Surga yang Hilang alias Kedamaian yang Terusik

Pembungkaman Suara Keadilan dan Kebenaran Sebuah Penyangkalan Terhadap Nilai-Nilai Injili Di Tanah Papua. Hal Ini Bukan Merupakan Suatu Usaha Untuk Menjadikan Bumi Cenderawasi Ini Seperti Di SURGA. Namun Itu Merupakan Suatu Usaha Dari Instansi-Instansi Terkait Untuk Menghadirkan Dan Menjadikan NERAKA. Pertanyaannya: Bagaimana Cara Untuk MENEMUKAN KEDAMAIAN Di Bumi Tercinta Ini? 


Penyadaran

Pada masa globalisasi, di berbagai instansi yang ada di Papua, misalnya instansi Pemerintah (kepala pemerintah pusat dan daerah, DPR dan MRP), TNI-Polri, LSM dan KOMNAS HAM serta Gereja pandai dalam hal menyembunyikan suara kebenaran.
Mereka terkesan menggali lubang yang dalam, menyembunyikan dan membungkamnya. Di satu sisi karena memang mereka tidak berbicara dan di sisi lain karena mereka berbicara tetapi setelah itu diam dan tidak berbuat apa-apa dengan tindakan nyata. 
Mereka tidak mengungkap kebenaran dibalik fakta tetapi pandai berdusta dibalik fakta itu. Mereka yang demikian itu berbohong dan bohong iu adalah laknat. Mereka tidak mengangkat nilai-nilai injili, tetapi malah menurunkan nilai-nilai itu sampai di lubang bawah tanah yang paling dalam, yakni tempat adanya maut dan kematian yang mengerikan.

Itulah reaitas di Papua baik dari sisi masyarakat maupun dari sisi umat. Situasi Papua yang juga kental dengan konflik menjadi ancaman bagi kehidupan moral dan religious seluruh masyarakat dan umat se-regio Papua.
Kehidupan keagamaan umat menjadi serba tak berdaya dan tak berjiwa. Kehidupan menggereja di Papua menjadi kacau karena sarat makna dengan pembungkaman suara kebenaran. 
Instansi-instansi yang terkait tidak mampu mengangkat dan menyuarakan secara maksimal suara kaum tak bersuara. Bersamaan dengan itu mereka tidak menciptakan kedamaian dan ketenteraman bagi seluruh masyarakat dan umat di Papua. 

Sering kali terdengar di telinga saya bahwa pihak Gereja dan beberapa LSM yang ada di Papua mampu menyuarakan keadilan dan kebenaran untuk menciptakan kedamaian di bumi Cenderawasih ini. Nampaknya ini kena kosong karena hanya bersuara saja tanpa adanya tindakan nyata dan bukti sebagai tindak lanjut dari kotbahnya. Ini benar-benar NERAKA bukan SURGA.
Sesungguhnya instansi-instansi terkait itu jangan mengatakan bahwa tanah Papua sebagai tanah yang diberkati dan SURGA kita. Mereka harus malu untuk mengatakannya karena mereka kurang mengangkat, menyuarakan dan menyatakan nilai-nilai Injili di Tanah Papua. Mereka tahunya menindis di bawah telapak kaki dan menginjak-injaknya sampai hancur lebur sehingga yang ada di bumi Papua hanyalah kehancuran alias NERAKA di bumi, yakni NERAKA yang memakan banyak korban jiwa, kehidupan iman dan moral bahkan sampai mencabut nyawa sesama manusia yang tak bersalah. Jangan menyangkal sebab itulah realitas. Kalian jangan hanya bicara saja tetapi nyatakan dengan tindakan nyata kalau kalian benar-benar mencintai masyarakat di tanah Papua di satu sisi dan seluruh umat se-regio Papua di sisi lain. Kalau tidak, kalian benar-benar pintar omong kosong dan pandai berdusta bukan pandai jujur dan bertindak yang benar dan adil.

Dari pihak pemerintah memang harus menyuarakan agar tidak terjadi kekerasan di Papua setelah peristiwa di Paniai yang menewaskan 4 orang pelajar (08/12/14). Presiden Jokowi saat kunjungannya ke Papua menanggapi peristiwa penembakan yang terjadi itu dengan mengatakan harapannya agar tidak terjadi lagi hal yang sama (baca: Kompasiana.com: Pesan Perdamaian Jokowi dari Papua: Akhiri Konflik dan Kekerasan, Published: 28.12.14 18:11:33). Seluruh masyarakat Papua, beberapa LSM menaggapinya secara positif. Namun apa yang terjadi setelah itu. Terjadi penembakan di Dogiyai yang menewaskan satu orang dan beberapa lainnya luka-luka (baca: www.kabarmapegaa.com: Tujuh 0rang Luka-Luka, Satu Orang Mati di Tempat - 26 Jun 2015). Selanjutnya terjadi peristiwa Tolikara (baca: www.tabloidjubi.com: Ini Kronologis Insiden Tolikara versi Masyarakat Karubaga, 24 Jul 2015 ). Lebih lagi peristiwa di Timika pada Jumat (29/8/2015) lalu merupakan tindakan pihak keamanan (baca: majalahselangkah.com: Uskup Timika: Kesalahan Sudah Jelas, Pelaku Harus Ditindak Minggu, 30 Agustus 2015, 15:14). Apakah ini sesuai dengan kotbahnya (Jokowi) lalu? Inilah perkataan yang tidak disertai dengan perbuatan dari sang kepala. Dan dengan itu, kita dapat bayangkan bagaimana dengan anak buahnya. Kala itu koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), P. Dr. Neles K. Tebai Pr menanggapinya dengan mengatakan bahwa Jokowi-JK adalah harapan masyarakat Papua. Beliau menanggapinya ketika presiden RI mengedepankan dialog, yang menurut ketua sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajat Timur” dialog merupakan jalan terbaik untuk menegakkan keadilan dan kebenaran demi terciptanya kedamaian di bumi cenderawasih.

Instansi Keamanan, LSM dan KOMNAS HAM Saya sering kali baca tulisan “DAMAI DAN KASIH ITU INDAH” di depan markas-markas TNI-POLRI yang ada di Jayapura, Timika, Nabire dan beberapa kota lain di Papua. Nampaknya motto itu merupakan kesia-siaan belaka karena tenaga mereka hanya digunakan untuk membunuh. Seperti pembunuhan yang terjadi di Paniai dan Timika merupakan ulah mereka. Anehnya, mereka masih belum mengungkap pelaku penembakan, khususnya kasus Paniai. Hal ini sebagai suatu tindakan pemeliharaan kebohongan hingga dewasa ini yang dapat membuahkan maut. Maka kita dapat bertanya apakah motto itu benar demikian? Mungkin bagi mereka benar. Mungkin itulah SURGA mereka. Namun ingat!!! Itu NERAKA bagi masyarakat dan umat di tanah tercinta ini. Saya juga sering kali membaca dan mendengar bahwa segala penembakan itu ditanggapi oleh berbagai LSM yang ada di Papua juga KOMNAS HAM pusat. Mereka menyuarakan supaya ada kejujuran dan keadilan ditegakkan di sana. Mereka juga mengajak supaya mesti adanya pengungkapan pelaku. Namun apa yang terjadi dengan peristiwa penembakan di Paniai, Dogiyai, Tolikara dan Timika? Sampai sekarang tidak ada penyelesaiannya. Mana bukti suaramu? Tidak adakah tindakan selanjutnya bagi yang tidak mengungkapkan kebenaran? Sampai sekarang tidak ada penyelesaian yang hakiki dari semua yang tergolong pelanggaran HAM berat itu. Demi penegakan kebenaran sebagai penegakan nilai-nilai injili mesti ada tindakan selanjutnya bagi yang membungkamnya. (baca selengkapnya: Penembakan Timika, Komnas HAM RI Temui Kapolda dan Pangdam, Jubi, on September 10, 2015 at 17:15:00 WP).

Memang saya juga membaca komentar KOMNAS HAM RI, Natalis Pigai yang mengatakan bahwa penembakan di Timika merupakan pembunuhan berencana dan pelanggarana HAM berat hari kamis, kemarin (10/09/15) di media Jubi. Selain itu, ia juga mengajak keluarga korban penembakan di Paniai pada 8 Desember 2014 lalu untuk menyetujui autopsi. Ini tidak menyelesaikan masalah. Jangan hanya pandai berkotbah tetapi nyatakan kotbahmu dengan tindakan dan apabila tetap menyebarkan kebohongan atau tidak mau mengungkap sama sekali, pikirkan apa tindakan selanjutnya. Apakah hanya bersuara saja?

Instansi Gereja, selama empat tahun saya di Jayapura begitu banyak mendengar tentang berbagai kebobrokan hidup menggereja di keuskupan Jayapura. Saya mendengar itu dari berbagai kalangan baik dari kalangan guru dan dosen sekolah YPPK, kalangan mahasiswa yang tinggal di asrama YPPK (Putra dan putri) dan para seminaris. Lebih dari itu, saya juga memiliki pengalaman yang sama dan bahkan lebih dari yang saya dengar dari mereka itu. Semuanya itu, saya sendiri rasa, dengar, mengerti, lihat dan alami. Hingga saat ini pihak keuskupan Jayapura masih menjadikan pihak STK menjadi boneka. Beberapa minggu yang lalu saya mendengar bahwa asrama putra YPPK Tunas Harapan disuruh kasih kosong dari pihak keuskupan. Seain itu, asrama putra YPPK Tauboria juga kabarnya akan ditutup. Di sini saya bertanya, apakah tugas STK berpindah tangan ke pihak keuskupan?

Saya juga salut kepada 75 imam katoik yang mengeluarkan beberapa pernyataan demi terciptanya kedamaian di Tanah Papua. Mereka mengangkat berbagai masalah dalam bidang kehidupan manusia yang menjadi ancaman hidup menggereja se-regio Papua. Mereka mengangkat masalah prndidikan, kesehatan, program pemerintah yang menyimpang dari konteks Papua, ketidakadilan eksosbudpol, kurangnya penghargaan terhadap masyarakat adat, pembiaran berbagai bentuk pelanggaran HAM, adanya ketidakpercayaan dan hukum yang tidak ditegakkan dengan tegas di bumi cenderawasih. (baca: Pernyataan 75 Imam Katolik Tanah Papua Diapresiasi, majalahselangkah.com, Kamis, 16 Juli 2015 22:41).

Selain itu, menanggapi kasus penembakan umat paroki Koprapoka keuskupan Timika, MGR John Pilip Saklil Gayabi Pr angkat bicara: "Pihak yang menjadi biang kedok kenajisan adalah para aparat keamanan. Karena itu, pendekatan aparat pemerintah keliru dan sengaja membiarkan bahkan membebaskan terjadi kenajisan itu bertumbuh di mana-mana. Sehingga, tindakan konflik dan kekerasan, pembunuhan, kerusahan lingkungan dan hutan Papua, dan minuman keras (Miras) bertumbuh di mana-mana. Baik dari tingkat produser miras, pengedar miras, dan sampai konsumen miras bebas melakukan apa saja menurut maunya," ungkapnya. (baca: Pemerintah dan Negara Jadikan Negeri Ini Najis, majalahselangkah.com, Kamis, 03 September 2015 14:00).

Mereka telah menyuarakan suara dari kaum tak bersuara. Di sisi ini kalian benar-benar nabi yang menyatakan suara kenabiannya dalam konteks Gereja Papua. Kalian bersuara demi penegakan nilai-nilai kebenaran sebagai penegakan nilai-nilai injili se-regio Papua. Kalian lebih tahu bahwa kata-kata mesti diimbangi dengan tindakan atau teori mesti disertai dengan aplikasi atau iman tanpa perbuatan adalah iman yang mati dengan demikian suaramu mesti diimbangi dengan tindakan. Kalau tidak, kalian tidak menyuarakan suara kebenaran yang hakiki dan dengan demikian ini sebagai suatu tindakan penyangkalan terhadap nilai-nilai injili di mellenium ketiga.

Solusi Penyelesaian konflik dan masalah di Papua tidak semudah membalikkan telapak tangan sehingga mesti melalui perjuangan yang berat dan panjang. Perjuangan seperti ini diperjuangkan oleh Jaringan Damai Papua (JDP). Dalam pertemuan yang diadakan di Maranata dan isi dari tiga buku kecil yang dibagikan sudah jelas dituliskan bagaimana tanah Papua menjadi tanah yang damai.

Semua instansi harus ikut biara dan bukan hanya kotbah belaka tetapi harus dinyatakan dalam tindakan. Kalau hanya bicara mungkin sudah basi atau bahkan gendang telinga bisa pecah karena hanya mendengar itu itu saja tanpa adanya bukti yang nyata.

Kini di Papua harus didukung oleh bukti yang nyata jangan hanya berbicara omong kosong. Instansi-instansi yang telah disebutkan di atas dan seluruh masyarakat Papua, baik yang ada di hutan-hutan maupun yang di kota-kota serta Orang Asli Papua (OAP) yang ada di luar Papua diajak untuk berdialog. Dengan semboyang Serap Aspirasi Rakyat (SAR) yang tersebar di tujuh wilayah tanah adat akan menampung hasil dialog seluruh masyarakat. Tindakan ini sebagai suatu sarana bukan solusi. Dalam buku kecil yang dibagikan itu, disebutkan bahwa ini merupakan dialog tahap pertama. Selanjutnya ada dialog tahap kedua dan ketiga dan solusinya akan diambil dalam dialog itu. 

Dialog itu bukan merupakan solusi tetapi hasilnya yang menjadi solusi. Dengan demikian ini akan menjadi suara kebenaran yang hakiki karena menyangkut semua dan dengan demikian pula ini sebagai suatu tindakan solusi yang tepat demi teriptanya Papua tanah damai. (Silvester Dogomo)
Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: