Seruan Rekonsiliasi dari Duta Vatikan untuk Indonesia “Berdamai dengan Allah Menuju Kemerdekaan”

Foto Ist.
Situasi Papua secara umum semakin gencar dengan masalah politik, entah politik Papua Merdeka maupun praktek politik praktis yang semakin kabur, sosial, budaya, ekonomi dan pendidikan yang perlahan-lahan menuju kepada keburukan. 

Situasi yang mengarah dan berorientasi kepada keburukan itu diakibatkan oleh ulah manusia. Ulah manusia yang buruk itu berakibat pada pengingkaran akan pentingnya martabat manusia maupun penghargaan terhadap alam semerta. Manusia tidak lagi dipandang sebagai ciptaan yang serupa dengan Pencipta-Nya. 

Di berbagai tempat di Papua terjadi pembunuhan, perlakuan ketidakmanusiawian, penindasan dan pemerasan hak-hak hidup masyarakat kecil oleh para penguasa pusat hingga daerah-daerah, khususnya di Papua yang sangat dirasakan dan dialami, hidup dalam trauma akan peristiwa pembantaian yang telah dialami oleh nenek moyang orang Papua dan akhirnya tercipta suatu suasana hidup dalam pengkotak-kotakan. Bahkan oleh karena tindakan manusia yang sewenang-wenang mengakibatkan kehancuran akan alam semesta. Banyak perusahan berskala raksasa hingga perusahaan berskala kecel dan liar beroperasi di Papua mengakibatkan kehancuran pada alam semesta. Alam tidak lagi dipandang sebagai bagian dari hidup manusia yang turut memberi manfaat besar. Alam hanya dipandang sebelah mata, yakni sebagai bahan mentah yang harus diolah oleh manusia sehingga membawa dampak negative dalam hidup manusia. Oleh karenanya, banyak nyawa manusia yang tak bersalah menjadi korban, entah karena limbah maupun saling membunuh secara terencana demi kepentingan perusahan dan kepentingan jabatan dalam perusahaan serta demi hak ulayat tanah dimana perusahaan beroperasi. 

Bahkan, diberikan ruang untuk didirikan tempat pekerja seks komersial yang juga memungkinkan HIV/AIDS meraja lelah. Mengapa Seruan Rekonsiliasi itu amat penting? Dalam situasi keburukan itu, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia menghadiri upacara adat di Keuskupan Agats-Asmat dan menahbiskan empat diakon calon imam projo Keuskupan Timika pada 10-13 Oktober 2016. Tentunya, Duta Vatikan mengetahui secara umum situasi di Papua karena sudah pernah dilaporkan dalam bentuk lisan maupun tulisan versi bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris sebagai laporan refleksi iman ketika mengunjungi para Seminaris di Jayapura. Situasi keburukan itu merupakan tantangan pastoral secara umum karena tentunya akan mempunyai dampak juga dalam pelayanan Gereja. 

Untuk itu, Duta Vatikan yang tentunya mengetahui situasi keburukan itu, maka ia menanggapinya dengan menyuarakan betapa pentingnya “Sakramen Rekonsiliasi”. Nama lain dari sakramen tersebut adalah sakramen tobat atau pengakuan dosa. Melalui Sakramen rekonsiliasi kita berdamai dengan Allah, yang berarti kita kembali kepada Allah dan melalui-Nya kita berusah mengubah hidup. Mengapa kita berdamai dengan Allah? Karena Allah adalah sumber dan tujuan hidup manusia. Semua manusia berasal dan tergantung kepada Allah dan akan kembali kepada-Nya. Untuk itu kita dipanggil untuk berdamai dengan Allah agar dapat bersatu dengan diri sendiri, sesama, dan dengan seluruh alam semesta. 

Upaya untuk bersatu dengan diri sendiri, sesama dan seluruh alam semesta, maka kita diajak untuk berdamai dengan Allah, berlutut dihadapan Allah dan mengakukan dosa-dosa kita dalam diri seorang imam karena dosa kita merugikan sesama dan Gereja.

Sri Paus juga menegaskan bahwa, “jangan takut akan pengakuan dosa! Kita semua merasa malu secara manusiawi saat mengantre untuk mengaku dosa, namun setelah mengaku dosa kita keluar sebagai manusia merdeka, lebih elok, sudah diampuni, bersih dan bahagia.inilah indahnya pengakuan dosa.”

Pesan Rekonsiliasi Berdamai dengan Allah berarti diajak pula untuk berusaha mengubah hidup kita berkat belas kasih-Nya. Karena dosa-dosa kita, maka kita merugikan sesama, segala alam semesta dan Gereja, untuk itu berkat belas kasih Allah kita dipanggil untuk berdamai agar hidup kita di tengah dunia ini menjadi pembawa damai berkat niat mengubah dan membaharui diri kita teristimewa oleh karena kasih karunia Allah. 

Oleh karena itu, beberapa pesan penting yang dapat disimpulkan adalah: 1. Setiap orang diajak untuk berdamai dengan Allah dengan mengakukan dosa-dosa melalui sakramen rekonsiliasi. 2. Setiap orang dalam keluarga diajak untuk mengakukan dosa, sehingga membawa damai Allah bagi keluarga; suami menjadi pembawa damai bagi istri, dan anak-anaknya serta sebaliknya. 3. Setiap pemimpin lembaga swasta maupun pemerintahan dipanggil untuk menciptakan struktur penuh dosa menjadi struktur penuh rahmat. 

Berdamai dengan Allah itu dapat mengikat persatuan dengan diri sendiri, sesama dan seluruh alam semesta. Berdamai dengan Allah itu memerdekakan, membebaskan kehidupan kini dan akhirat. Untuk itu berdamai dengan Allah membutuhkan kerelaan dan keterbukaan kepada kehendak dan belas kasih Allah. Kerelaan dan keterbukaan kepada Allah adalah pelajaran seumur hidup yang tentunya membutuhkan pembiasaan dalam hidup. Baca juga, Antonio Quido Filipazzi, Khotbah Nusantara, Bogor: LUMEN, cet. 1juni 2016. (Komanjapa/Segoo)
Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: