Pembinaan Kaum Muda, antara Konsep dan Realias

Foto  Ilustrasi Google


Oleh: Hendrikus Bobii

Berbicara tentang pembinaan Kaum Muda Katolik dalam lingkup Keuskupan Jayapura, lebih khusus di Kota Jayapura memang omong kosong, hanya indah di mulut dan di atas kertas, tidak ada realisasinya. Maka bisa diberikan satu definisi yang terdapat dalam Kitab Suci kepada pihak atau orang yang bertanggungjawab tersebut, singkatnya“ iman tanpa perbuatan  adalah nol”.

Saya akan mencoba untuk buktikan atau bertanggung jawab sedikit atas definisi di atas. Coba tinjau tulisan yang termuat di Majalah Berita Keuskupan Jayapura, edisi 100/September-oktober/2006. hal 20, berita saat Sinode Keuskupan mengenai “membangun persekutuan yang khas papua, orang muda sebagai kelompok strategis”, pada halaman 21, paragraf pertama dijelaskan: “kelompok khusus orang muda ditempatkan sebagai kelompok strategis untuk memajukan perubahan dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat khususnya untuk masa depan. Kelompok orang muda dalam kelompok teritorial (mudika) dan lintas wilayah (kategorial) seperti PMKRI, PK, Asrama, perlu mendapat bimbingan dan pembimbing khusus”. Di paragraph ketuju tertulis: “di bidang pendidikan antara lain ditegaskan bahwa pengkaderan orang muda, dikembangkan terus pembinaan lewat asrama, baik di pedalaman maupun kota seperti asrama pendukung di jayapura dengan menyiapkan tenaga Pembina, fasilitas dan program pembinaan yang jelas”.

 Coba buktikan tulisan tersebut dengan fakta saat ini, dari Tahun 2006 hingga sekarang belum nampak rumusan di atas. Malahan, Setelah rumusan itu ditetapkan, untuk bertindaknya tidak sesuai namun sangat  kontroversial dengan rumusan tersebut. Seperti terjadinya penutupan Asrama Tauboria dan Tunas Harapan, PMKRI dan PK tidak ada pembimbing khusus. Aneh, semua  ini menjadi berantakan setelah rumusan itu ditetapkan.

Pembinaan yang terlihat hanya di kelompok teritorial (khususnya mudika), tetapi coba kita lihat di lintas kategorial diantaranya PMKRI, PK dan Asrama. Ini yang omong kosong alias “munafik”. Dampak dari tidak adanya pembimbing, PMKRI berjalan sendiri sehingga terjadi dualisme, maka beberapa senior dan anggota yang menaru perhatian dengan keberadaan PMKRI sehingga membuka penerimaan anggota baru pada  bulan Februari 2013, penerimaan ini diluar jadwal atau mekanisme dalam organisasi tersebut, seharusnya penerimaan anggota baru pada Tahun 2012.  Begitu pula dengan asrama, Asrama di pedalaman mungkin masih berjalan, tetapi coba lihat asrama di Jayapura, asrama Putra Teruna Bakti dialihkan fungsi , Tunas Harapan dan Asrama Tauboria ditutup. Semua tindakkan ini dilakukan tanpa alasan yang jelas.

Konsep seperti tertuang dalam berita keuskupan di atas bukan hal baru, sudah lama ada dan nyata, tetapi dalam sinode keuskupan itu hanya memperjelas di atas kertas agar semua orang melihat dan mengetahuinya. Era Uskup Herman Muninghof dan sebelumnnya, rumusan tersebut sudah berjalan baik dan sesuai harapan sebagaimana mestinya. Anehnya, setelah terjadi pergantian uskup Herman, semua aset dan karya yang dibuat  para misionaris asing di kubur dalam waktu yang singkat, malah menghancurkan yang sudah ada, bukannya menata lebih baik sesuai rumusan dalam berita keuskupan.

Berkaitan dengan soal tidak menempatkan Pembina di ingkup kategorial, biasanya ada jawaban atau alasan dari pihak keuskupan seperti ‘karena kekurangan pastor untuk ditempatkan di lingkup kategorial sebab sudah berkurang tenaganya setelah Keuskupan Timika terbentuk’. Tetapi mesti dipertanyakan lagi karena konsep tersebut dijelaskan setelah dua tahun Keuskupan Timika terbentuk. Konsep bagus tetapi fakta di lapangan mengatakan nol. Kalau sudah demikian, apa maksud dari konsep tersebut? Karena di berita keuskupan tersebut berbicara tentang membangun persekutuan khas papua, maka untuk menjawab pertanyaan ini pun penting untuk dipandang dari segi keadaan Papua sekarang, seperti halnya era otonomi khusus, maka bisa dijawab, singkatnya: ‘tujuannya hanya untuk menunjukan konsep di muka umum, guna untuk mencari peluang demi memenuhi kebutuhan dan kepentingan pibadi dan kelompoknya’.

Sampai kini, kaum muda katolik menjerit karena tersesat di belantara modernisasi (ibarat anak ayam kehilangan induknya), sebab tidak ada perhatian sama sekali dari pihak gereja (Keuskupan). Dengan demikian, boleh dibilang bahwa masa depan masyarakat dan Gereja Katolik di Tanah Papua menuju pintu kehancuran. Gereja Katolik di Papua umumnya dan terlebih khusus di Jayapura sudah tidak peduli dengan kaum muda dan  tidak mau kaum muda katolik memiliki spiritual, intelektual dan mental yang baik.

Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah kisah yang ditulis Sang Penyair Ternama, Khalil Gibran:

Di hari minggu, Uskup Bulos Galib berkhotbah di Gerejanya, namun selama satu minggu ia tidak pernah melakukan apa yang ia khotbahkan, menyibukkan diri dengan intrik politik lokal.

(Demikian ditulis Khalil Gibran dalam bukunya yang berjudul “Sayap-Sayap Patah”)

Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: