Kehancuran Keadilan Dalam Tatanan Undang-Undang Indonesia


OLEH: Honaratus Pigai*

Keadilan di Indonesia sedang menuju kehancuran. Terjadinya kehancuran diakibatkan birokrasi pemerintahan Indonesia tidak menjalani diplomasi sesuai dengan hakikat keadilan asali. Terkesan pemerintahan meninggalkan hakekat keadilan berubah total menjadi ketidakadilan. Akhir dari kekurang patuhan pemerintah menyebabkan sekian banyak orang atau rakyat di seluruh negara yang menganut system demokrasi, yang dipenuhi hukum dan undang-undang keadilan jatuh mengalami korban ketidakadilan.

Dalam buku kelima Nicomachean Ethics, Aristoteles menjelaskan sangat bagus tentang keadilan. Ia menyebutkan bahwa “Yang sesuai dengan undang-undang dan sama itu adil, yang bertentangan dengan undang-undang yang tidak sama itu tidak adil” (F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, 2007). Sebuah negara tidak akan mengalami keadilan, tanpa menuruti undang-undang yang ada. Keadilan akan terpuruk. Tercoreng identitas asalinya. Itu terjadi hanya karena ulah kepatuhan yang lumpuh.

Argumen tersebut terlihat masuk akal dan luhur. Namun ada problem besar di baliknya. Apakah undang-undang keadilan itu semata-mata merupakan bentuk formalitas belaka di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan mengakibatkan kepentingan ego fundamental para birokrat, seperti soal korupsi dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM)? Apakah keadilan dalam undang-undang hanya sebagai selubung untuk menutup kekuatan, kepengecutan, dan ketidakmampuan pemerintah untuk menegakkan hak-hak bangsa yang berdaulat? Atau pemerintah sungguh upaya yang tulus untuk menyelesaikan konflik ketidakadilan dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan fundamental masyarakat? Namun hingga sekarang masih saja terasa terlukanya keadilan masyarakat di negara ini, seperti di Papua Barat dan beberapa tempat lainnya.

Kehancuran Keadilan Dalam Tatanan Undang-Undang

Sampai saat ini pasti pemerintahan negara Indonesia, belum menyadari atau sudah tapi berpura-pura tentang undang-undang yang ada. Ada ungkapan-ungkapan yang sering terdengar di mulut rakyat jelata; “pemerintah sendirilah yang mengeluarkan undang-undang dan membuatnya, tetapi realisasinya di luar jalur yang ada. Bahkan sampai menghancurkan sendiri nilai keadilan yang termuat dalam undang-undang itu.” Ungkapan yang berangkat dari pengalaman dan keresahan kegagalan penerapan keadilan yang baik. Bertolak dari fakta, terlihat ada banyak pejabat yang korupsi di nusantara ini dan pelanggaran HAM meraja lela dengan dahsyat. Contoh kecil, suara rakyat dibungkam dan kadang ditolak. Bahkan suara rakyat dipandang suara musuh yang harus disingkirkan di balik trail. Ada pula, pelanggaran Hak Azasi Manusia, atas nama hokum, membunuh rakyat tanpa kompromi, membabi buta dan sadis.  

Sebenarnya pemerintah sendiri melakukan anarkis terhadap keadilan di masyarakat, yang tidak tahu secara detail terhadap undang-undang. Pemerintah menuntut agar masyarakat mematuhi aturan undang-undang yang ada. Dengan nasehat-nasehat, misalnya jangan mencuri, jangan membunuh, jangan korupsi, jangan berzinah, atau jangan melakukan pelanggaran terhadap undang-undang. Aturan dengan kalimat pembuka “jangan” ini memang harus demikian bahwa masyarakat harus mematuhinya, namun semuanya kembali kepada penguasa di kursi sofa. Harusnya, pemerintah yang membuat, maka mereka pun yang harus menjadi teladan untuk mematuhi dan tidak melanggarnya.

Seperinya undang-undang Indonesia hanya diberlakukan kepada kalangan rakyat, sementara di kalangan birokrasi pemerintah tidak. Sampai dengan sebebas-bebasnya banyak yang korupsi, tanpa proses hukum yang ketat. Yang diproses hukum hanya masyarakat jelata. Seorang rakyat misalnya yang mencuri makanan karena lapar diproses sampai ke pengadilan. Pemerintah yang korupsi tidak seperti demikian. Apakah ini sikap adil? Realisasi hukum undang-undang hancur lebur.

Apakah pemerintah tidak mampu berbuat adil? Atau mampu tapi tidak mau berbuat adil! Atau tidak mau dan tidak mampu! Jika demikian, pemerintah lemah. Akibatnya keadilan hancur eksistensinya dalam undang-undang. Kalau pemerintah tidak mau dan tidak mampu merealisasikan atau menjadi contoh dalam menegakkan keadilan, maka yang lebih bijaksana keadilan dalam undang-undang Indonesia harus dihapuskan. Karena keadilan dalam undang-undang tidak sama sekali menjamin rakyat. Rakyat merasa hidup ini tanpa keadilan. Hidup berjalan seperti lumrah dan keadilan tidak berfungsi dalam negara demokrasi.

Persoalan ini harus dijawab dengan sejujur-jujurnya. Jujur harus mengatakan tidak mampu atau tidak mau menjalankan keadilan atau mampu tapi tidak mau atau mau tapi tidak mampu. Supaya kita tidak dapat menghancuran eksistensi asalinya. Tapi hemat saya dan saya yakin, pasti di kalangan pemerintahan keadilan dilihat sebagai “penghambat”. Penghambat yang menutup jalan kebebasan untuk berbuat jahat (korupsi dan pelanggaran HAM). Sehingga pemerintah tidak peduli dengan istilah keadilan. Menyingkirkannya jauh-jauh, agar ada kebebasan menguras rakyat kecil.

Kepatuhan Terhadap Undang-Undang

Kepatuhan terhadap undang-undang dianggap adil dan pelanggarannya dianggap tidak adil (Budi Hardiman, 2007). Kita dapat mengenal tindakan ini adil atau tidak melalui undang-undang. Tapi kita tidak secara langsung mengatakan ini adil atau tidak, jika undang-undang itu sendiri tidak dijalani secara merata, baik pihak pemerintah maupun masyarakat awam.

Di Papua misalnya, dalam undang-undang telah termuat dengan amat jelas, bahwa setiap manusia berhak menyampaikan pendapatnya dengan bebas dimuka umum. Ini sebuah hak yang tidak dibatasi oleh pihak mana pun tanpa terkecuali. Namun de facto yang terjadi hingga kini agak lain, rakyat yang menyampaikan pendapatnya ditangkap, disiksa, dipenjarakan dan bahkan dibunuh. Pelanggaran terhadap demokrasi terjadi. 

Ini dimungkinkan birokrasi pemerintah negara belum mematuhi undang-undang yang ada. Undang-undang sepertinya dipermainkan, seperti bola di stadion gelora bungkarno. Ada pemain-pemainnya dan ada wasit, yang meniup jika diketahuinya bahwa pemain itu bersalah. Tapi jika tidak diketahui wasit, dibiarkan ia bermain terus hingga masanya berakhir. Akhirnya penonton-penonton kecewa melihat pemain yang bersalah, tapi tidak ditiup pluit oleh wasit.

Bagaimana mungkin yang tidak mematuhi undang-undang harus dibiarkan, sedangkan yang mematuhi dan melakukan aksi sesuai undang-undang diproses hukum. Ini sesuatu yang “aneh”, tapi nyata. Terjadi di negara kita. Kurang tahu sampai kapan semuanya ini berakhit dan yang ada hanya keadilan bukan ketidakadilan.

Pada hakekatnya fungsi birokrasi adalah mengatur dan melayani. Tapi, pada kenyatannya fungsi pelayanan belum mendapatkan perhatian. Disebabkan posisi mengaturnya yang lebih dominan dan menonjol. Apalagi kecenderungannya untuk mementingkan pribadi dan golongan (nepotisme). Max Weber dalam pemikirannya menyiratkan pemisahan politik atau pengambilan keputusan dengan administrasi atau pelaksanaan peraturan, diharapkan cabang administratif akan dengan patuh (obey) mengabdi dan melayani rakyat sesungguhnya. Birokrasi ideal semacam ini yang dimaksudkan oleh Weber.

Hemat saya, masyarakat yang tidak mengetahui sepenuhnya seluruh isi undang-undang dapat mudah mematuhinya. Mereka menjalani hidup sesuai undang-undang yang ada. Dari hak menyampaikan pendapat hingga isi yang lainnya. Tapi herannya yang tahu, malah berlaku seperti tidak tahu. Dalam bahasa yang trent “malas tahu” dengan undang-undang. Kalau demikian, siapa yang salah dan siapa yang benar?

Kepatuhan rakyat Papua nyata dalam aksinya. Tuntutan agar demokrasi berjalan baik di Papua merupakan hak rakyat. Maka rakyat Papua menuntut dan menyampaikan pendapat mereka atas hak hidupnya yang sudah puluhan tahun lamanya dibungkam negara, merupakan tuntutan tanpa melanggar hokum negara. Tuntutan ini pun sesuai dengan undang-undang yang ada. Mereka sama sekali tidak melampaui jalur itu. Mereka sudah menaati undang-undang yang ada, tapi mengapa mereka harus disalahkan bahwa tuntutan mereka keluar jalur undang-undang.

Pemerintah mesti mengevaluasi diri, atas dosa-dosa yang diperbuat kepada rakyat kecil di Papua, yang dipenjarakan dan dibungkam hak suaranya. Mesti ada sikap kesadaran sebenarnya sebab yang menimbulkan ketidakadilan terhadap undang-undang adalah bukan rakyat.

Menakar Keadilan

Keadilan sejati merupakan keadilan yang sungguh-sungguh berlaku dalam hidup. Keadilan sejati bukan merupakan hanya berlaku bagi orang tertentu saja, melainkan kepada universal orang. Secara ideal keadilan berlaku tanpa terkecuali. Entah orang kaya, miskin, bodoh, pintar, pemerintah, masyarakat atau siapa pun dia. Keadilan tidak membeda-bedakan ras, agama, negara, bangsa dan sebagainya. Dia berlaku bagi manusia penghuni jagad ini.
 
Sejak Kemerdekaan Indonesia, ada upaya untuk mewujudkan cita-cita bersama seluruh rakyat untuk membangun keadilan yang seadil-adilnya dan spirit perjuangan itu kemudian dirumuskan keadalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Perlu diketahui bahwa masalah keadilan muncul ketika individu-individu yang berlainan mengalami konflik atas kepentingan mereka, maka prinsip-prinsip keadilan harus mampu tampil sebagai pemberi keputusan dan penentu akhir bagi perselisihan masalah keadilan. Prinsip keadilan yang dapat diterima seluruh masyarakat akan menjadi prinsip keadilan yang bukan sekedar lahir dari kata “Setuju”, tetapi benar-benar merupakan jelmaan kesepakatan yang mingikat dan mengandung isyarat komitmen menjaga kelestarian prinsip keadilan tersebut.  Konsep keadilan jelas dirumuskan dalam Undang-Undang UD 1945, dan dikongkritkan baik dan termuat dalam isi PANCASILA pada sila yang ke-lima yaitu; “keadilan sosial bagi seluruh rakyar indonesia”.

Keadilan sendiri ada dalam undang-undang dan sudah diatur di dalamnya secara rapih dan teratus. Bahwa keadilan bagi setiap orang adalah nilai wajib. Namun mengapa harus kita mengingkari segala yang telah diatur itu. Para pejabat pemerintahan negara, misalnya yang sering mengganggap keadilan tidak ada dalam undang-undang negara. Maka dengan mudah menaklukan idealisme keadlian terjadi. Padahal pemerintah telah tahu bahwa keadilan merupakan lawan dari ketidakadilan. Tapi malah pemerintah lebih dahulu melakukan tindakan ketidakadilan dari pada keadilan. Selayaknya pemerintahlah harus menjadi contoh baik bagi masyarakatnya dan menghindari penindasan, pelanggaran HAM, KKN yang masih terasa ini.**

Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: