Banyak perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh kaum berjubah (Imam) terhadap Orang Asli Papua, entah di tempat pembinaan milik gereja, dalam lembaga-lembaga Katholik dan lainnya di Papua. Tentu ini merupakan suatu penekanan yang mana membatasi orang asli Papua untuk berkembang ke arah yang baik.
Izinkan saya untuk menceritakan pengalaman yang boleh dibilang sangat menyakitkan bagi anak lemah tak berdaya seperti saya, dimana saya merasa perlakuan itu semestinya tidak perlu terjadi.
Kisah 1, Tahun 2003.
'Moanemani akan dihapus dari daftar wilayah dan pelayanan Gereja Katolik Roma' Ini sebuah ungkapan yang pernah dialamatkan kepada saya saat saya di bangku SMP kelas 2 oleh Frater Stefanus Sabinus, OFM, tahun 2003. Saat ini Fr. Stef sudah menjadi seorang Pastor (imam Katholik) dan bertugas sebagai Rektor di Seminari Menengah Santo Fransisus Asisi, Waena.
Saat Fr. Stef masuk Panti Asuhan Putri Kerahiman Papua (Yapukepa) tahun 2003, Saya adalah salah satu penghuni yang tinggal di panti asuhan itu, yang berada di wilayah Kabupaten Jayapura (Sentani). Fr. Stef saat itu masuk mendampingi Bruder Felix Kalakmabin, OFM, dalam hal mengasuh.
Suatu siang setelah pulang sekolah, seperti biasanya, saya ganti pakaian lalu masuk membaca Koran di ruangannya, tidak lama kemudian Fr. Stef bertanya kepada saya;
"Bobii, ko dari Moanemani ka?"
"Iya benar frater” jawabku jujur.
"Moanemani akan dihapus namanya dari daftar wilayah dan pelayanan Katholik Roma." sambung Fr. Stef.
"Kenapa? ”tanyaku ingin tahu persoalannya.
"Iya….karena kalian yang usir Bruder Michael Baba, sehingga gereja menganggap kalian bukan orang Katholik dan kalian tidak mau pelayanan dari Katholik." katanya dengan tegas.
"O…mungkin, saya tidak tahu masalahnya ” kataku sambil keluar dari ruangan kerjanya.
Saya masuk kamar dan berpikir panjang. Dalam hati saya bertanya, kalau begitu umat Katholik di Moanemani akan menjadi apa agamanya?. Karena tertekan dengan bahasa frater tadi, saya tidak ambil bagian dalam makan siang bersama. Saya akui perkataan Frater Stef saat itu karena ia memiliki jubah yang tentunya banyak orang menganggap bahwa segala pembicaraan dan keputusan orang berjubah adalah benar.
Perasaan ini selalu menekan saya selama beberapa hari dan berlalu. Ketika masuk kuliah, banyak hal yang saya lihat dan dengar tentang berbagai persoalan dalam tubuh Gereja Katolik di Papua, sehingga saya teringat akan ucapan seorang frater dahulu yang pernah membuat beban dalam hati. Saya ingin mengetahui persis persoalan pengusiran Bruder Michael Baba dari wilayah pelayanan Paroki Moanemani, maka saya menemui salah satu teman, namanya Andi, asal dari Moanemani juga yang datang melanjutkan SMA dan Kuliah di jayapura.
"Kawan, dulu masalah yang usir Bruder Mikael itu kenapa?“ tanya saya.
"Kawan, itu bruder dia homo." jawab Andy.
"Ah… masa bisa?" kata saya heran.
"Iyo, makanya masyarakat dong usir." sambungnya.
"Lalu bagimana bisa ketahuan?" tanyaku ingin mengetahui lebih dalam.
"Mereka (korban) sendiri yang mengaku." jelasnya.
Mendengar penjelasan teman tersebut, saya pun menceritakan kata yang pernah diungkapkan Frater Stef. Saya pulang dan memikirkan ungkapan Frater Stef dan banyak pertanyaan muncul dalam benakku, diantaranya: Bruder Michael Baba sudah melakukan tindakan yang melebihi binatang, tapi kenapa Frater Stef berusaha menutupi dan menyalahkan masyarakat? Ada motif apa, sehingga Frater Stef berusaha melindungi bruder tersebut, yang juga adalah sedaerah dan seordo itu? Ataukah Gereja Katholik Roma memang melindungi para kaum berjubah yang membuat tindakan ammoral? Ataukah tindakan Bruder Michael itu adalah ajaran Gereja Katholik?
Kisah 2, Tahun 2011.
Saya lulus SMA Tahun 2007, namun beberapa tahun tidak lanjut kuliah karena ada beberapa persoalan yang saya hadapi. Tahun 2011, bulan Juli saya mendafarkan diri untuk kuliah di kampus Sekolah Tinggi Pastoral Kateketik (STPK). Dalam penerimaan calon mahasiswa ada dua gelombang, saya mendaftarkan diri untuk mengikuti gelombang kedua sebab gelombang pertama sudah berlalu. Setelah saya mendaftar, Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru meminta saya supaya mengikuti tes sendiri pada hari berikutnya tanpa menunggu gelombang kedua. Saya jalani sesuai permintahan mereka.
Setelah ujian, panitia penerimaan mengatakan bahwa tiga hari kemudian bisa datang untuk melihat hasil tes. Saya datang mengecek hasilnya pada hari yang telah ditentukan, namun masih belum ditempelkan di papan pengumuman, maka saya menemui panitia dan menanyakan hasil tes. Panitia menjawab, untuk penerimaan nanti dibicarakan dengan Ketua Sekolah, Pastor Aloisius Gonsaga, OFM. Saya menanyakan, kira-kira kapan baru bisa datang untuk cek hasilnya? Nanti setelah satu minggu, begitulah jawab panita.
Minggu berikutnya saya ke kampus untuk melihat hasilnya lagi. Kebetulan saat masuk saya bertemu salah satu mahasiswa STPK yang sudah semester akhir sedang membabat rumput di jalan masuk kampus, karena kenal dan kaget melihatnya karena rambut gimbalnya sudah gunting, namanya Tadeus Kosay, Ia matikan mesin babatnya dan melepaskan dari badannya lalu kami bersalaman. Kami sedikit santai sambil merokok, dan saya bertanya soal rambut gimbal yang digunting itu. Ia menjelaskan penyebab digunting rambutnya. Ia bercerita, saat mau mengikuti Praktek Kerja Nyata (PKN) yang ditempatkan di sekolah, ia diminta dari pihak kampus untuk menggunting rambutnya dengan alasan bahwa anak sekolah akan takut melihatnya, dan apabila tidak mengguntingnya maka surat rekomendasi PKN-nya tidak akan diberikan. Ia membantah untuk mengguntingnya sebab ia punya alasan bahwa anak sekolah di sini (Papua) sudah melihat dan terbiasa dengan hal rambut gimbal. Ia pun tidak mau mengguntingnya, pihak kampus juga tetap bersih keras untuk tidak memberikan rekomendasi, sehingga Ia melaporkan hal tersebut kepada orang yang membiayai kuliahnya yaitu Pastor Niko Syukur Dister, OFM, maka Pater Niko langsung menyurati pihak kampus agar tidak perlu mempersoalkan hal sekecil itu. Namun pihak kampus pun masih bersih keras untuk tidak memberikan rekomendasi tersebut. Beberapa hari kemudian Tadeus menyadari akan persoalannya yang melibatkan Pastor Niko, maka akhirnya dengan berat hati memangkas rambutnya.
Setelah ia menjelaskan sepintas lalu tentang persoalannya, saya melanjutkan untuk mengecek hasil. Sesampai di kampus, saya tanyakan hasil keputusan rapatnya ke panitia karena tidak ditempel juga hasilnya. Panitia menjelaskan bahwa hasilnya tidak lulus. Lalu saya bertanya lagi, kalau tidak lulus bolehkah saya mengikuti gelombang kedua untuk mendaftar dan tes lagi? Kata mereka, keputusan rapat bahwa calon mahasiswa yang tidak lulus di gelombang awal tidak bisa mendaftar dan mengikuti tes di gelombang berikut berikutnya. Mendengar itu langsung saya minta kembali semua syarat administrasi kecuali biaya pendaftaran. Saya pulang dengan pikiran yang berat, seakan hati ditekan oleh sesuatu hal yang sangat berat. Sesampai di asrama saya mulai memikirkan kembali, mulai dari pengisian formulir hingga saat terakhir mendengar hasil dan tidak dibolehkan mengikuti tes di gelombang berikut. Akhirnya saya memahami pesoalannya, ternyata ada kaitan dengan masalah Tadeus, dimana ia kuliah di STPK dengan biaya dari Pater Niko Dister, sementara saya juga sumber pembiayaan untuk kuliah dari Pater Niko.
Kisah 3, Tahun 2011.
Frater Stef bertugas di Panti Asuhan sejak Tahun 2003 hingga 2012. Ia ditabiskan menjadi Imam di Timika pada Tahun 2010, ia lalu diangkat menjadi Pimpinan Panti Asuhan. Saat ia bertugas sebagai pemimpin, banyak hal yang ia lakukan yang sebetulnya tidak perlu, seperti menambah karyawan baru, dan juga banyak karyawan lama mengeluh atas cara pengambilan keputusannya, dimana ketika ada masalah, bukan diselesaika secaran kekeluargaan, namun langsung memberikan surat pemecatan.Suatu ketika saya mengunjungi seorang adik saya bernama Yahya, yang kebetulan juga alumni dan menetap di situ (panti asuhan) dan membantu para karyawan yang bertugas membuat kebun dan mencari makanan ternak.
Ketika saya tiba di panti, adik tersebut mengatakan: 'Kakak di sini masalah rumit sekali, banyak karyawan tidak suka dengan gaya kepemimpinan Pater Stef'. Saya bertanya: 'Kenapa?' Yahya menjelaskan: 'Pastor Stef tidak bisa membangun komunikasi dengan para karyawan lama dan ia sering mengancam untuk mengurangi upah kerjanya bila tidak menjalankan tugas sesuai kemauannya, terkadang juga ia langsung memberikan surat peringatan dan pemecatan. Tidak seperti dulu lagi kakak.' Saya mengatakan: 'Oke adik, kalau begitu, walaupun ikatan alumni belum terbentuk secara resmi tapi atas nama alumni kita akan bertemu dengan Pastor Stef untuk membicarakan hal itu.'
Setelah beberapa hari kemudian, kami lima orang atas nama alumni pergi menemui Pastor Stef. Ketika kami mengetuk pintu, ia melihat kami dan langsung menanyakan apa tujuan kedatangan kami, kami pun menjelaskan maksud kedatangan kami. Pater Stef dengan muka marah mengatakan: 'Kalian pulang, kalian bukan penghuni lagi.' katanya sambil menutup pintunya. Dengan kesal atas keputusan pastor, kami pulang dan besoknya kami alumni sekitar lima belas orang berkumpul untuk membahas langkah selanjutnya dan akhirnya kami sepakat untuk membuat surat pernyataan sikap, isi atau desakan kami dalam surat hanya merombak Pimpinan, pembina dan pengasuh, kami menyusun dan mengirimkan itu kepada pimpinan ordo OFM di Papua, Pastor Gabriel Nga, OFM. Saya dan salah seorang kakak yang juga alumni panti asuhan, namanya Didimus Dogomo, menandatangi surat peryataan sikap alumni yang kami buat.
Selang satu minggu, kami dua mendapat surat balasan dari pimpinan ordo OFM, Pastor Gabriel. Dalam surat tersebut ia meminta kami untuk tidak boleh campur tangan dalam melihat kondisi panti asuhan. Point terakhir yang masih hangat sampai kini di otak saya, karena ditulis dengan huruf kapital dan ditulis oleh seorang imam yang sebetulnya tidak wajar, berbunyi: ‘Apabila saudara masih mengintervensi kinerja kami, maka saudara akan berurusan dengan pihak berwajib’. Kalimat tersebut masih saya ingat dan selalu saya pertanyakan, mengapa dan ada apa dibalik itu?. Saya pertanyakan karena ini hanyalah masalah sepele yang tentunya bisa diatasi tanpa melibatkan pihak lain. Apalagi sampai ada kata seperti itu, pasti ada motif lain yang sedang disembunyikan, sebab kami melawan bukan dengan cara kekerasan. Seorang Imam mestinya bijak, mencari jalan terbaik untuk menanggapi setiap persoalan, tapi kenapa tidak bisa?. Kami alumni hanya peduli dengan persoalan yang ada dalam panti asuhan, tetapi kenapa ada tekanan-tekanan seperti ini, bingung dengan tindakan dan tanggapan Pastor Gabriel Nga OFM, yang juga adalah Pimpinan Ordo OFM di Papua.
Kesimpulan
Pandangan saya bahwa, orang seperti Pastor Stefanus Sabinus, OFM, Pastor Aloisius Gonsaga, OFM dan Pastor Gabriel Nga, OFM, tidak pantas menjadi seorang Imam, sebab masalah sepele saja tidak mampu diatasi ketiga pastor tersebut. Sebenarnya mereka mengetahui jalan terbaik untuk menyelesaikan persoalan kecil semacam itu, tetapi saya melihat tindakan mereka ini ada unsur kesengajaan, sebab ada tujuan tertentu dalam hati yang sedang mereka sembunyikan.
Dari beberapa kasus yang saya alami ini, dapat disimpulankan bahwa ada kelompok tertentu yang membuat tindakan seenakya tanpa melihat diri sebagai seorang Imam. Tindakan ketiga pastor ini dengan maksud menekan manusia lain agar tidak berkembang. Mereka ini pada umumya sedang menindas generasi penerus gereja dan bangsa Orang Asli Papua. Mereka merasa diri suci dan membuat gereja Katholik seperti milik nenek moyangnya. Aktifitas memimpin ibadah terkesan hanya sebagai tugas biasa yang tidak ada nilai dan makna, mereka merasa aman dengan tujuan busuk dalam hatinya karena menyembunyikan diri dibalik aksesoris suci. Kelompok ini sedang merusak Gereja Katholik dan sedang membunuh nilai-nilai Kristiani di Tanah Papua serta menindas orang asli Papua melalui agama. (Hendrikus Bobii)
Minggu berikutnya saya ke kampus untuk melihat hasilnya lagi. Kebetulan saat masuk saya bertemu salah satu mahasiswa STPK yang sudah semester akhir sedang membabat rumput di jalan masuk kampus, karena kenal dan kaget melihatnya karena rambut gimbalnya sudah gunting, namanya Tadeus Kosay, Ia matikan mesin babatnya dan melepaskan dari badannya lalu kami bersalaman. Kami sedikit santai sambil merokok, dan saya bertanya soal rambut gimbal yang digunting itu. Ia menjelaskan penyebab digunting rambutnya. Ia bercerita, saat mau mengikuti Praktek Kerja Nyata (PKN) yang ditempatkan di sekolah, ia diminta dari pihak kampus untuk menggunting rambutnya dengan alasan bahwa anak sekolah akan takut melihatnya, dan apabila tidak mengguntingnya maka surat rekomendasi PKN-nya tidak akan diberikan. Ia membantah untuk mengguntingnya sebab ia punya alasan bahwa anak sekolah di sini (Papua) sudah melihat dan terbiasa dengan hal rambut gimbal. Ia pun tidak mau mengguntingnya, pihak kampus juga tetap bersih keras untuk tidak memberikan rekomendasi, sehingga Ia melaporkan hal tersebut kepada orang yang membiayai kuliahnya yaitu Pastor Niko Syukur Dister, OFM, maka Pater Niko langsung menyurati pihak kampus agar tidak perlu mempersoalkan hal sekecil itu. Namun pihak kampus pun masih bersih keras untuk tidak memberikan rekomendasi tersebut. Beberapa hari kemudian Tadeus menyadari akan persoalannya yang melibatkan Pastor Niko, maka akhirnya dengan berat hati memangkas rambutnya.
Setelah ia menjelaskan sepintas lalu tentang persoalannya, saya melanjutkan untuk mengecek hasil. Sesampai di kampus, saya tanyakan hasil keputusan rapatnya ke panitia karena tidak ditempel juga hasilnya. Panitia menjelaskan bahwa hasilnya tidak lulus. Lalu saya bertanya lagi, kalau tidak lulus bolehkah saya mengikuti gelombang kedua untuk mendaftar dan tes lagi? Kata mereka, keputusan rapat bahwa calon mahasiswa yang tidak lulus di gelombang awal tidak bisa mendaftar dan mengikuti tes di gelombang berikut berikutnya. Mendengar itu langsung saya minta kembali semua syarat administrasi kecuali biaya pendaftaran. Saya pulang dengan pikiran yang berat, seakan hati ditekan oleh sesuatu hal yang sangat berat. Sesampai di asrama saya mulai memikirkan kembali, mulai dari pengisian formulir hingga saat terakhir mendengar hasil dan tidak dibolehkan mengikuti tes di gelombang berikut. Akhirnya saya memahami pesoalannya, ternyata ada kaitan dengan masalah Tadeus, dimana ia kuliah di STPK dengan biaya dari Pater Niko Dister, sementara saya juga sumber pembiayaan untuk kuliah dari Pater Niko.
Kisah 3, Tahun 2011.
Frater Stef bertugas di Panti Asuhan sejak Tahun 2003 hingga 2012. Ia ditabiskan menjadi Imam di Timika pada Tahun 2010, ia lalu diangkat menjadi Pimpinan Panti Asuhan. Saat ia bertugas sebagai pemimpin, banyak hal yang ia lakukan yang sebetulnya tidak perlu, seperti menambah karyawan baru, dan juga banyak karyawan lama mengeluh atas cara pengambilan keputusannya, dimana ketika ada masalah, bukan diselesaika secaran kekeluargaan, namun langsung memberikan surat pemecatan.Suatu ketika saya mengunjungi seorang adik saya bernama Yahya, yang kebetulan juga alumni dan menetap di situ (panti asuhan) dan membantu para karyawan yang bertugas membuat kebun dan mencari makanan ternak.
Ketika saya tiba di panti, adik tersebut mengatakan: 'Kakak di sini masalah rumit sekali, banyak karyawan tidak suka dengan gaya kepemimpinan Pater Stef'. Saya bertanya: 'Kenapa?' Yahya menjelaskan: 'Pastor Stef tidak bisa membangun komunikasi dengan para karyawan lama dan ia sering mengancam untuk mengurangi upah kerjanya bila tidak menjalankan tugas sesuai kemauannya, terkadang juga ia langsung memberikan surat peringatan dan pemecatan. Tidak seperti dulu lagi kakak.' Saya mengatakan: 'Oke adik, kalau begitu, walaupun ikatan alumni belum terbentuk secara resmi tapi atas nama alumni kita akan bertemu dengan Pastor Stef untuk membicarakan hal itu.'
Setelah beberapa hari kemudian, kami lima orang atas nama alumni pergi menemui Pastor Stef. Ketika kami mengetuk pintu, ia melihat kami dan langsung menanyakan apa tujuan kedatangan kami, kami pun menjelaskan maksud kedatangan kami. Pater Stef dengan muka marah mengatakan: 'Kalian pulang, kalian bukan penghuni lagi.' katanya sambil menutup pintunya. Dengan kesal atas keputusan pastor, kami pulang dan besoknya kami alumni sekitar lima belas orang berkumpul untuk membahas langkah selanjutnya dan akhirnya kami sepakat untuk membuat surat pernyataan sikap, isi atau desakan kami dalam surat hanya merombak Pimpinan, pembina dan pengasuh, kami menyusun dan mengirimkan itu kepada pimpinan ordo OFM di Papua, Pastor Gabriel Nga, OFM. Saya dan salah seorang kakak yang juga alumni panti asuhan, namanya Didimus Dogomo, menandatangi surat peryataan sikap alumni yang kami buat.
Selang satu minggu, kami dua mendapat surat balasan dari pimpinan ordo OFM, Pastor Gabriel. Dalam surat tersebut ia meminta kami untuk tidak boleh campur tangan dalam melihat kondisi panti asuhan. Point terakhir yang masih hangat sampai kini di otak saya, karena ditulis dengan huruf kapital dan ditulis oleh seorang imam yang sebetulnya tidak wajar, berbunyi: ‘Apabila saudara masih mengintervensi kinerja kami, maka saudara akan berurusan dengan pihak berwajib’. Kalimat tersebut masih saya ingat dan selalu saya pertanyakan, mengapa dan ada apa dibalik itu?. Saya pertanyakan karena ini hanyalah masalah sepele yang tentunya bisa diatasi tanpa melibatkan pihak lain. Apalagi sampai ada kata seperti itu, pasti ada motif lain yang sedang disembunyikan, sebab kami melawan bukan dengan cara kekerasan. Seorang Imam mestinya bijak, mencari jalan terbaik untuk menanggapi setiap persoalan, tapi kenapa tidak bisa?. Kami alumni hanya peduli dengan persoalan yang ada dalam panti asuhan, tetapi kenapa ada tekanan-tekanan seperti ini, bingung dengan tindakan dan tanggapan Pastor Gabriel Nga OFM, yang juga adalah Pimpinan Ordo OFM di Papua.
Kesimpulan
Pandangan saya bahwa, orang seperti Pastor Stefanus Sabinus, OFM, Pastor Aloisius Gonsaga, OFM dan Pastor Gabriel Nga, OFM, tidak pantas menjadi seorang Imam, sebab masalah sepele saja tidak mampu diatasi ketiga pastor tersebut. Sebenarnya mereka mengetahui jalan terbaik untuk menyelesaikan persoalan kecil semacam itu, tetapi saya melihat tindakan mereka ini ada unsur kesengajaan, sebab ada tujuan tertentu dalam hati yang sedang mereka sembunyikan.
Dari beberapa kasus yang saya alami ini, dapat disimpulankan bahwa ada kelompok tertentu yang membuat tindakan seenakya tanpa melihat diri sebagai seorang Imam. Tindakan ketiga pastor ini dengan maksud menekan manusia lain agar tidak berkembang. Mereka ini pada umumya sedang menindas generasi penerus gereja dan bangsa Orang Asli Papua. Mereka merasa diri suci dan membuat gereja Katholik seperti milik nenek moyangnya. Aktifitas memimpin ibadah terkesan hanya sebagai tugas biasa yang tidak ada nilai dan makna, mereka merasa aman dengan tujuan busuk dalam hatinya karena menyembunyikan diri dibalik aksesoris suci. Kelompok ini sedang merusak Gereja Katholik dan sedang membunuh nilai-nilai Kristiani di Tanah Papua serta menindas orang asli Papua melalui agama. (Hendrikus Bobii)
0 komentar:
Post a Comment