berwewenang mesti menyediakan “perahu layar” untuk mencari di laut bagi warga Koperapoka yang mengungkapkan kehilangan tempat mencari.
Kedua, agar tidak bolehada kepentinganpribadi atau kelompok tertentu tetapi perjuangan itu harus diarahkan untuk mencapai tujuan lembaga ini.
Ketiga, Apa yang diperjuangkan ini benar-benar mengejar dan menegakkan nilai-nilai  kemanusiaan.
Keempat, apabila sudah dibayar (dan akan dibayar selama perusahaan ini beroperasi) maka penyaluran dana kerugian harus terarah dan kenah sasaran sehingga setiap jenjang penyaluran harus merasa bertanggungjawab . Tetapi kalau belum maka pihak perusahaan harus merasa bertanggungjawab atas tuntutan ini.
Kelima, saya mau mengajak bahwa marilah kita mendasarkan perjuangan kita pada sepuluh perintah Allah dan nilai-nilai baik yang ada dan hidup dalam diri leluhur, yang selanjutnya hingga kini diwariskan oleh kitasebagai Amungka dan Kamorowe. Dengan demikian kita dapat melaksanakan dengan sebaikmungkin karena merasa, mengerti dan mengalami bahwa Tuhan Allah dan leluhur telah, sedang dan akan memperhatikan dan mengawasi tindak tanduk kita sebagai orang beriman dan anak ber-adat.

Amolongoooo...
Saipaaaaaaaa...
Nimooooooo...

(Silvester Dogomo)
Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: