Seakan Pemicu Konflik



Di lorong jalan kutatap sang mentari meredup di balik kabut tipis. Sudah sepanjang malam aku telah menyusuri lorong-lorong jalan itu. Dan kini aku menyaksikan mentari pagi menyunggingkan senyum manisnya.Mungkin hari ini aku menyisikan sebagian waktuku, entah berlarut dalam tidur atau terus menyusuri jalan ini. Entahlah.

Sepagi itu ibu-ibu memikul barang-barang jualannya untuk dijajakan di sepanjang lorong jalan kota kecil itu. Para pedagang telah membuka kiosnya hendak menanti sang pembeli datang. Anak-anak sekolah yang berseragam maupun yang tak berseragam bergegas ke sekolah. Para pegawai terlihat beberapa jam setelah matahari benar-benar membiaskan cahayanya.
Sejenak aku menghayatinya dan bertanya dimana kedisiplinan para pegawai? Tetapi itulah kebiasaan yang selalu terjadi di negeri ini.

Seperti hari-hari dalam beberapa bulan belakangan ini, para aparat gabungan brimob (brigade mobil), polisi dan TNI (Tentara Nasional Indonesia) melakukan tugas di titik tertentu di jantung kota kecil itu.

Disana mereka berdiri menggantung senjata lengkap pada tubuhnya layak pasukan prajurit di medan pertempuran. Mereka memeriksa setiap kendaraan yang berlalu-lalang. Beberapa pengendara motor sengaja membelokkan haluan, termasuk diriku.

Pagi itu matahari bersinar cerah. Gabungan TNI/POLRI telah bersiap-siaga memeriksa mobil dan motor yang berlalu. Aku membelokkan motorku karena aku tahu dalam tasku ada sebilah pisau yang selalu kubawa untuk jaga diri. Walau aku tak menggunakannya untuk melukai ataupun membunuh orang, tetapi akutahu kalau petugas keamanan sedang menyita alat tajam menjelang pemilihan kepala daerah di kabupaten yang baru berumur jagung itu.

Aku memarkirkan motor RX-King kesayanganku di sisi kios-kios kecil yang membuat kota kecil itu menjadi kota kumuh. Sejenak kutatap kios-kios yang dibangun berjejer diatas selokan. Ah! Kota ini tak seindah dulu. Sampah-sampah berserahkan disana-sini. Mungkinkah itu dampak dari perubahan? Ataukah ulah manusia yang tak peduli dengan lingkungan alam? Entahlah.

Aparat gabungan pada sibuk melakukan pemeriksaan ketika kubalikkan pandanganku. Beberapa pemuda yang kedapatan membawa pisau dan parang disita. Tak ada yang memberontak.

Aku meninggalkan motor kesayanganku dan berjalan perlahan mendekat ke tempat para aparat gabungan melakukan aksi sweeping. Aku hanya ingin menyaksikan apa aksi dan reaksi yang bakal terjadi.

Beberapa menit kemudian, seorang pria muda berlalu sambil membawa parang. Beberapa aparat menahan pria itu dan parang yang dibawanya ditahan aparat.

“Kenapa ambil parang saya?” tanya pria muda itu.
“Jangan bawa alat tajam!” bentak seorang polisi.
“Dekat pilkada dilarang bawah alat tajam,” kata polisi yang lainnya seakan menasehati.
“Memang saya tahu, tapi saya sedang ke hutan jadi tolong kembalikan parang saya.”
“Tidak bisa. Kami sedang jalankan tugas kami.”

Selepas aparat gabungan bersikeras tak mengembalikan parang, yang adalah alat kerja, pria muda itu berlalu. Barangkali ia merelakan nasib yang telah menimpahnya. Pembelaannya tak dihiraukan pasukan yang bersenjata lengkap. Barangkali aparat gabungan belum memahami budaya orang pedalaman, yang selalu menggunakan parang, kampak dan sekop sebagai alat kerja untuk bercocok tanam.

Aku men-star motor setelah aparat gabungan kembali ke markasnya setelah sebelumnya melakukan aksi sweeping hampir selama setengah jam. Aku lalu memarkirkan motor di terminal dan menjurus ke beberapa pemuda berdiri sambil berbincang-bincang. Aku kenal pemuda-pemuda itu karena kami selalu mangkal di terminal.

“Katanya kemarin aparat menyita uang lagi,” kata Semmy sesaat setelah aku menghampiri mereka.
“Benar,” kata Wem. Ia lalu membuang ludah pinang dan melanjutkan perkataannya. “aparat menyita uang milik seorang ibu.”
“HP saya juga disita tanpa alasan beberapa hari lalu,” kata Jerry menimpali perkataan Wem.
“Saya bingung, apakah aparat benar-benar datang mengamankan pilkada ataukah datang menyita barang milik masyarakat?” kata Semmy sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku hanya terdiam menyedihkan konflik yang sengaja diciptakan para aparat keamanan. Menurut cerita sahabat-sahabatku, tak hanya alat tajam dan barang saja yang disita, tetapi masyarakat yang memberontak atas kesewenangan tugas pun dipukul……
Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: