Sebagaimana kabupaten atau daerah lain di Indonesia, kabupaten Dogiyai sejak kelahirannya menyandang moto ‘Dogiyai Dou Enaa’. Sebuah moto dalam bahasa daerah suku Mee (Mee Mana), yang artinya Dogiyai yang tampak indah atau bermutu. Moto yang patut dianjungi jempol, sebab moto itu menggambarkan adanya suatu komitmen yang kokoh guna menjadikan Dogiyai yang bermutu.
Demi mewujudkan ‘Dogiyai yang indah atau bermutu’ maka diperlukan kerjasama yang baik antar seluruh lapisan masyarakat Dogiyai, sebab membangun sebuah daerah tak semudah kata-kata yang terucap. Membangun sebuah daerah dibutuhkan komitmen yang kokoh, kerjasama yang baik dan target-target pencapaian pembangunan yang jelas. Tanpa melalui itu, maka daerah tersebut tak ‘kan pernah berkembang maju.
‘Dogiyai Dou Enaa’ adalah sebuah impian yang mesti diperjuangkan. Oleh karenanya, mesti ada upaya-upaya perwujudannya. Yakni upaya-upaya positif yang membangun manusia dan daerah Dogiyai seutuhnya. Setidaknya melalui pemberdayaan rakyat kecil berdasarkan potensi-potensi yang ada di setiap kampung. Kegiatan pemberdayaan rakyat kecil di Dogiyai yang dilakukan belakangan ini melalui penyelenggaraan pameran hasil karya tangan kaum wanita yang diselenggarakan dari BPMK kabupaten Dogiyai oleh kepala BPMK, Damiana Tekege merupakan contoh kegiatan nyata yang patut dianjungi jempol, sebab kegiatan seperti itulah mesti dilakukan pemerintah untuk memberdayakan rakyat kecil. Paling tidak dengan memberikan modal secukupnya untuk mengembangkan usaha mereka.
Kegiatan pemberdayaan seperti itulah yang mesti dikembangkan untuk mewujudkan moto ‘Dogiyai Dou Enaa’. Namun sayang, kenyataan yang terjadi di lapangan berkata lain. Moto ‘Dogiyai Dou Enaa’, entah sengaja atau tak sengaja dibelokan menjadi ‘Dogiyai Dou Peu’ (Dogiyai yang tak bermutu). Hal ini terbukti dengan adanya kepentingan kebanyakan pejabat lokal yang rupanya berorientasi pada uang dan jabatan, sehingga mereka menelantarkan kepentingan pembangunan manusia dan daerah Dogiyai.
Kondisi di atas membuat moto ‘Dogiyai Dou Enaa’ tak terealisasi seiring berjalannya sang waktu. Jika ditelusuri kembali selama lima tahun masa karateker, ada pejabat yang rangkap jabatan, tak ada koordinasi yang jelas antar dinas-dinas yang terkait dan ada pula yang menjalankan tindakan money politics untuk meloloskan kepentingannya.
Demi mewujudkan ‘Dogiyai yang indah atau bermutu’ maka diperlukan kerjasama yang baik antar seluruh lapisan masyarakat Dogiyai, sebab membangun sebuah daerah tak semudah kata-kata yang terucap. Membangun sebuah daerah dibutuhkan komitmen yang kokoh, kerjasama yang baik dan target-target pencapaian pembangunan yang jelas. Tanpa melalui itu, maka daerah tersebut tak ‘kan pernah berkembang maju.
‘Dogiyai Dou Enaa’ adalah sebuah impian yang mesti diperjuangkan. Oleh karenanya, mesti ada upaya-upaya perwujudannya. Yakni upaya-upaya positif yang membangun manusia dan daerah Dogiyai seutuhnya. Setidaknya melalui pemberdayaan rakyat kecil berdasarkan potensi-potensi yang ada di setiap kampung. Kegiatan pemberdayaan rakyat kecil di Dogiyai yang dilakukan belakangan ini melalui penyelenggaraan pameran hasil karya tangan kaum wanita yang diselenggarakan dari BPMK kabupaten Dogiyai oleh kepala BPMK, Damiana Tekege merupakan contoh kegiatan nyata yang patut dianjungi jempol, sebab kegiatan seperti itulah mesti dilakukan pemerintah untuk memberdayakan rakyat kecil. Paling tidak dengan memberikan modal secukupnya untuk mengembangkan usaha mereka.
Kegiatan pemberdayaan seperti itulah yang mesti dikembangkan untuk mewujudkan moto ‘Dogiyai Dou Enaa’. Namun sayang, kenyataan yang terjadi di lapangan berkata lain. Moto ‘Dogiyai Dou Enaa’, entah sengaja atau tak sengaja dibelokan menjadi ‘Dogiyai Dou Peu’ (Dogiyai yang tak bermutu). Hal ini terbukti dengan adanya kepentingan kebanyakan pejabat lokal yang rupanya berorientasi pada uang dan jabatan, sehingga mereka menelantarkan kepentingan pembangunan manusia dan daerah Dogiyai.
Menurut Markus Auwe, S.Si, seorang intelektual Dogiyai sempat bertutur bahwa moto ‘Dogiyai Dou Enaa’ dirubah saja sebab moto itu tidak sejalan dengan realitas yang telah dan sedang terjadi. “Alangkah baiknya moto itu diganti, sebab kehadiran kabupaten Dogiyai telah merubah mutu yang telah dipertahankan sebelumnya.” kata Markus.
"Alangkah baiknya moto itu diganti, sebab kehadiran kabupaten Dogiyai telah merubah mutu yang telah dipertahankan sebelumnya.”
Menurut Markus, moto ‘Dogiyai Dou Enaa’ tak terealisasi karena tidak ada manajemen kepemimpinan yang baik dari orang yang berkuasa di kabupaten Dogiyai. Padahal mutu yang dimaksud itu telah ada sebelum kehadiran kabupaten Dogiyai. Misalnya, Yayasan P-5 yang menghasilkan kopi murni yang bermutu.
Kabupaten Dogiyai semakin menuju ‘Dogiyai Dou Peu’ ketika tahapan-tahapan pemilukada berlangsung dalam rangka mewujudkan sebuah kabupaten definitif. Disana terjadi persaingan yang ketat antar para calon kandidat. Berulang kali persoalannya telah dibawa hingga ke Mahkamah Konstitusi. Disana pula tercipta kubu-kubu pendukung para calon kandidat, yang seringkali melakukan tindakan-tindakan anarkhis. Hingga kini aroma kabupaten Dogiyai yang definitif belum nampak. Jika kondisinya demikian, sejak kapan ‘Dogiyai Dou Enaa’ akan diupayakan? (Vitalis Goo).
Kabupaten Dogiyai semakin menuju ‘Dogiyai Dou Peu’ ketika tahapan-tahapan pemilukada berlangsung dalam rangka mewujudkan sebuah kabupaten definitif. Disana terjadi persaingan yang ketat antar para calon kandidat. Berulang kali persoalannya telah dibawa hingga ke Mahkamah Konstitusi. Disana pula tercipta kubu-kubu pendukung para calon kandidat, yang seringkali melakukan tindakan-tindakan anarkhis. Hingga kini aroma kabupaten Dogiyai yang definitif belum nampak. Jika kondisinya demikian, sejak kapan ‘Dogiyai Dou Enaa’ akan diupayakan? (Vitalis Goo).
0 komentar:
Post a Comment