Foto Ilustrasi Google |
Sudah 5 tahun berlalu setelah suami Linda meninggal dunia. Selama itu Linda menjalani hidupnya sebagai seorang janda. Sejak sang suami meninggal, ia tak berpikir untuk kawin lagi dengan pria lain, sebagaimana yang dilakukan kebanyakan wanita. Yang ada di dalam benaknya adalah sebuah keinginan untuk membesarkan anak-anaknya yang masih kecil.
Bagi Linda, kematian suaminya adalah sebuah peristiwa yang lumrah bagi semua orang, sebab peristiwa itu akan dialami oleh setiap orang jika tiba saat ajal menjemputnya. Namun sebagai seorang manusia biasa ia pernah meratapi kepergian suaminya ke alam baka. Ratapannya datang dari kesedihannya yang mendalam, sebab ia tahu bahwa suaminya itu tak akan pernah hidup kembali. Tubuhnya akan membusuk dan menjadi tanah. Sebab suaminya itu juga tak kan pernah bercanda tawa bersama Linda dan anak-anaknya sebagaimana saat ia masih hidup. Ia hanya meninggalkan kenangan, entah kenangan yang manis ataupun yang pahit.
Seperti hari-hari sebelumnya, Linda bersama 5 anaknya masih tinggal di gubuk tua, yang jauh dari keramaian kota. Gubuk yang telah ditinggali sang suami sebagai karya tangannya yang terakhir. Linda beserta anak-anaknya tak pernah meninggalkan gubuk tua selepas suaminya meninggal dunia.
Linda duduk di dekat tungku api sembari memasukan potongan-potongan kayu ke bara api. Ia mengenang kembali saat suaminya menebang berhektar-hektar pohon di lahan baru untuk berkebun. Setelah pohon-pohon besar itu ditumbangkan dan sebulan setelah kayu-kayu mengering, Linda ikut membantu sang suami untuk membakar kayu-kayu kering itu. Selanjutnya ditanami berbagai jenis tanaman. Tanaman yang mendominasi di kebun baru itu adalah boncis. Ketika tiba saatnya panen, hampir 20-an kali Linda membawa noken-noken besar untuk mengambil hasil kebun. Saat-saat itu kebutuhan pangan dalam keluarga Linda terpenuhi. Selebihnya diberikan kepada orang lain di sekitarnya dan selebihnya lagi dijual ke pasar demi membiayai pendidikan anak-anaknya yang sedang bersekolah. Kenangan lain bersama suami terputar kembali sore itu. Ia hanya meneteskan air mata saat menyadari bahwa dirinya tak kan sanggup lagi melakukan pekerjaan berat yang biasanya hanya sanggup dikerjakan oleh pria. Ia pula sering menangis saat dirinya menyesali sikap dan perbuatannya yang pernah menyakiti hati suaminya.
Linda duduk di dekat tungku api sembari memasukan potongan-potongan kayu ke bara api. Ia mengenang kembali saat suaminya menebang berhektar-hektar pohon di lahan baru untuk berkebun. Setelah pohon-pohon besar itu ditumbangkan dan sebulan setelah kayu-kayu mengering, Linda ikut membantu sang suami untuk membakar kayu-kayu kering itu. Selanjutnya ditanami berbagai jenis tanaman. Tanaman yang mendominasi di kebun baru itu adalah boncis. Ketika tiba saatnya panen, hampir 20-an kali Linda membawa noken-noken besar untuk mengambil hasil kebun. Saat-saat itu kebutuhan pangan dalam keluarga Linda terpenuhi. Selebihnya diberikan kepada orang lain di sekitarnya dan selebihnya lagi dijual ke pasar demi membiayai pendidikan anak-anaknya yang sedang bersekolah. Kenangan lain bersama suami terputar kembali sore itu. Ia hanya meneteskan air mata saat menyadari bahwa dirinya tak kan sanggup lagi melakukan pekerjaan berat yang biasanya hanya sanggup dikerjakan oleh pria. Ia pula sering menangis saat dirinya menyesali sikap dan perbuatannya yang pernah menyakiti hati suaminya.
Saat Linda membenamkan beberapa biji petatas ke dalam abu api, air matanya terus membanjiri kedua pipinya yang mulai keriput.
"Mama kenapa menangis?" tanya Yan yang duduk tenang di sampingnya. Yan adalah anak ke delapan dari sebelas bersaudara. Kini di gubuk tua ini hanya tinggal 4 beraIdik-kakak yang masih kecil. Sementara 5 yang lainnya telah berkeluarga dan punya anak dan 3 anak telah meninggal sejak kecil. Yan berusia duabelas tahun, Leo berusia sepuluh tahun, Mei berusia tujuh tahun dan Melan berusia lima tahun. anak-anaknya yang masih berusia sekolah dasar itulah yang membuat Linda terus berpegang pada komitmennya untuk tidak kawin lagi. Ini menjadi alasan utama baginya selain alasan-alasan yang lainnya.
Linda tak menjawab pertanyaan anaknya beberapa saat. Ia menghapus tetesan air matanya dengan telapak tangan kanannya.
"Tidak. Mama tidak menangis," jawab Linda sekenanya. Ia tak jujur menjawab pertanyaan anaknya, sebab ia tahu kalau anak seusia Yan tak akan memahami kesedihan dan penyesalan yang membuat ia menangis.
"Mama pasti lapar." kata Leo sembari menatap ibunya yang sedang mengangkat petatas dalam abu dengan gepe yang terbuat dari kayu besi. Mendengar perkataan Leo, Linda tersenyum lebar. Rasa sedih dan sesal hanyut seketika, terbawa arus senyuman. Mei dan Melan bermain riang mengelilingi gubuk tua itu sambil kejar-mengejar.
"Mei...Melan..." panggil Linda. "Mari masuk ambil petatas."
sesaat kemudian Mei dan Melan berlari masuk ke dalam gubuk. Linda membagi-bagi petatas secara merata kepada keempat anaknya sebagai santapan malam.
"Kita berdoa" pintka Yan seturut nasihat yang selalu diberikan Linda. Bahwa sebelum makan, tidur atau melakukan sesuatu harus didahului doa untuk memanjatkan syukur dan pujian kepada Sang Pencipta dan memohon penyertaanNya. Dan Linda berdoa sebelum menikmati hidangan malam yang telah disediakannya.
"Mama kenapa menangis?" tanya Yan yang duduk tenang di sampingnya. Yan adalah anak ke delapan dari sebelas bersaudara. Kini di gubuk tua ini hanya tinggal 4 beraIdik-kakak yang masih kecil. Sementara 5 yang lainnya telah berkeluarga dan punya anak dan 3 anak telah meninggal sejak kecil. Yan berusia duabelas tahun, Leo berusia sepuluh tahun, Mei berusia tujuh tahun dan Melan berusia lima tahun. anak-anaknya yang masih berusia sekolah dasar itulah yang membuat Linda terus berpegang pada komitmennya untuk tidak kawin lagi. Ini menjadi alasan utama baginya selain alasan-alasan yang lainnya.
Linda tak menjawab pertanyaan anaknya beberapa saat. Ia menghapus tetesan air matanya dengan telapak tangan kanannya.
"Tidak. Mama tidak menangis," jawab Linda sekenanya. Ia tak jujur menjawab pertanyaan anaknya, sebab ia tahu kalau anak seusia Yan tak akan memahami kesedihan dan penyesalan yang membuat ia menangis.
"Mama pasti lapar." kata Leo sembari menatap ibunya yang sedang mengangkat petatas dalam abu dengan gepe yang terbuat dari kayu besi. Mendengar perkataan Leo, Linda tersenyum lebar. Rasa sedih dan sesal hanyut seketika, terbawa arus senyuman. Mei dan Melan bermain riang mengelilingi gubuk tua itu sambil kejar-mengejar.
"Mei...Melan..." panggil Linda. "Mari masuk ambil petatas."
sesaat kemudian Mei dan Melan berlari masuk ke dalam gubuk. Linda membagi-bagi petatas secara merata kepada keempat anaknya sebagai santapan malam.
"Kita berdoa" pintka Yan seturut nasihat yang selalu diberikan Linda. Bahwa sebelum makan, tidur atau melakukan sesuatu harus didahului doa untuk memanjatkan syukur dan pujian kepada Sang Pencipta dan memohon penyertaanNya. Dan Linda berdoa sebelum menikmati hidangan malam yang telah disediakannya.
Pagi itu cerah. Matahari bersinar terang dibalik gunung ketika gumpalan kabut menghilang entah kemana. Yan, Leo dan Mei telah berangkat ke sekolah sejak pagi buta mengingat jauhnya jarak dari rumah ke sekolah, berkisar 3-4 km.
Di gubuk tua itu tinggal Linda dan Melan kecil - yang berumur 5 bulan sejak ayahnya meninggal dunia. Benar-benar Linda merasakan beban ada di pundaknya, sebab ia (seorang diri) akan membesarkan anak-anaknya. Beban itu terasa berat dipikulnya saat Melan kecil dan Mei yang saat itu baru berusia 2 tahun sama-sama jatuh sakit selama sebulan penuh. Linda dengan sabar menjaga dan merawat mereka berdua, selain menyiapkan makanan.Selama itu air mata Linda tak henti-hentinya bercucuran membasahkan kedua pipinya. Dalam masa penderitaan itu Linda tegar kembali ketika Merry, John dan Lince yang sedang kuliah datang berliburan ke kampung. Merry yang sedang kuliah di bidang teknik berlibur hanya untuk melihat kuburan ayahnya. Sementara John berlibur untuk keperluan penelitian dan Lince untuk melepas rindu terutama kepada ibunya. Mulai ketika ketiga anaknya itu kembali ke kota studinya masing-masing, Linda mulai bekerja keras lagi. Merry, John dan Lince kini telah berkeluarga dan tak tinggal lagi di gubuk tua itu.
Linda keluar dari gubuk tua itu untuk membersihkan kebun di sekitar pekarangan gubuk. Ia berdiri di halaman menatap sekilas ke depan. Ia lalu menjurus ke kebun.
Linda keluar dari gubuk tua itu untuk membersihkan kebun di sekitar pekarangan gubuk. Ia berdiri di halaman menatap sekilas ke depan. Ia lalu menjurus ke kebun.
Sesaat kemudian, seorang pria datang. Linda kenal pria itu. Tarsis namanya. Tarsis pernah menggoda Linda beberapa kali, tetapi Linda tak pernah merespon. Untuk apa Tarsis datang kesini? tanya Linda dalam hatinya. Linda menghentikan pekerjaannya,ia lalu menjumpai pria itu di halaman gubuk.
"Untuk apa datang kesini?" tanya Linda langsung.
"Saya kesini untuk..." pria itu berhenti sesaat, "untuk tawarkan kamu kawin dengan saya." Pria itu mengutarakan tujuan kedatangannya. Dalam hati, Linda memang menyukai pria yang berdiri di hadapannya, tetapi ia tak ingin mengganggu istri dan anak-anak Tarsis dengan kehadirannya dalam keluarga Tarsis.
"Untuk apa datang kesini?" tanya Linda langsung.
"Saya kesini untuk..." pria itu berhenti sesaat, "untuk tawarkan kamu kawin dengan saya." Pria itu mengutarakan tujuan kedatangannya. Dalam hati, Linda memang menyukai pria yang berdiri di hadapannya, tetapi ia tak ingin mengganggu istri dan anak-anak Tarsis dengan kehadirannya dalam keluarga Tarsis.
"Maaf, saya tidak berpikir kesana hinggga detik ini."
"Apa saja yang kau pikirkan?"
"Saya hanya berpikir untuk membesarkan anak-anak saya."
"Bagaimana kalau kita pikirkan itu sama-sama?" Linda membisu marah kepada pria yang berdiri di hadapannya. Ia marah karena Tarsis yang berkeluarga itu terus membujuk Linda untuk menjadikan Linda sebagai istrinya yang kedua. Ia tahu benar kalau hidup dalam keluarga poligami masa kini selalu bermasalah. Apalagi suatu kali istri Tarsis pernah bertengkar dengan Linda karena cemburu. Linda benar-benar membenci pria itu.
"Saya tidak ingin banyak bicara dan bermasalah dengan istrimu, jadi silahkan angkat kaki dari rumah ini."
"Baiklah, kalau begitu."
"Apa saja yang kau pikirkan?"
"Saya hanya berpikir untuk membesarkan anak-anak saya."
"Bagaimana kalau kita pikirkan itu sama-sama?" Linda membisu marah kepada pria yang berdiri di hadapannya. Ia marah karena Tarsis yang berkeluarga itu terus membujuk Linda untuk menjadikan Linda sebagai istrinya yang kedua. Ia tahu benar kalau hidup dalam keluarga poligami masa kini selalu bermasalah. Apalagi suatu kali istri Tarsis pernah bertengkar dengan Linda karena cemburu. Linda benar-benar membenci pria itu.
"Saya tidak ingin banyak bicara dan bermasalah dengan istrimu, jadi silahkan angkat kaki dari rumah ini."
"Baiklah, kalau begitu."
Sesaat kemudian, Tarsis melangkah pergi meninggalkan Linda. Linda menghembuskan nafas panjang, merasa lega seakan terhindar dari perangkap yang memautkan. Melan keluar dari gubuk mendapati ibunya yang tengah berdiri sembari memandang hampa.
"Tadi itu siapa? Bapa?" tanya Melan.
"Bukan siapa-siapa."
"Sudah lama bapa tidak pulang. Kapan bapa pulang?"
"Bapa sudah pergi jauh. Bapak tidak akan pulang."
"Kalau begitu kita akan pergi ke bapa nanti!"
"Ada waktunya kita kesana, ke bapa."
"Tadi itu siapa? Bapa?" tanya Melan.
"Bukan siapa-siapa."
"Sudah lama bapa tidak pulang. Kapan bapa pulang?"
"Bapa sudah pergi jauh. Bapak tidak akan pulang."
"Kalau begitu kita akan pergi ke bapa nanti!"
"Ada waktunya kita kesana, ke bapa."
Melan kecil tak memahami maksud ibunya. Linda berharap agar suatu saat nanti, Melan akan mengetahuinya kalau ayahnya telah meninggal dunia.
Seperti apa yang telah diinginkannya, Linda berpendirian pada komitmennya untuk tidak kawin lagi dan menjanda sepanjang hidupnya sambil membesarkan dan membiayai pendidikan anak-anaknya.
Di gubuk tua itu Linda terus tabah menjalani hari-hari hidupnya bersama anak-anaknya. Linda adalah seorang janda perkasa, yang menaruh penuh perhatiannya kepada anak-anaknya. Itulah yang menguatkan Linda untuk terus bekerja membanting-tulang untuk menghidupi keluarganya. Itu pula yang mendorong Linda untuk menolak pria yang datang menawarinya untuk kawin dengannya.*** (Vitalis Goo)
0 komentar:
Post a Comment