Seakan semuanya berubah. Dan memang telah berubah sebagaimana hari berubah, siang berganti malam. Begitulah sebuah kehidupan di bumi, dimana manusia mengalami dinamika hidup. Selalu berubah dari satu generasi ke generasi yang lainnya.
Walau manusia punya akal untuk berpikir, tetapi manusia sering menyerupai tindakan kebinatangan ketika mereka mengutamakan keegoisan belaka. Begitu mudah bagi manusia untuk membinasakan manusia lain. Mereka merias wajah kebengisan di tengah derita yang dialami manusia lain, menyombongkan diri terhadap kaum lemah. Dan itu terjadi di seluruh penjuru dunia.
Di belahan dunia lain, dimana Piet merangkai kisah hidupnya, sudah 50-an tahun penderitaan menemani hidupnya dalam kebisuaan. Barangkali kebisuan yang menjemput penderitaan atau boleh dikatakan kebisuan yang terselubung dibalik penderitaan yang meliliti sanak keluarganya. Kenyataan-nya, penderitaan itu disebabkan karena adanya ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup. ‘Yang kuat boleh menang dan yang lemah boleh kalah’ inilah yang menjadi hukum tertinggi tanpa menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.
Semasa hidupnya, Piet merasakan perubahan iklim. Surga berubah menjadi neraka. Di bumi, dimana ia dilahirkan dan dibesarkan serasa tiada damai. Dari tahun ke tahun, terjadi saja pembunuhan terhadap rakyat sipil (kaum lemah). Anjing-anjing penjaga keamanan rumah selalu saja siaga memperlihatkan taringnya dan seringkali galak menggigit dan mencabik-cabik tubuh saudara dan saudari Piet. Bahkan leluhurnya pun pernah menjadi korban pembunuhan anjing-anjing galak itu.
Dengan usianya yang mendekati 70 tahun, tak sedikit peristiwa tragedi yang disaksikan, dialami dan dirasakan Piet. Apalagi pulau tempat ia tinggal itu lebih dikenal dunia karena adanya konflik yang berkepanjangan. Pulau warisan leluhurnya (Papua) yang sering dijuluki 'Pulau Surga' bagi Piet adalah 'Pulau Neraka' sebab darah-darah manusia tak bersalah terus mengalir sepanjang waktu. Pertumpahan darah selalu terjadi bagai sungai yang mengalir tiada henti.
Tidak-lah asing bagi masyarakat yang mendiami pulau Papua terhadap pembunuhan yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia yang sering dijuluki Piet 'Anjing-anjing galak penjaga keamanan rumah'. Bahwa banyak kasus kekerasan yang sering dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia terhadap rakyat sipil dengan menggunakan senjata. Telah lama, dari kasus pembunuhan yang satu ke kasus yang lainnya, Piet membenci tindakan militerisme aparat keamanan yang telah menewaskan ratusan ribu orang. Bahkan di usianya yang senja pun, ia masih membenci tindakan amoral mereka (bukan manusia-nya yang ia benci).
Tahun demi tahun berlalu tanpa ada damai. Ratusan bahkan ribuan orang berteriak di sepanjang jalan-jalan perkotaan agar aparat keamanan menghentikan tindakan militerisme di tanah Papua, tetapi teriakkan itu berlalu bagai angin lalu. Mereka seakan menutup mata hati-nya. Dan ternyata memang buta-lah mata hati mereka untuk melihat dan merasakan penderitan sesama ciptaan Tuhan. Ataukah memang mereka tak ber-Tuhan?
Piet duduk membisu menatap hampa ke arah pegunungan yang selalu diselimut kabut putih yang tebal. Dalam kebisuan seperti itu dalam benaknya selalu terbayang-bayang peristiwa-peristiwa pengejaran, penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan yang pernah terjadi baik di kampung halamannya maupun daerah lain. Pria tua itu selalu menyayangkan tindakan-tindakan amoral yang dilakukan manusia-manusia biadab di muka bumi ini. Sesekali wajahnya tampak sedih dan akhirnya meneteskan air mata.
Sesaat kemudian, bunyi tembakkan memeriahkan kota Wamena. Tua dan muda, laki-laki maupun perempuan berlari tunggang-langgang. Anak-anak kecil menangis dan minta tolong. Piet berdiri menganga menyaksikan apa yang sedang terjadi di hadapan matanya. 'Tuhan...! Kenapa masih terjadi penembakan di tanah ini? Apakah semua ini kehendak-Mu?' pria tua itu berguman sembari meneteskan air mata dari bola matanya yang semakin layu. Bunyi tembakan terus berlanjut memporak-porandakan Lembah Baliem. Orang-orang masih berlari ketakutan mencari tempat persembunyian, ingin menghindari tindakan militerisme yang membabi-buta. Di lorong-lorong jalan pasukan loreng berjalan menyapu bersih dengan perlengkapan perang. Ada pula yang mengendarai mobil baja dalam keadaan siap bertempur.
Piet masih berdiri menyaksikan aksi kekerasan yang sedang berlangsung. Ia hanya membisu. Tak terpikir olehnya untuk bersembunyi ataupun berlari meninggalkan rumahnya sebelum ia ditembak mati. Lebih baik saya mati di sini daripada berlari ketakutan walau tak bersalah, pikir Piet. Ia menyadari bahwa pasukan loreng itu selalu saja menembak rakyat sipil secara membabi buta dalam kasus-kasus kekerasan sebelumnya, tetapi ia tak beranjak dari rumahnya. Ia merasa dirinya lebih baik mati di rumah daripada mati di jalanan atau di hutan.
Walau manusia punya akal untuk berpikir, tetapi manusia sering menyerupai tindakan kebinatangan ketika mereka mengutamakan keegoisan belaka. Begitu mudah bagi manusia untuk membinasakan manusia lain. Mereka merias wajah kebengisan di tengah derita yang dialami manusia lain, menyombongkan diri terhadap kaum lemah. Dan itu terjadi di seluruh penjuru dunia.
Di belahan dunia lain, dimana Piet merangkai kisah hidupnya, sudah 50-an tahun penderitaan menemani hidupnya dalam kebisuaan. Barangkali kebisuan yang menjemput penderitaan atau boleh dikatakan kebisuan yang terselubung dibalik penderitaan yang meliliti sanak keluarganya. Kenyataan-nya, penderitaan itu disebabkan karena adanya ketidakadilan dan ketidakbenaran hidup. ‘Yang kuat boleh menang dan yang lemah boleh kalah’ inilah yang menjadi hukum tertinggi tanpa menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.
Semasa hidupnya, Piet merasakan perubahan iklim. Surga berubah menjadi neraka. Di bumi, dimana ia dilahirkan dan dibesarkan serasa tiada damai. Dari tahun ke tahun, terjadi saja pembunuhan terhadap rakyat sipil (kaum lemah). Anjing-anjing penjaga keamanan rumah selalu saja siaga memperlihatkan taringnya dan seringkali galak menggigit dan mencabik-cabik tubuh saudara dan saudari Piet. Bahkan leluhurnya pun pernah menjadi korban pembunuhan anjing-anjing galak itu.
Dengan usianya yang mendekati 70 tahun, tak sedikit peristiwa tragedi yang disaksikan, dialami dan dirasakan Piet. Apalagi pulau tempat ia tinggal itu lebih dikenal dunia karena adanya konflik yang berkepanjangan. Pulau warisan leluhurnya (Papua) yang sering dijuluki 'Pulau Surga' bagi Piet adalah 'Pulau Neraka' sebab darah-darah manusia tak bersalah terus mengalir sepanjang waktu. Pertumpahan darah selalu terjadi bagai sungai yang mengalir tiada henti.
Tidak-lah asing bagi masyarakat yang mendiami pulau Papua terhadap pembunuhan yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia yang sering dijuluki Piet 'Anjing-anjing galak penjaga keamanan rumah'. Bahwa banyak kasus kekerasan yang sering dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia terhadap rakyat sipil dengan menggunakan senjata. Telah lama, dari kasus pembunuhan yang satu ke kasus yang lainnya, Piet membenci tindakan militerisme aparat keamanan yang telah menewaskan ratusan ribu orang. Bahkan di usianya yang senja pun, ia masih membenci tindakan amoral mereka (bukan manusia-nya yang ia benci).
Tahun demi tahun berlalu tanpa ada damai. Ratusan bahkan ribuan orang berteriak di sepanjang jalan-jalan perkotaan agar aparat keamanan menghentikan tindakan militerisme di tanah Papua, tetapi teriakkan itu berlalu bagai angin lalu. Mereka seakan menutup mata hati-nya. Dan ternyata memang buta-lah mata hati mereka untuk melihat dan merasakan penderitan sesama ciptaan Tuhan. Ataukah memang mereka tak ber-Tuhan?
Piet duduk membisu menatap hampa ke arah pegunungan yang selalu diselimut kabut putih yang tebal. Dalam kebisuan seperti itu dalam benaknya selalu terbayang-bayang peristiwa-peristiwa pengejaran, penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan yang pernah terjadi baik di kampung halamannya maupun daerah lain. Pria tua itu selalu menyayangkan tindakan-tindakan amoral yang dilakukan manusia-manusia biadab di muka bumi ini. Sesekali wajahnya tampak sedih dan akhirnya meneteskan air mata.
Sesaat kemudian, bunyi tembakkan memeriahkan kota Wamena. Tua dan muda, laki-laki maupun perempuan berlari tunggang-langgang. Anak-anak kecil menangis dan minta tolong. Piet berdiri menganga menyaksikan apa yang sedang terjadi di hadapan matanya. 'Tuhan...! Kenapa masih terjadi penembakan di tanah ini? Apakah semua ini kehendak-Mu?' pria tua itu berguman sembari meneteskan air mata dari bola matanya yang semakin layu. Bunyi tembakan terus berlanjut memporak-porandakan Lembah Baliem. Orang-orang masih berlari ketakutan mencari tempat persembunyian, ingin menghindari tindakan militerisme yang membabi-buta. Di lorong-lorong jalan pasukan loreng berjalan menyapu bersih dengan perlengkapan perang. Ada pula yang mengendarai mobil baja dalam keadaan siap bertempur.
Piet masih berdiri menyaksikan aksi kekerasan yang sedang berlangsung. Ia hanya membisu. Tak terpikir olehnya untuk bersembunyi ataupun berlari meninggalkan rumahnya sebelum ia ditembak mati. Lebih baik saya mati di sini daripada berlari ketakutan walau tak bersalah, pikir Piet. Ia menyadari bahwa pasukan loreng itu selalu saja menembak rakyat sipil secara membabi buta dalam kasus-kasus kekerasan sebelumnya, tetapi ia tak beranjak dari rumahnya. Ia merasa dirinya lebih baik mati di rumah daripada mati di jalanan atau di hutan.
* * *
Seminggu berlalu. Suasana kota Wamena belum juga kondusif. Para aparat keamanan Indonesia masih bersiap siaga di persimpangan-persimpangan jalan, tempat-tempat umum, pos-pos keamanan dan di markas-nya. Rakyat sipil merasa tak bebas bergerak seperti biasanya, seakan terkurung dalam sel penjarah bawah tanah. Lembah Baliem telah berubah menjadi Lembah Ketakutan yang mengerikan. Dimana-mana dikuasai oleh pasukan anjing-anjing galak penjaga keamanan rumah yang siap menerkam siapa saja (laki-laki ataupun perempuan dan muda ataupun tua) dan mencabik-cabik tubuh manusia tak bersalah.
Sungai Baliem berubah warna menjadi merah. Disana mayat-mayat berserakkan ketika Piet menyusuri sungai Baliem. Pria tua seperti dirinya hanya sanggup menteskan air matanya sembari memandang mayat-mayat yang terapung kaku. ‘Sungai Darah’ Piet bergumam sedih sembari menarik keluar mayat-mayat itu ke darat. (Vitalis Goo)
0 komentar:
Post a Comment