![]() |
Ilustrasi/Persahabatan Akal & Hati/Foto, Google. |
Manusia Cenderung Meneladani Tindakan Binatang Seperti Tikus Untuk Membunuh Orang
Secara Perlahan-lahan Dan Akhirnya Merugikan Diri Sendiri. Mereka Tidak Hanya Membunuh Jasmani Atau Badan Semata. Tindakan Mereka Juga Mematikan Jiwa Manusia, Yakni Jiwa Yang Dipercaya Akan Hidup Kekal, Walaupun Badannya Akan Mati. Endingnya Mereka Tidak Mampu Membedakan Mana Yang Baik Dan Mana Yang Jahat, Sehingga Mudah Berdampak Pada Pelanggaran Moral Dan Dosa.
Secara Perlahan-lahan Dan Akhirnya Merugikan Diri Sendiri. Mereka Tidak Hanya Membunuh Jasmani Atau Badan Semata. Tindakan Mereka Juga Mematikan Jiwa Manusia, Yakni Jiwa Yang Dipercaya Akan Hidup Kekal, Walaupun Badannya Akan Mati. Endingnya Mereka Tidak Mampu Membedakan Mana Yang Baik Dan Mana Yang Jahat, Sehingga Mudah Berdampak Pada Pelanggaran Moral Dan Dosa.
Catatan Awal
Tindakan manusia untuk mencuri
merupakan tindakan yang kurang wajar bahkan dikatakan tidak baik, karena
tindakan itu membunuh manusia secara perlahan-lahan, yang pada akhirnya
membunuh dirinya sendiri. Tindakan Curi diidentikkan dengan tindakan
kebinatangan seperti Tikus yang juga melakukan tindakan mencuri, misalnya
mencuri makanan milik manusia. Manusia
juga melakukan tindakan Mencuri, tapi secara sadar, tahu dan mau sering
bertingkahlaku seperti Tikus.
Tindakan demikian tidak hanya
dimengerti hanya sebatas tindakan mencurinya, tetapi ada makna di balik
tindakan curi itu. Mengapa demikian? Apa perumpamaan di balik manusia yang
berkalakuan seperti Tikus? Kalau begitu Apakah ada “Tikus Manusia”? kalau ada,
bagaimana “Tikus Manusia” itu berpendapat, bertindak, melakuakan aktifitas? Apa
perumpamaan dibalik Tikus manusia?
“Tikus” adalah “salah satu hewan yang
termasuk golongan hewan pemakan segala (omnivora).” Tikus yang dimaksud oleh
penulis bukan jenis Tikus Rawa, Kebun, Hutan tetapi lebih difokuskan pada jenis
Tikus Rumah.
Jenis Tikus Rawa seringkali mencuri dan
menghabiskan padi yang telah ditanam. Sedangkan, Jenis Tikus Kebun mencuri dan menghabiskan
tanaman di kebun: ubi, sayur dan buah. Kalau, Jenis Tikus Hutan, mencuri dan menghabiskan
berbagai jenis tanaman dari kebun di Hutan baik berupa sayur, buah maupun
ubi/keladi/kasbi, dll. Sementara, jenis Tikus Rumah yang juga sama dengan
lainnya karena ia akan berusaha untuk mencuri dan menghabiskan makanan yang
ditaruh di rumah entah berupa sayur, buah, ubi/nasi/sagu/singkong/keladi, lauk,
dll. Jenis Tikus Rumah berbeda dengan Tikus yang ada di tempat lainnya. Salah
satu sifat, yang dimilikinya adalah “Rakus,” selalu berusaha keras untuk
mendapatkan makanan bahkan dia akan berkeliaran untuk menncari dan bahkan
mencuri makanan di atas meja yang disajikan untuk makanan manusia. Tikus ini
tidak tahu malu.
Tikus Rumah ini, akan selalu berusaha
untuk menghabiskan berbagai jenis makanan yang disimpan di rumah. Ia malas
tahu, apakah daging yang disimpan, sayur, buah dan ubui/keladi/sagu/kasibi, dsb,
ia lahap habis. Ia akan selalu berusaha sampai mendapatkannya walaupun
makanannya sudah ditutup rapat dengan penutup. Kalau tidak bisa, ia akan
berusaha untuk membocorkan tempat penyimpanan makanan. Ia tidak ambil pusing
dengan pemiliknya. Enath itu makanan anak kecil, remajah atau orang tua, orang
kaya atau orang miskin karena yang penting baginya adalah mendapatkan makanan
dan kenyang. Ini sifat ketamakannya. Tikus ini juga egois, setelah mendapatkan
makanan ia akan berusaha untuk menghabiskan makanan itu sejauh kemampuan
makannya. Sisa-sisa makanan, pasti dihamburkan di situ.
“Manusia” adalah maklukh ciptaan Tuhan
yang sempurnah dari semua yang diciptakan oleh Allah. Manusia juga sering
dikenal dengan hewan yang berakal budi (animal
rationale). Kalau demikian, maka manusia yang tidak dapat menggunakan akal
budinya dengan baik dan benar, (dan hati nuraninya) digolongkan dalam golongan Tikus.
Maka, tidak heran kalau ada manusia yang berlaku persis seperti Tikus. Sebaliknya,
jika fungsi akal dan hati nurani dipergunakan dengan baik untuk memaknai hidup
dengan memiliki moralitas hidup yang positif, maka manusia itu mampu membedakan
baik dan benar. Karena itu, ia mampu menghindari segala tindakan yang merugikan
dirinya sendiri maupun orang lain. Misalnya, menghindari melakukan tindakan
Pencurian yang digambarkan tadi.
Bangun Hidup, Pakai AKAL dan HATI
Kelebihan dari manusia adalah bernalar
berdasarkan daya akal budi dan hati nurani. Dengan daya ini, manusia dapat
membedakan mana yang baik dan tidak baik. Tikus tidak dapat bernalar seperti
manusia sehingga tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak
baik.
Seringkali manusia bertindak dan
berperilaku seperti Tikus. Kurang menggunakan akal dan hati yang dimilikinya
sehingga prilaku dan tindakannya tidak jauh berbeda dengan Tikus tadi. Seperti
Tikus yang kerjanya mencuri, Manusia juga kadang-kala berprilaku sama seperti
Tikus. Walaupun tindakan mencuri adalah
tindakan yang bisa menghancurkan hidup manusia lain. Inilah yang dinamakan dengan pembunuhaan perlahan-lahan.
Manusia yang bukan tikus mesti
menyadari betapa pentinggnya menggunakan akal budi secara baik. Pepatah suku
bangsa Mee yang patut kita apresiasi berbunyi “dimi akawai awii” artinya; jadikanlah akal budimu menjadi kakakmu.
“Kakak” tidak hanya dimengerti dalam artian subjek manusianya, di mana kakak
yang selalu memperhatikan, melindungi dan
menjaga adik-adiknya. Kakak juga dapat dimengerti dalam arti menjadi penunjuk, pengarah, jalan dan terang dalam
hidup yang selalu memberi yang terbaik untuk mengarahkan hidup kepada yang
lebih baik. Karena ia baik maka menjadikan seluruh hidup dan tindakannya
baik serta membuat dunia menjadi lebih baik. “Berbahagialah orang yang menjadikan dunia ini menjadi lebih baik”
(Yohanes Rasul).
Selain itu, Manusia juga mesti
menggunakan hati nuraninya sebagai sebuah pedoman untuk menciptakan kedamaian.
Mereka seharusnya mendengarkan suara yang berseru dari lubuk hati yang paling
dalam. Karena tindakan mencuri seperti orang yang tidak berakal dan berhati
nurani secara tidak langsung juga membunuh diri sendiri. Ketika mereka
melakukan tindakan mencuri, mereka juga sedang membunuh akal sehat dan
menumpulkan hati nuraninya. Semakin mereka mencuri, mereka sepertinya tidak
berakal budi dan hati nuraninya mulai memudar maka mereka tidak bisa membedakan
bahwa tindakan mencuri itu baik atau jahat.
Hati nurani sering juga disebut suara
hati. Hati nurani atau “suara hati adalah suatu keinsyafan batin yang
mempengaruhi hati kita masing-masing
serta menyatakan kepada kita enta suatu keinginan yang telah muncul itu baik
atau tidak baik bagi manusia sebagai manusia. Suara hati adalah kompas menuju
pemanusiaan sejati, memperlihatkan serta mendorong manusia menuju
pemanusiaannya yang tulen.” (Dr. Yan Van Paassen, MSC., Suara Hati kompas
kebenaran; Jakarta, 2002: 01).
Dalam kutipan ini, hendak menunjukkan
kepada kita bahwa ketika kita tidak menjaga “hati nurani” atau mendengarkan “suara
hati,” maka “suara hati” kita akan memudar bahkan mati. Dengan matinya “suara
hati,”, manusia tidak bisa membedakan apa kata “suara hati” ketika kita mencuri.
Kita akan merasa bahwa tindakan mencuri yang dilakukan itu baik karena suara
hatinya tidak berfungsi. Dengan matinya suara hati, manusia tidak akan menjadi
manusia sejati. Sebaliknya, apabila kita mendengarkannya, maka suara hati akan
muncul (entah baik atau tidak baik) karena itulah manusia sebagai mansia
sehingga di sini dituntut keaktifan daya nalar/akal budi (dimi) untuk memilih
yang baik dan tidak memilih yang jahat.
Selama para pencuri itu tidak mengasa
untuk mendengarkan “suara hati” yang baik, mereka tidak bisa mendengarkan
“suara hati” yang baik dan memandang semua tindakan manusia baik adanya
(termasuk tindakan mencuri).
Pertama-tama, terjadi pertentangan di
dalan diri antara suara hati yang baik dan jahat. Suara hati yang baik menuntutnya
untuk tidak mencuri, demikian juga akal sehat akan mengajaknya untuk memilih
dan memutuskan tidak mencuri. Sementara suara hati yang jahat akan menawarkan
dengan berbagai macam alasan misalnya: kan sekali saja jadi curi saja atau ini
orang tidak lihat cepat curi sudah (ini bukan dalam konteks keterdesakan untuk
mencuri karena lapar mau hampir mati). Ini secara pelan-pelan mengarahkannya
pada suara hati yang jahat dan ajakan akal sehat mulai melemah yang selanjutnya
akan menjadi kebiasaan. Kalau sudah jadi begitu kita tidak bisa membedakan
antara tindakan baik dan jahat.
Ketika mereka berada dalam situasi ini,
“suara hati” yang baik akan menentangnya, untuk meninggalkan “suara hati” yang
tidak baik. Pertentangan antara “suara hati” yang baik dan tidak baik akan
sangat terasa dan nyata sekali ketika sesama yang melihat bahwa seseorang
sedang mencuri, menegurnya. Ketika ia tidak mau medengarkan teguran orang dan
melawan teguran itu, berarti bahwa ia tetap untuk medengarkan “suara hati” yang
tidak baik. Apabila ia sadar dan
mendengar maka ia hendak beralih untuk mendengarkan “suara hati” yang
baik.
Demikian juga, sejauh mereka berjalan
dalam bingkai suara hati yang baik maka sebaliknya, suara hati yang jahat akan
selalu menentangnya sehingga di sini perluh sekali peranaan “akal budi” untuk
mengambil keputusan “suara hati” yang mengarah ke Bonum Comune (kebaikan
bersama). Walaupun suara hati juga bisa keliru, sejauh orang mampu untuk
berjalan dalam jalur suara hati yang
baik mereka mesti berusah secara berkesinambungan.
Dengan demikian, mereka menjadi orang
baik yang akan menuntunnya pada pemanusiaan sejati atau manusia yang menjadi
manusia atau manusia yang menemukan identitas dan jati dirinya sebagai manusia
karena ia berhasil membedakan “suara hati” yang baik dan jahat untuk memilih
yang baik dan menjauhkan yang jahat sehingga “suara hati” berfungsi sebagai
“norma hidup” dan “akal budi” sebagai “pengatur untuk mengarahkannya pada yang
baik” dan selanjutnya diproses dalam perjalanan dan perjuangan hidup.
Silvester
Dogomo
0 komentar:
Post a Comment