Pilkada Serentak 2017

Tak akan ada yang namanya Demokrasi


Oleh: Vitalis Goo

Menurut pantauan kami, pesta-pesta demokrasi yang berlangsung di Indonesia tak diselenggarakan secara demokratis. 'Pesta Demokrasi' dijadikan sebagai sebuah slogan belaka. Sebuah slogan yang dipermainkan oleh orang-orang yang termotivasi untuk mengejar uang dan jabatan.

Tiada bedanya, baik pemilihan presiden, kepala daerah maupun para calon legislatif, selalu saja para politikus mempraktekan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan prinsip atau asas demokrasi itu sendiri.

Dewasa ini, uang bisa membayar hak suara, meski seseorang mempunyai kebesasan menentukan pilihannya. Dan jangan heran kalau political money mentradisi dalam pesta-pesta demokrasi yang telah berlalu. Tak perlu kita melihat contoh kasus yang jauh, di sekitar kita saja pesta demokrasi itu sarat dengan hal itu.

Saat pertama kalinya Dogiyai menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada), secara garis besar, masyarakat Dogiyai terbagi kedalam dua kelompok besar, yakni kelompok dari masyarakat Mapia dan Kamuu. Kedua kelompok itu terbentuk berdasarkan dua wilayah besar yang ada di Dogiyai. Masyarakat buta melihat latar belakang kandidat yang didukungnya, apakah ia sosok yang berjiwa membangun atau tidak. Yang penting menurut mereka, kandidat yang didukungnya itu adalah saudara, keluarga dan berasal dari wilayah mereka. Masyarakat Mapia mendukung dan mengusung kandidat dari Mapia, begitu pula masyarakat Kamuu.

Untuk itu pihak yang berwenang mesti membangun pemahaman yang baik agar masyarakat nantinya memilih kandidat yang berjiwa membangun, tanpa membeda-bedakan kamu dari Mapia atau kamu dari Kamuu.

Jika masyarakat mendukung dan memilih kandidat berdasarkan hubungan kekeluargaan dan kedaerahan, apalagi jika para kandidat memainkan political money untuk memenangkan pilkada, maka pembangunan di daerah akan berjalan statis (tak ada perubahan yang signifikan) sama seperti pengalaman satu periode yang berlalu.

Pilkada 2017 yang akan diselenggarakan di Dogiyai pun akan menuai konflik seperti pilkada sebelumnya. Mengapa demikian? Karena dari awalnya (persiapan penyelenggaraan pemilihan) banyak kalangan menilai bahwa proses penyeleksian Panwaslukada kabupaten Dogiyai tidak berjalan secara adil dan jujur, sebab ketiga anggota panwaslu yang telah terpilih itu semuanya berasal dari daerah Mapia. Begitu pula dalam penyeleksian PPD tingkat distrik. Panitia penyeleksi dinilai tidak profesional dan netral. Sifat-sifat kedaerahan di Dogiyai masih kental sekali pun ia seorang intelektual.

Jika kondisinya seperti itu, kita bisa pastikan bahwa konflik di Dogiyai kian terbuka lebar dan tak akan berjalan secara demokratis seperti yang diharapkan segelintir orang. Maka itu, setiap orang mesti memahami dan menerapkan demokrasi yang sesungguhnya. Jangan demokrasi dimainkan oleh oknum-oknum yang berwenang demi kepentingan seorang kandidat berdasarkan sifat kedaerahan yang telah dimaksud di atas. Semoga para penyelenggara pemilihan lebih mengedepankan asas-asas pemilihan guna menyukseskan pilkada 2017.
Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: