![]() |
Dok/Pribadi, Ilustrasi Rakyat Tertindas |
Honaratus Pigai(*
Setelah menjabat sebagai presiden, Joko Widodo (Jokowi), sudah delapan kali berkunjung ke Papua. Selama delapan kali kunjungan Jokowi hanya sekali saja menyinggung masalah HAM. Tepat pada kunjungan pertama, 27-29 Desember 2014.
Pada kunjungan perdana itu Jokowi
merayakan natal nasional bersama rakyat Papua, di stadion Mandala, Jayapura. Kehadiran
perdana Jokowi, memang tepat saat rakyat Papua lagi sedang berduka, atas
peristiwa Paniai Berdarah 8 Desember 2014. Kehadiran ini, seperti angin segar
bagi rakyat Papua. Seluruh orang Papua berharap kehadiran Jokowi bisa
mengungkap kasus penembakan yang menewaskan 4 pelajar Papua di Paniai.
Di hadapan rakyat Papua, Jokowi berjanji
akan menyelesaikan kasus Pelanggaran Ham, Paniai Berdarah. Dia mengatakan kasus
tersebut perlu diselesaikan agar memberikan rasa adil dan kemanusiaan kepada
keluarga korban seraya berharap kasus serupa tak boleh terjadi lagi.
Janji jokowi waktu itu seperti
memberikan angin segar yang menyentuh hati rakyat Papua. Rakyat Papua waktu
itu, menyambut pernyataan dan janji jokowi dengan antusias. Rakyat menilai
Jokowi akan menjadi luka hati yang selama puluhan tahun akan terobati.
Janji
Palsu Selesaikan HAM, Luka Menganga
Janji penyelesaian HAM yang
dinanti-nantkan rakyat Papua itu, semakin tak menentu dan tak ada harapan lagi.
Kala setelah kunjungan pertama, belum juga ada tanda-tanda yang pasti dalam
penyelesaian pelanggaran HAM berat yang dijanjikan Jokowi.
Pada kunjungan kedua, pada 8-11 Mei
2015, Jokowi tidak pernah menyinggung penyelesaian pelanggaran HAM lagi. Hal
itu terjadi sama dengan kunjungan ketiga sampai kunjungan ke delapan baru-baru
ini, 11-12 April 2018.
Janji Jokowi yang belum terwujud itu,
secara terang-terangan Jokowi menunjukkan kekurangan yang dimilikinya. Jokowi
tak komitmen dan tegas dalam mengambil langkah atas Janjinya.
Kekurang kometmennya Jokowi adalah
gambaran “”janji palsu” kepada rakyat Papua. Janji Palsu itu membuka peluang ketidakpercayaan
rakyat Papua kepada pemerintahan Indonesia yang dipimpin Jokowi. Ketidakpercayaan
itu pun mengajak orang Papua menutup mata atas kunjungan Jokowi. Maka jangan
heran, ratusan bahkan ribuan kali kunjungan Jokowi ke Papua sekalipun akan dinilai
gagal, selama Jokowi belum melepaskan janji palsunya.
Kunjugan
Jokowi, Kampanye Internasional
Setelah Jokowi kunjung Papua dan
berjanji selesaikan Kasus pelanggaran HAM Paniai, pada 2014 lalu, yang tidak
terselesaikan hingga 2018 ini, di dunia Internasional geger dengan suara
gadis-gadis Indonesia.
Pada sidang KTT PBB yang digelar 13-26
September 2016, enam negara pasifik mempertanyakan keadaan HAM di Papua.
Nara
Masista Rakhmatia, adalah perempuan cantik yang diutus
Indonesia sebagai diplomat. Dalam paparannya, dia menyampaikan bahwa Indonesia
jauh lebih baik soal penegakan HAM.
Berikut isi pidato lengkap Nara yang
diambil dari video Youtube, saat mewakili Indonesia di forum PBB, yang dimuat
media, http://www.tribunnews.com.
Komitmen
Indonesia terhadap HAM tak perlu dipertanyakan lagi. Indonesia adalah pendiri
Dewan HAM PBB.
Indonesia
sudah menjadi anggota dewan tersebut selama tiga periode dan saat ini menjadi
anggota untuk keempat kalinya.
Indonesia
adalah penggagas komisi HAM antar pemerintah ASEAN.
Indonesia
sudah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen utama HAM, semuanya
terintegrasi dalam sistem hukum nasional kami dibanding hanya empat oleh negara
Kepulauan Solomon, dan lima oleh negara Vanuatu.
Indonesia
ada di antaranya segelintir negara yang memiliki Rencana Aksi Nasional HAM.
Dan
saat ini generasi keempat dari rencana tersebut dari 2015 sampai 2019.
Indonesia
memiliki Komnas HAM yang aktif dan kuat sejak tahun 1993, masyarakat sipil yang
aktif dan bebas.
Indonesia
juga merupakan negara demokrasi yang dewasa di dalam fungsi-fungsinya, bersama
dengan komitmen sangat tinggi terhadap promosi dan perlindungan HAM di semua
level, hampir-hampir mustahil pelanggaran HAM terjadi tanpa diketahui dan
diperiksa.
Bapak
Presiden, kami tegaskan kembali ada mekanisme domestik di tingkat nasional di
Indonesia, pada pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Diplomat
muda berparas cantik ini juga menutup pidatonya dengan sebuah pepatah, bahwa
"Ketika seseorang menunjukkan jari terlunjuknya pada orang lain, jari
jempolnya otomatis menunjuk pada wajahnya sendiri."
Selain Nara Masista Rakhmatia, di sidang
KTT PBB yang digelar pada 2017, muncul nama lain yang juga perempuan, Ainan
Nuran. Dia juga membantah negara-negara Pasifik yang mempertanyakan kondisi HAM
Papua.
Diplomat
perempuan itu mengatakan, Isu pelanggaran HAM di Papua adalah HOAX. Dia kemudian
menjelaskan kondisi di Papua dan Papua Barat sudah mengalami kemajuan pesat
dalam tiga tahun terakhir. Pembangunan jalan lebih dari 4.000 kilometer,
pembangunan 30 pelabuhan dan 7 bandara, adalah buktinya.
Dia
juga mengatakan bahwa 2,8 juta warga Papua sekarang mendapat pelayanan
kesehatan dasar yang gratis. Begitu pula di sektor pendidikan yang cuma-cuma
untuk 360 ribu pelajarnya.
Dua perempuan yang membantah berbagai
kasus pelanggaran HAM Papua, di meja PBB adalah Citra kunjungan Jokowi yang ada
di dunia Internasional.
Jokowi ke Papua hanya untuk pencitraan
atas pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM disembunyikan mati-maatian dan yang
dipertontonkan adalah naik motor, gendong anak Papua, kunjung pembangunan jalan,
dan lainnya.
Pelanggaran HAM dianggap barang tabu
yang dilarang untuk ungkit, bahkan terjadi pembiaran yang sangat buruk.
HOAX, Indonesia atau Pasifik
Diplomat 2016, Nara Masista Rakhmatia, sudah
jelas mengatakan, Indonesia adalah pendiri Dewan HAM PBB. Indonesia sudah
menjadi anggota dewan tersebut selama tiga periode dan saat ini menjadi anggota
untuk keempat kalinya. Indonesia adalah penggagas komisi HAM antar pemerintah
ASEAN. Indonesia sudah meratifikasi delapan dari sembilan instrumen utama HAM,
semuanya terintegrasi dalam sistem hukum nasional.
Diplomat 2017, Ainan Nuran, mengatakan
pelanggaran HAM di Papua adalah HOAX.
Pernyataan yang harus dijawab pemerintah
Indonesia untuk Papua. Kalau tidak dijawabnya, maka malah Indonesialah yang
menyebarkan HOAX di dunia Internasional.
Jokowi sudah delapan kali kunjung Papua
dan tidak pernah selesaikan HAM. Banyak kunjungan Jokowi ke Papua, hingga 1000
kali sekalipun dan selama itu pula kalau tidak menyentuh substansi masalah,
maka sama saja sia-sia belaka.
Rakyat Papua sampai hari ini tidak butuh
banyak kunjungan. Jokowi mestinya menyelesaikan substansi masalah Papua.
Substansi masalahnya adalah Janji yang pernah dibuat Jokowi sendiri. Yang harus
diselesaikan adalah Persoalan pelanggaran HAM. Kasus Paniai Berdarah yang
menewaskan empat siswa 8 Desember 2014, adalah kasus yang nyata di depan mata.
Mengapa Jokowi tutup mmata terhadap HAM?
Sementara diplomatnya sudah umumkan di dunia Internasional bahwa tidak ada
pelanggaran HAM di Papua. Kalau Jokowi selesaikan satu kasus pelanggaran HAM,
berarti dilihat bahwa ada tanda-tanda keseriusan untuk melindungi masyarakat
Papua yang telah memilihnya dengan 100 persen suara. Tapi selama tidak ada,
maka Indonesia berlaku HOAX di dunia Internasional. ***
0 komentar:
Post a Comment