Seragam Sekolah

Foto ilustrasi Google
Oleh: Vitalis Goo

Pagi telah merekah. Sang surya menyinari alam perkampungan Ekemanida - yang bertebaran di kaki gunung Magoo.

Sinar surya menghangatkan tubuh si bocah, bernama Simon. Simon adalah seorang anak sekolah dasar. Ia selalu rajin ke sekolah dengan mengenakan pakaian seadanya walau teman-teman lainnya mengenakan seragam sekolah. Ia termasuk anak yang rajin dan pintar. Ia selalu berangkat ke sekolah.

Namun, ada sesuatu yang selalu mengganjal di benaknya, yakni keinginannya untuk memiliki seragam.

"Simon, mari kita ke sekolah!" panggil teman-temannya, yang tinggal di sebuah kampung terpencil.

Mendengar teriakan teman-teman itu, Simon mengambil sebiji petatas bakar, yang baru saja dimasak ibunya sebagai sarapan pagi. Ia lalu berlari menghampiri teman-temannya yang sedang menunggu di jalan.

Setiba mereka di sekolah, Simon dan empat temannya yang tak berseragam sekolah duduk menyendiri di bawah pohon di pojok gedung sekolah. Mereka menyendiri seakan mereka dipojokkan oleh teman-teman lain, yang mengenakan seragam sekolah. Mereka lalu berbincang seputar seragam sekolah. Sementara teman-teman yang lainnya, bermain dengan riang di halaman sekolah.

Sesaat kemudian, seorang pak guru bernama John menghampiri kelima siswanya itu.

"Kenapa kalian duduk disini?" tanya pak guru John.
"Kami malas main, pak guru." jawab Simon.
"Kenapa?"
"Karena kami tidak punya seragam," jawab kelima siswa itu secara serentak.
"Tapi kalian juga anak sekolah, sama seperti teman-teman lain yang pake seragam."

Simon dan teman-temannya membisu. Pak guru John memahami keberadaan anak-anak itu, bahwa mereka sedang merasa minder dan malas bermain dengan teman-temannya yang lain karena mereka tidak punya seragam sekolah.

Lonceng berbunyi, tanda berbaris sebelum masuk ke kelas masing-masing. Pak guru John bergegas ke kantor.

Di kantor, pak guru John berpikir panjang bagaimana caranya untuk mendapatkan seragam sekolah bagi kelima siswanya yang tak memilikinya itu. Ia lalu berpikir untuk menggunakan sebagian dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk pengadaan seragam sekolah. Hal ini kemudian diceritakannya dengan teman guru lainnya. Dan akhirnya, pendapatnya itu diterima oleh guru-guru lainnya.

Sepulang dari sekolah, Simon langsung ke rumah. Dari sekolah ke rumahnya, ia harus menempuh 3 kilometer. Tapi bagi Simon, jarak yang cukup jauh itu bukanlah sebuah halangan, yang menghambatnya untuk tidak ke sekolah.

Gubuk yang beratapkan daun pandan itu sedang mengepulkan asap. Itulah rumah Simon. Rumah sederhana, yang berdinding kayu buah dan berlantai papan cincang. Di rumah inilah, Simon belajar apa adanya. Tanpa penerangan dan buku pelajaran. Hanya nyala api dan buku catatan, yang selalu menjadi temannya. Padahal, ia punya kemauan yang cukup tinggi untuk belajar dan membaca buku-buku pelajaran. Bagai orang gila, ia biasanya memungut kertas-kertas bertulisan, yang berserakkan di jalanan hanya untuk membacanya kata demi kata. Boleh dikatakan bahwa, Simon memiliki minat baca yang cukup tinggi.

Sesampai ia di rumah, didapatinya sang ibu sedang memasak petatas. Dengan langkah yang agak kaku, ia masuk ke dalam rumah.

"Simon, kenapa kamu tampak letih? Kamu lapar?" tanya ibunya.
"Tidak, mama. Saya hanya menginginkan seseatu."
"Sesuatu apa?"
"Saya ingin punya seragam sekolah."

Ibu Simon tak berkata lagi. Ia hanya menghela napas panjang. Tak mudah baginya mendapat sejumlah uang untuk memenuhi keinginan anaknya itu. Apalagi harga barang-barang dagangan semakin hari semakin naik.

"Nanti beritahu bapa," kata ibunya sesaat kemudian.

Setelah makan siang, Simon membolak-balikkan buku catatannya sambil berbaring di sisi ibunya.
Ketika ayahnya pulang dari hutan, ibu Simon menyampaikan keinginan anak mereka berdua. Tetapi sang ayah pun mengungkapkan ketidaksanggupannya.

Walaupun keinginannya tidak terkabul, Simon tetap bersemangat ke sekolah. Ia yakin, suatu saat keinginannya itu akan terkabul.

Dua bulan kemudian, pak guru John memanggil Simon dan keempat temannya yang tidak punya seragam sekolah. Pak guru John lalu memberikan sepasang seragam sekolah kepada mereka.

Mulai saat itu, Simon dan keempat temannya itu lebih aktif belajar dan bermain riang bersama teman-teman lainnya. Malah mereka berlima, yang mendapat juara di kelasnya masing-masing.


Cerpen ini pernah dimuat di 'Majalah Dogiyai Pito - Lintas Pendidikan Meeuwodide' yang hanya terbit edisi perdananya.

Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: