Buramnya Masa Depan Misi Katolik Di Papua


Tulisan  berikut merupakan  masalah yang terus menjadi buah bibir di kalangan Kaum Muda dan  Umat  pada umumnya.

Sentani Citty Square- bangunan yang didirikan di atas tanah Misi. Foto/Hengky Bobii

Sejak Herman Moninghof mengundurkan diri sebagai Uskup Keuskupan Jayapura, berbagai persoalan dalam tubuh Gereja bermunculan, mulai dari penyalagunaan asset gereja (Misi Katolik), tempat pembinaan kaum muda berantakan, hingga lembaga-lembaga katolik seperti sekolah dan rumah sakit tidak memberikan pelayanan sebagaimana mestinya bahkan tidak mengkaderkan awam katolik Papua.

Dampak dari tidak adanya perhatihan dari Gereja terhadap orang muda katolik semakin jelas, ini dapat dibuktikan dengan ungkapan dari  teman-teman kalangan muda  beragama  muslim dan protestan yang sering mengatakan bahwa Gereja Katolik sudah tidak menampakkan orang mudanya di organisasi BEM-MPM di setiap Kampus. Wajar bila kaum muda katolik menjadi nomor urut terakhir di setiap organisasi dan lembaga masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta, sebab tempat pengkaderan orang muda katolik sudah berantakan dan telah dikacaukan (dimatikan) oleh Uskup Leo. Seperti halnya tidak menempatkan seorang pembimbing khusus di tubuh organisasi PMKRI dan PK serta  banyak asrama  katolik ditutup.
Asrama Mahasiswa Katolik Tauboria- Salah satu tempat didik awam katolik yang ditutup. Foto/Hengky Bobii

Begitu pula dengan asset-aset geraja (misi) hampir semua diuangkan, seperti Tanah Misi di Sentani yang dijual kepada pengusaha Cina yang kini mendirikan Sentani Citty Square (SCS)- Mall Borobudur. Tanah Misi lain lagi yang dijual adalah tempat di mana berdirinya Mall Holla Plaza di Padang Bulan-Abapura. Aset lainnya yang dijual yaitu  Toko Buku Labor yang berada di jantung kota Jayapura. Bangunan tersebut dijual kepada PT. Gramedia dan kini sebagai toko buku gramedia.

Selain itu, persoalan terjadi dalam lembaga milik  Gereja seperti di Rumah Sakit Dian Harapan-Waena itu juga mendapat banyak keluahan dan sorotan karena pelayanannya menyisihkan kaum ekonomi lemah. Walaupun kondisi pasien dalam keadaan para (koma/krisis), Pelayanan bisa dilakukan ketika ada uang, tetapi bila tidak ada uang maka tidak bisa dilayani. begitupula perekrutan tenaga medis, hampir seluruhnya adalah orang pendatang, sementara tenaga medis asal papua tidak dikaderkan.

Pendidikan Katolik di Papua pun turut memprihatinkan sebab sudah nampak kualitasnnya semakin menurun. Melihat kondisi seperti itu, maka pernah Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Cendekiawan Awam Katolik Papua  (DPP-ICAKAP) melakukan seminar sehari dengan topik “Meneropong Kualitas Pendidikan Katolik di Papua: Dahulu, Sekarang dan Akan Datang”, di Aula Santo Yosep Seminari Tinggi Interdiosesan, Abepura, 12 April 2014.

Lebih para lagi, bahwa selama ini terlihat beberapa persoalan  yang terjadi pada teman-teman calon imam (para frater) orang asli Papua. Banyak aturan yang dibuat dalam komunitas tersebut tetapi aturan itu hanya berlaku bagi anak keriting (frater orang asli Papua) sehingga banyak para calon Imam asli papua yang dikeluarkan. Jelaslah bahwa dalam gereja pun umat katolik pribumi papua hanya dijadikan obyek, bukan pelaku (subyek) dalam pembanguna dan kemajuan masyarakat, gereja maupun bangsa.

( Hengky Bobii )
Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: