Tangisan Anak Yang Tersisihkan



Aku dilahirkan di suatu kampung yang gersang dan sunyi.
Tiga tahun yang lalu, tanpa mengenal wajah orang asing.
Hanya ayah, ibu dan keluargaku yang terekam di benakku.   

Hari berlalu begitu cepat, kalender hitam putih itu pun menunjukan bulan 6.
Seakan aku bersaing ketat menuju remaja.
Koran berita ratapan anak negeri itu masih tereletak di atas pundakku dan dalam lemari pikiranku sepeninggal ibuku.

Seperti dulu, ayah menatanya dengan begitu sederhana.
Sebuah kertas kecil, bertuliskan nama, tanggal dan jam lahirku.
Dan selembar foto juga melatari kusamnya Koran berita.

Foto dua pasangan yang sedang memakai pakaian adat pengantin.
Itulah foto ibu dan ayah ketika menikah adat dulu.
Mereka seakan-akan bersumpah untuk sehidup semati dalam suka dan duka.
Selalu bersama di waktu susah ataupun senang.

Kini semua sumpah itu tidak bisa dipegang lagi.
Ayah pergi meninggalkan aku dan ibu, saat usiaku memasuki tahun yang ketiga.
Amanah kesabaran itu sudah digoyangkan habis oleh cobaan seolah terkikis batu karang.
Dan hancur berkeping-keping.
Terurai dan terbawa hanyut gelombang-gelombang ombak di lautan nan biru.   

Berawal dari sebuah perceraian, yang dahulu aku tak mengerti, apa arti perceraian itu?
Sejak kecil sampai sekarang aku belum pernah merasakan kasih sayang dari  kedua orang tuaku.
Tetapi aku juga sangat beruntung punya tanah dan rumah, yang menjamin untuk aku hidup dan memberi kasih sayang.
Meskipun ayah bekerja keras menjadi buruh dan ia punya semangat besar hanya demi aku.
Tetapi aku menjadi anak jalanan. Anak yang terlantar, yang jauh dari kasih sayang kedua orang tuaku.




Karya: Andreas Waine
Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: