Pewarta Yustinus Dogomo Tak Takut Mati karena Allah

Foto Ist

KAJP News -- Selalu saja ada cerita dari sosok pelayan di pedalaman, begitu juga dengan sosok Yustinus Dogomo. Dogomo ini sebagai seorang guru pada SD YPPK Bomomani dan SMP Negeri Bomomani. Selain itu, ia sebagai timpas paroki santa Maria Menerima Kabar Gembira Bomomani, dekenat KAMAPI. 

Sebagai seorang guru, ia mengajar selama tiga hari penuh di SD YPPK Bomomani. Dalam kurun waktu tiga hari itu ia mengajar mata pelajaran yang dipercayakan kepadanya. Baginya, mengajar adalah tugas yang mulia, apalagi di tempat-tempat terpencil. Dengan keterbatasan yang dimilikinya, ia selalu siap sedia untuk menjalankan tugasnya dalam mengemban profesi sebagai seorang guru. Ia tidak hanya mengajar di SD YPPK Bomomani, tetapi ia juga mengajar di daerah yang sulit dijangkau dan kurang mendapat perhatian dari pihak Gereja dan Pemerintah, yakni di kampung Pouto dan Epomani. Kampung Pouto terletak di wilayah Degeuwo, tepatnya di pingiran jalan trans Nabire-Paniai, kilometer 162, sedangkan Epomani terletak di kilometer 144. Secara pemerintahan Pouto dan Epomani masuk di Kabupaten Nabire, namun secara wilayah Gerejani kedua kampung tersebut masuk di paroki Sta. Maria Menerima Kabar Gembira Bomomani dan dilayani oleh Bapak Yustinus Dogomo.

Bapak Yustinus Dogomo mulai masuk ke kampung Pouto pada tahun 2013. Ia mulai mendekati tokoh-tokoh masyarakat dan berbaur sehingga mendapat gambaran tentang kebiasaan hidup keseharian serta kekuatan dan kelemahan yang ada di sana.

Ia (Dogomo) mengatakan, sebelumnya masyarakat jauh dari perkampungan dan sering berpindah-pindah tempat (tidak menetap), masyarakat di kampung tersebut rata-rata belum berpendidikan. Mengapa? Pertama, Karena anak-anak selalu bersama dengan orang tua kemana saja. Kedua, tidak ada pelayanan pendidikan karena daerah sekitar kampung Pouto dipandang masyarakat sekitarnya sebagai tempat yang berbahaya. Dipandang sebagai sumber penyakit, tempat sakral yang berbahaya dan berbagai pandangan berkonotasi negatif tentang kampung tersebut. Karena itu, kurang ada pelayanan dari gereja dan pemerintahan.

Meski demikian, bagi Bapak Yustinus pandangan negatif masyarakat itu bukan halangan, ia mengatakan, “saya memberanikan diri mengunjungi dan melayani di kampung tersebut karena saya percaya Allah itu ada di sana, buktinya Allah yang ada di sana melindungi saya dalam pelayanan hingga kini saya masih hidup." Hal itu diungkapkannya dengan raut wajah penuh keyakinan.

Lanjutnya, ternyata, di kampung Pouto itu banyak anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan. Bukan hanya pendidikan, tetapi juga pelayanan dari Gereja bagi umat yang ada. Menurutnya, disana tersimpan rapi sejuta kerinduan dan harapan yang sama sekali tidak dijamah, yakni kerinduan akan pelayanan kasih entah pendidikan maupun pelayanan rohani.

Dalam situasi seperti itu, keyakinan Bapak Yulianus semakin diperteguh, bahwa ternyata Allah memanggilnya dan menuntunnya ke tempat itu untuk mengangkat ke permukaan kerinduan dan harapan yang belum pernah dijamahnya. Dengan demikian, ia sering mengunjungi dan melayani ibadat sabda, bahkan mendirikan PKBM untuk mendidik anak-anak dengan harapan agar bisa membaca, menulis dan menghitung. Dengan harapan agar ada kader pewarta di kampung tersebut. Hingga kini ada beberapa anak yang bisa membaca, menulis dan menghitung.

Untuk memacu semangat membaca anak-anak, maka ia memberitahukan bahwa, bagi anak yang bisa membaca bacaan pada hari minggu di stase Pouto akan diberikan Rp.500.000. Apabila anak didiknya berani dan bisa membaca di paroki Bomomani akan diberikan Rp. 1.000.000. Cara yang digunakan ini baginya baik karena membantu anak-anak untuk membiasakan diri untuk membaca, melatih keberanian, dan mempermudah anak-anak mengenal huruf agar bisa menulis dengan baik. 

"Saya bangga karena ada anak-anak yang sekarang bisa baca dan tulis," tutur Bapak Yulianus.

"Sedangkan di Epomani, awalnya saya mendekati tokoh adat yang dihormati. Lalu saya menyampaikan maksud saya untuk melayani ibadat pada hari minggu. Maksud saya itu diterima dengan baik dan diumumkan oleh tokoh adat itu supaya setiap hari minggu umat ke Gereja untuk ibadat. Saya pertama kali mengunjungi dan mengadakan ibadat di balai desa karena tidak ada Gedung Gereja," lanjutnya.

Jelasnya lagi, satu peristiwa mengejutkannya bahwa, ketika saya memulai ibadat dengan tanda salib, semua umat yang hadir kira-kira sebanyak seratus jiwa tidak membuat tanda salib. Selanjutnya, ia sendiri berperan sebagai pemimpin ibadat sekaligus umat. “Tanda salib saja tak tahu apalagi doa-doa lainnya”, kata Bapak Yulianus di Transit Bobaigo. 

"Menurut umat di Epomani, belasan tahun silam kami dikunjungi dan dilayani oleh petugas pastoral paroki Bomomani. Kini kami merindukan pelayan datang mengunjungi dan melayani ibadat sabda," kata Bapak Yulianus sambil mengulagi ungkapan umatnya.

Selain itu, kami juga merindukan pendidikan yang layak bagi anak-anak kami. Ada gedung sekolah Dasar Impres tetapi guru-guru yang ditugaskan tidak ada di tempat tugas. Anak-anak kami tidak mendapatkan pendidikan dengan baik. Berkaitan dengan ibadat hari minggu, bapak Yulianus mengatakan, dirinya memimpin ibadat bergilir di gedung balai desa dan di gedung sekolah karena sampai sekarang belum ada tempat ibadat/gedung Gereja.

"Gedung Gereja akan kami usahakan di hari mendatang, sementara kami beribadat di dua tempat yang penting hati kami tertuju kepada Allah, memuji, memuliakan dan memohon kepada-Nya. Saya bersama umat berharap agar uluran tangan-tangan kasih memperhatikan kami dalam pembangunan gedung Gereja yang kami rencanakan pada tahun depan. (Komanjapa/Segoo)
Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: