Kemanakah Anak Negeri Cenderawasih akan Berlayar

Sembilu Impian Mengenang Negeri Cenderawasih

Mengapa Masalah Papua Penting Untuk Dibahas?
Sepanjang manusia Papua terintegrasikan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni sejak tahun 1969 tak ada suatu titik pencerahan pun yang didapatkan oleh masyarakat Papua menyangkut jatidirinya sebagai suatu suku-bangsa yang patut dihargai keberadaannya. Lagi pula suatu hal dasar yang memotivasi manusia Papua untuk memperjuangkan jati dirinya adalah berdasarkan pengalaman sejarahnya yang mengesankan ketidaksetujuan masyarakat Papua. Dimana pada saat pemerintah Indonesia masuk ke tanah Papua dan mengklaimnya sebagai tanahnya telah terjadilah suatu insiden yang menggetarkan jiwa manusia Papua untuk melawan pemerintah Indonesia, karena mereka merasa tidak cocok dengan dengan bangsa Indonesia. Sebagai pelampiasan amarah masyarakat Papua, maka terjadilah perang antara masyarakat Papua (yang menggunakan senjata tradisional ― busur dan anak panah) dengan pemmerintah Indonesia yang menggunakan senjata modern yang kemudian perang ini dikenal dengan nama “perang tahun’69”. Akhirnya pemerintah Indonesia mengambil jalan pintas untuk memasukkan wilayah Papua kedalam NKRI dengan jalan memanipulasi pelaksanan “PEPERA” dan kemudian terjadilah New York Agreement yang sepihak tanpa adanya partisipasi dari kalangan bangsa Papua.
Dari tahun ke tahun secara beruntun terjadi pelanggaran berat HAM di tanah Papua oleh aparatus negara khususnya TNI/POLRI sebagai back bone
bangsa Indonesia yang diwakilkan oleh para penguasa untuk menjaga keutuhan atau integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga setiap putera/puteri Papua yang menonjolkan dirinya untuk memperjuangkan nasib dan jati diri masyarakat Papua menjadi wewenang TNI/POLRI atas mandat para penguasa untuk dimusnahkan dari atas muka bumi, karena anggapan bangsa Indonesia bahwa mereka itu adalah teroris dan separatis yang berusaha memisahkan diri dari NKRI. Sehingga berdasarkan anggapan ini banyak masyarakat Papua (yang tak bersalah) yang menjadi korban karena mereka (TNI/POLRI) tak dapat menemukan jejak TPN/OPM, maka emosinya dilampiaskan kepada masyarakat yang tidak tahu apa-apa (masyarakat awam).
Berbagai fenomena sosial-politik berkembang semakin pesat di Tanah Papua bersamaan dengan perkembangan dan kemajuan di bidang “Tripple T” (Tecnhology, Transportation, dan Telecommunication). Perkembangan “Tripple T” menyadarkan manusia Papua bergerak memperjuangkan harga diri dan martabatnya yang berusaha dilenyapkan di atas tanahnya guna mewujudkan kebebasan yang sebebas-bebasnya bagi tanah dan manusia Papua sendiri. Karena penderitaan yang sangat mendalam di alami oleh masyarakat Papua atas tekanan, intimidasi, dan penyiksaan yang terus menerus dilakukan oleh bangsa Indonesia.
Bumi Negeri Cenderawasih yang kaya akan kandungan alamnya kini terkulai habis ditelan berlalunya waktu. Dari masa ke masa bumi yang alami terkikis habis oleh tangan-tangan pembawa kehancuran. Pohon-pohon sumber kesejukkan ditumbangkan di sana-sini, penghuni hutan kesana-kemari meratapi rumah mereka yang dirusakkan. Itu ─ kah melestarikan lingkungan?
Pola pembangunan yang dicanangkan pemerintah pusat pada masa regim Soeharto ─ salah satunya adalah dengan berporosnya program transmigrasi dari Jawa ke Tanah Papua dengan maksud agar mewujudkan pemerataan jumlah penduduk Jawa yang teramat padat dan maksud lainnya adalah agar secara evolusioner menguasai dan memusnahkan suku bangsa Papua dari tanahnya sendiri. Proses pengiriman transmigrasi ini tentunya membuka suatu lahan baru, sehingga mengakibatkan kerusakan alam serta habitat yang tinggal disekitarnya. Lalu setelah suku bangsa Papua dimusnahkan siapakah yang akan menikmati kekayaan alam Tanah Papua? Proses pemusnahan rakyat Papua memang nyata terjadi di Tanah Papua hingga saat ini baik secara langsung maupun tak langsung dengan berbagai cara yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat ─ yang berusaha menghilangkan jati diri suku bangsa Papua bahkan sampai menghilangkan nyawa mereka. Membujuk orang Papua untuk masuk dan menganut agama Islam ─ berjanji untuk memberikan gadis melayu dan mobil yang mewah sebagai imbalannya.
Derita demi derita tumbuh dan berkembang mengiringi zaman perkembangan dunia ─ memaksa manusia Papua untuk menjadi dirinya sama seperti orang lain dalam waktu yang sangat cepat. Maka dalam keadaan seperti ini, kehidupan manusia Papua layak burung kasuari yang dipaksa terbang menyusuri samudera raya. Kehidupan yang begitu tertekan, perasaan ketakutan pun tak dapat dielakan. Keadaan ketakutan ini membawa mereka kepada kehidupan yang mengambang, sehingga menciptakan perpecahan yang sengit intra-suku bangsa Papua sendiri. Hal ini merupakan suatu bentuk keleluasaan yang dengan sengaja diciptakan oleh pemerintah pusat agar dengan sangat mudahnya mereka menerobos masuk seakan-akan menjadi The Best Arbitration ( wasit bijaksana ).
Penderitaan kehidupan manusia Papua di atas tanahnya sendiri seolah sebuah benda yang terapung di atas samudera raya ─ yang tak tahu ke arah mana ia akan bergerak, karena ia bukan sebuah mesin yang digerakkan oleh manusia yang budiman. Padahal manusia Papua hanya menginginkan suatu kehidupan yang layak seperti manusia serta bergerak bebas mempersiapkan hari esok yang cerah.
Pelanggaran berat HAM secara beruntun terjadi sejak wilayah Papua terintegrasikan dengan Indonesia dan saat itu pula perjuangan kemerdekaan Papua Barat bergulir atas ketidakadilan yang dilakukan Indonesia terhadap pelaksanaan “PEPERA” pada tahun 1969 yang ditandai dengan intimidasi, penyiksaan dan penafsiran sepihak sehingga dinilai cacat hukum oleh masyarakat Papua, penetapan New York Agreement, 15 November 1962 yang menjadi dasar pengalihan kekuasaan dari Nederlands Nieuw Guinea (Pemerintah Belanda) kepada Indonesia dilaksanakan tanpa keterlibatan aktif dari bangsa Papua dalam perundingan, kemerdekaan Papua yang diberikan oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 1 Desember 1961 dengan : (1) mengangkat 50 % anggota Nieuw Guinea Raad dari kalangan Papua; (2) mengibarkan Bendera Bintang Kejora disamping Bendera Belanda; (3) mensosialisasikan lagu kebangsaan “Hai, Tanahku Papua”. Selain itu juga protes masyarakat tidak pernah ditanggapi serius oleh Pemerintah sehingga Rakyat Papua merasa bahwa martabat dan jatidirinya sebagai manusia tidak pernah diindahkan dan mereka tidak pernah merasa bahwa dihargai dan dijamin hak-haknya sebagai warganegara Indonesia sepenuhnya. Lebih lagi atas tindakan TNI / POLRI yang ditandai dengan arogansi dan pembantaian terhadap rakyat Papua yang tak bersalah.
Sejuta dukacita hidup bersama masyarakat Papua; penindasan demi penindasan; diskriminasi demi diskriminasi; tekanan demi tekanan terjadi secara beruntun dari tahun ke tahun. Setiap jeritan tangisnya tertimbun ditelan tanah-tanah penambangan, terkulai arus sungai yang membawa berjuta-juta ton kayu illegal lodging, terhipnotis dengan kepentingan politik bangsa Indonesia di tanah Papua, terlena di bawah cantik parasnya gadis-gadis melayu, terpanah dengan ilmu dan ajaran-ajaran yang menyesatkan jiwa banyak orang Papua. Sehingga semua hal ini mengakibatkan lumpuhnya perjuangan masyarakat Papua Barat untuk mewujudkan impiannya, yakni “Merdeka”.
Setiap Rakyat Papua tentunya memiliki suatu keinginan untuk memerdekakan diri dari pangkuan NKRI, namun apa boleh buat orang Papua telah termaktub di dalam hingar-bingar Indonesianisasi. Lalu siapa lagi yang akan memperjuangkannya, kalau bukan orang Papua sendiri? Jangan pernah kita bermimpi bahwa orang lain akan memperjuangkan itu, karena secara logisnya kita bukan mereka dan mereka bukan kita. Kita sebagai Rakyat Papua Barat Barat memang sangat diferensial dengan suku bangsa lainnya di Indonesia maupun maupun Negara-negara lainnya di dunia.
Melihat realita yang terjadi pada masyarakat Papua dewasa ini ternyata banyak orang Papua belum sampai memahami perjuangan sejati : perjuangan yang berlandaskan pada upaya memperjuangkan kepentingan umum masyarakat Papua; perjuangan yang tidak bersifat kondisional; perjuangan yang tidak memperjuangkan deferensial. Karena kita belum pernah mengalami dan merasakan sendiri betapa sakitnya penindasan, ketidakadilan, penganiayaan, dan intimidasi yang telah dan sedang dialami oleh sebagian besar Rakyat Bangsa Papua.
Berpangkal dari sini kita mestinya membangun suatu basis yang kuat di setiap daerah di seluruh pelosok Tanah Papua yang ruang lingkup pergerakannya berada di bawah naungan suatu lembaga yang independent. Paling tidak lembaga ini bergerak di segala bidang dan punya garis koordinasi yang jelas antara bidang yang satu dengan yang lainnya, bukan berjalan masing-masing sesuai apa yang dikehendakinya, serta punya suatu komitmen yang tepat pada sasarannya untuk mengimbangi dan mengalahkan proses Indonesianisasi. Sehingga dari sinilah tercipta perjuangan yang terorganisir dari setiap organ yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Papua Barat. Berpijak dari sini pula kita sebagai Rakyat Bangsa Papua Barat berkewajiban untuk mendukung setiap pergerakan apapun yang berjuang melawan semua itu dan tidak boleh menjadi sembilu bagi mereka.
Semenjak propinsi Papua dimekarkan menjadi dua propinsi, propinsi Papua sendiri dan propinsi Irian Jaya Barat(IJB) yang stasusnya kurang jelas, kemudian disusul dengan isu pemekaran Irian Jaya Tengah(IJT). Kesempatan untuk memperjuangkan multi—kebebasan orang Papua semakin sirna. Malah membuka lahan bisnis baru bagi orang lain. Menambah populasi warga Papua yang tersesat dalam sistem pemerintahan. Melalui Sistem pemerintahan ini sengaja disebarluaskan di Tanah Papua untuk mengelabui perkembangan dan kebebasan Rakyat Papua di segala bidang. Karena pemerintah pusat beranggapan bahwa Papua adalah daerah yang sangat sulit dikuasai, sehingga prospek pemerintah ke depan, pemekaran propinsi Papua lebih bermanfaat dan menguntungkan untuk menjangkau pelosok Papua yang sampai sekarang masih terisolir. Semakin luas daerah yang dikuasai semakin banyak pula masyarakat Papua yang terkekang oleh sistem pemerintahan Indonesia yang memiliki sejuta harapan untuk kepentingan negara semata. Proposisi ini dengan sendirinya menghanyutkan impian mereka (suku bangsa Papua) untuk menggapaikan kebebasan individu dalam segala daya dan upaya masyarakat Papua akibat intervensi pemerintah pusat dalam mengambil dan menetapkan kebijakannya melalui para birokrat yang ada di Papua dan kompromi-komprominya yang tidak selalu menguntungkan masyarakat Papua.
Terdapat pula beberapa hal yang menjadi stagnasi kebebasan masyarakat Papua, pertama, meningkatnya Daerah Operasi Militer (DOM), membuat warga Papua hidup dalam dunia ketakutan. Sehingga hal ini membawa mereka kepada dunia kehati-hatian dalam memaksimalkan aktivitas kesehariannya. Kedua, ketimpangan distribusi income yang terjadi di Papua ternayata dipelihara dengan mengorbankan dan melantarkan Rakyat Papua yang berujung pada kebencian, frustrasi, dan sikap pasrah, bahkan hal itu menjadi halangan untuk berusaha dengan sebebas-bebasnya mewujudkan cita-citanya. Ketiga, maraknya aksi suap-menyuap di tubuh birokrat. Hal ini tentunya menguntungkan bagi mereka yang punya modal (kapitalis). Unemployment dan pengangguran generasi mudah Papua semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kebebasan dan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan relatif sangat rendah. Keempat, fenomena urbanisasi yang tak terelakan. Urbanisasi yang berlangsung pasca pemekaran wilayah-wilayah di Papua, baik kabupaten maupun propinsi diikuti dengan pengangguran dan rumah-rumah gubuk dipinggiran kota yang merupakan arah menuju rootless (kehampaan) dan keputus-asaan. Sehingga menyusahkan diri mereka di kota, padahal kebebasan individu masyarakat Papua lebih enak di pedesaan yang bersatu dengan alam. Masyarakat Papua yang melakukan perpindahan ke kota terbuai di dalam kehidupan kota yang buruk, misalnya prostitusi, penyalahgunaan alkhohol dan obat-obat terlarang dan pada tingkat tingginya bunuh diri.
Manupulasi Pelaksanaan “PEPERA”
Setelah kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 itu ditiadakan dengan permainan politik yang kotor dan busuk, maka proses selanjutnya adalah penentuan nasib sendiri melalui PEPERA tahun 1969. Inilah kesempatan emas kedua kali bagi rakyat dan bangsa Papua Barat untuk merdeka yang dimanipulasi oleh piihak Indonesia, Belanda, Amerika, dan PBB. Dengan cara cacat hukum dan moral (teror dan intimidasi), Papua dinyatakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia yang akhirnya menjadi propinsi ke-26 di Indonesia. Menurut Indonesia, inilah awal kemenangan Indonesia, sedangkan bagi rakyat dan bangsa Papua Barat ini bukan sesuatu yang final. Selanjutnya, sebelum PEPERA, Indonesia memilih 1.025 orang Papua Barat untuk bersuara mendukung integrasi dengan Indonesia. Mereka diberi hadiah radio tens dan diajak berkeliling Jawa dan Bali dengan menginap di hotel-hotel dan pelayanan wanita-wanita penghibur (pelacur). 1
Melihat kembali penentuan pendapat rakyat yang telah dilakukan pada tahun 1969 di tiga tempat, yakni : Merauke, Puncak Jaya dan Paniai itupun hanya dilakukan oleh beberapa orang saja, lalu pendapat masyarakat Papua yang lainnya dikemanakan? Inilah suatu pertanyaan besar yang patut dikembalikan kepada Indonesia. Karena penentuan nasib suatu kelompok masyarakat sangat tergantung pada pemberian suara murni dari masyarakat, entah mau berintegrasi dengan suatu negara atau berdiri sendiri membentuk suatu negara baru yang merdeka. Selepas pelaksanaan PEPERA itupun dapat saja dimanipulasi oleh pemerintah Indonesia, karena masyarakat Papua pada saat itu ditekan dan diberi janji-janji yang muluk.
Dampak Globalisasi bagi Suku-Bangsa Papua.
Perkembangan dunia internasional di dalam segala aspek kehidupan masyarakat selalu saja menciptakan suatu sistematika kehihidupan baru. Sistematika atau tatanan kehidupan baru masyarakat internasional ini berkembang dengan pesatnya ketika isu globalisasi dimunculkan di kancah politik internasional oleh negara-negara kapitalisme barat dalam upaya mengekspansi kekuatan nasionalnya (national power).
Penyebarluasan power pada perang dunia pertama dan kedua telah terjadi dengan power dalam arti high politics (kekuatan militer dan keamanan), dimana dari masing-masing negara yang bertikai diselesaikan dengan jalan perang militer untuk menggapaikan tujuan ideologisnya. Kemudian di era perang dingin persaingan power berubah ke aspek ekonomi yang berlangsung antara Blok Barat (Amerika) dengan paham liberalisme dan Blok Timur (Uni Soviet) dengan paham sosialisme, kedua kekuatan ini, masing-masing menyebarluaskan pengaruhnya ke berbagai negara di penjuru dunia yang merupakan potensi ekspansi kedua negara power tersebut. Dan perang dingin ini berakhir semenjak runtuhnya tembok Berlin, simbol kebekuan perang dingin pada tahun 1989. Kemudian pasca-perang dingin telah mengalihkan persaingan yang bernuansa militer ke arah persaingan kepentingan ekonomi di antara negara-negara di dunia ini. Hal ini terlihat jelas bahwa negara-negara memfokuskan dirinya untuk memperbaiki stabilitas ekonomi mereka pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an, dimana Amerika sebagai negara hegemoni berasumsi menjamin terpeliharanya perekonomian global yang liberal atas dasar keunggulan teknologi, kedudukannya sebagai pasar global raksasa yang bisa menampung barang-barang import dari negara lain, terutama negara-negara dunia ketiga. Di samping itu juga Amerika menjalankan berbagai usaha untuk mempengaruhi ke setiap negara yang dianggap berpotensi untuk menjadi sekutunya dengan memberikan bantuan ekonomi dan perlindungan militer. Semua proses ini berjalan lancar dengan pesatnya perkembangan di bidang “Tripple T” (Technology, Telecommunication, and Transportations) yang berusaha dan telah menghapuskan batas-batas tradisional suatu negara, sehingga perkembangan Tripple T menjadikan skala dunia lebih kecil dalam berbagai aspek seperti politik, ekonomi, dan sosial budaya. Lalu bagaimana dengan aspek-aspek kehidupan Suku-Bangsa Papua atas hadirnya globalisasi?.
Melihat pola kehidupan Suku-Bangsa Papua pada masa lalu yang sangat terikat dengan lingkungan alam, kekerabatan sosial yang sangat kokoh, dan adanya kepercayaan dan keyakinan tentang Allah sebagai Sang Pencipta, sebelum kedatangan bangsa luar ke wilayah Papua. Hal ini dapat dibuktikan melalui keharmonisan hidup bermasyarakat dan pandangan religius yang sangat ketat. Namun setelah masuknya pengaruh-pengaruh dari bangsa luar maka segala ajaran, kepercayaan, dan simbol-simbol jatidiri bangsa Papua mulai terbawa hanyut derasnya arus globalisasi. Karena orang Papua tidak lagi terisolasi seperti sediakala dan tidak lagi hidup secara terpisah-pisah, sehingga dengan mudahnya mengubah segala tatanan kehidupan Suku-Bangsa Papua. Orang Papua sepertinya hidup pada persimpangan jalan, dimana segala arus perubahan itu dapat merusak seluruh aspek kehidupan Suku-Bangsa Papua, sehingga meninggalkan dampak-dampak negatif dan positif bagi Suku-Bangsa Papua.
Posisi Papua dewasa ini sebagai suku bangsa yang berada dalam cengkeraman para kapitalis domestik maupun asing mengundang bargainning position yang bertolak belakang atas aspirasi masyarakat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat. Ini menunjukkan bahwa politik domestik (domestic politics) turut disetir oleh politik internasional, yang mana kebijakan-kebijakan potensional ditetapkan oleh pemerintah pusat atas inisiatif para kapitalis, meskipun Papua telah diberikan Otonomi Khusus guna mengurus dan mengatur kepentingan daerahnya sendiri. Malah kepentingan daerah diintervensi oleh pemerintah pusat dalam garis koordinasi vertikal dari para kapitalis internasional. Diversitas kultural, dalam hal ini bahasa daerah yang merupakan salah satu unsur kebudayaan pun mulai merosot. Begitu banyak generasi muda Papua yang sama sekali tidak mengenal bahasa daerahnya masing-masing, terutama bagi mereka yang berdomisili di daerah perkotaan yang terdiri dari masyarakat yang heterogen. Dampak globalisasi ini menginggalkan berbagai ketimpangan moril maupun materil antara lain sebagai berikut.
Pertama, dari segi ekonomi, sangat dominan dipegang peran aktifnya oleh masyarakat non-Papua, seperti suku-bangsa Bugis dan Makassar, serta suku bangsa lainnya di seluruh tanah air. Sehingga hal ini menciptakan suatu kecemburuan sosial yang tidak akan ditutupi selama ketimpangan pola distribusi sumber-sumber dan mobilitas kekuatan militer masih terus berlanjut dengan berlalunya waktu jurang perbedaan tersebut malah semakin besar. Maka soal distribusi income yang tidak merata, keamanan sosial yang tidak menjamin dan kesejahteraan umum yang tak terwujud tidak akan menjamin masyarakat asli Papua untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya, karena batin mereka telah ditekan oleh para pedagang non-Papua yang berpengalaman dalam hal itu.
Kedua dari segi politik, masuknya budaya politik luar ke Tanah Papua secara drastis telah mengubah watak dan perilaku suku bangsa Papua yang semestinya. Budaya politik luar ini tanpa disadari telah merongrong dan meniadakan nilai moralitas suku bangsa Papua yang akhirnya cenderung menganggap diri mereka (para pejabat Papua) selayak sistem, norma, dan proses sebagai ukuran untuk melakukan hal-hal yang menyimpang, misalnya dengan melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Bagi negara ini, KKN merupakan hal yang wajar dan dapat dilakukan oleh siapa saja kita, asal punya modal untuk menutupi kekebalan jaringan hukum. Siapa kita yang tidak mau uang jika ditawarkan. Jadi tidaklah mengherankan apabila masalah KKN merajalela di kubu pejabat Papua, karena sebagian besar literatur-literatur Barat maupun Timur menetapkan model pemerintahan yang demokratis/kompetitif dan sosialis di puncak medernisasi yang diukur melalui indikator “partisipasi politik”. Suku bangsa Papua telah dikondisikan oleh model pemerintahan itu dengan tujuan agar makin banyak suku bangsa Papua yang berkesempatan memilih atau memberikan suaranya (voting), maka makin luas pula pengetahuan, minat, kemungkinan mereka terpilih untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik, yang pada akhirnya ausumsi dan tindakan ini menenggelamkan manusia Papua ke dalam lautan yang penuh penyimpangan terhadap nilai moralitas.
Ketiga dari segi sosial, Papua tidak lagi hidup dalam suatu masyarakat yang homogen, melainkan bersifat masyarakat heterogen. Menelusuri masyarakat Papua yang dulu, sebelum mengenal dunia luar masalah-masalah sosial kemasyarakatan diselesaikan oleh para sesepuh atau orang-orang yang dituakan menurut beberapa ukuran tertentu dari masing-masing daerah. Ukuran-ukuran ini misalnya orang-orang yang memiliki harta benda berlimpah, dapat menyelesaikan dengan tanggap suatu persoalan sosial baik yang bersumber dari intra maupun ekstra daerah tersebut. Selain itu, mobilitas sosial dan geografis yang sangat rendah, kehidupan berkelompok, perjanjian-perjanjian yang bersifat verbal dan bukan tertulis, mata pencaharian suku bangsa Papua pada umumnya di bidang pertanian.
Menanggapi masalah homogenitas etnis yang ada di Papua ini, pemerintah pusat (Indonesia) berusaha untuk mengheterogenitaskan etnis dengan menjalankan program-program transmigrasi pada masa pemerintahan presiden Soeharto ke daerah Papua, sehingga disitu muncul heterogenitas kultur. Maka heterogenitas kultur ini pada awalnya membuahkan sebuah perselisihan di dalam nilai-nilai kebebasan, komunitas (community), dan kekeluargaan suku bangsa Papua dengan suku bangsa lainnya dari luar Papua. Dalam arena perselisihan ini menghasilkan suatu chance bagi masyarakat non-Papua untuk menggeluti bidang-bidang yang belum dikenal orang Papua. Dan mereka (suku bangsa non-Papua) beranggapan bahwa orang Papua itu bodoh, terbelakang. Padahal jika hal itu dilandasi dengan pemikiran akal yang sehat, hanya waktulah yang menjadi acuan untuk melangkah pada model kemajuan sosial selanjutnya.
Maka melihat semua problem yang dijumpai suku bangsa Papua akibat globalisasi ini, maka yang menjadi main attention bagi pemerintahan daerah Papua adalah mempersiapkan Sumber Daya Manusia Papua di segala bidang, yang berjiwa membangun Tanah Papua kedepan atau berorientasi ke masa depan. Dan bukan berorientasi pada masalah pribadi dan selingkup urusan-urusan kepemerintahannya saja yang bersifat kondisional.
1. Pengiriman Transmigrasi (Pemerataan Penduduk)
Wilayah Papua merupakan salah satu kawasan sentral atau pusat penyebaran penduduk dari sekian banyak daerah di Indonesia, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan daerah lainnya. Penyebaran atau mobilisasi penduduk terutama penduduk dari pulau Jawa yang jumlah penduduknya teramat sangat padat dibanding daerah-daerah lainnya. Bergegas setelah Papua diintegrasikan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka pemerintah Indonesia pun mulai memainkan peranan sosio-politik dalam upaya mempengaruhi penduduk wilayah setempat menuju konsep nasionalisme yang telah dicanangkan sebelumnya oleh para pendiri bangsa Indonesia. Dimana dalam hal ini pemerintah Indonesia menetapkan program penyebaran transmigrasi ke seluruh daerah berpotensial yang diklaimnya sebagai NKRI, yakni dari Sabang sampai Merauke yang nyatanya progam transmigrasi dijalankan sejak tahun 1964 silam.
Pola transmigrasi yang diterapkan sangat sistematis dan operasinya teratur, dimana para tranmigran ditempatkan di areal-areal yang kosong atau jauh dari perkotaan agar menghindari kecemburuan-kecemburuan sosial yang bakal terjadi. Karena kita ketahui bersama bahwa untuk mempengaruhi suatu kelompok baru ke dalam suatu kesatuan yang kokoh, maka paling tidak harus melalui pendekatan-pendekatan tertentu yang sangat cocok dengan keberadaan kelompok-kelompok tersebut. Ini sangat terlihat jelas ketika pemerintah Indonesia melakukan pendekatan dengan para birokrat Papua yang pada saat itu berkuasa untuk menentukan daerah-daerah yang dijadikan tempat tujuan bagi para transmigran yang nantinya akan didatangkan dari luar pulau Papua.
2. Program Daerah Operasi Militer (DOM)
Papua sebagai wilayah yang dicap tanda merah oleh bangsa Indonesia sebagai wilayah yang mengembangkan separatisme yang berupaya memisahkan diri dari NKRI yang ditandai oleh sekelompok OPM (Organisasi Papua Merdeka), maka pemerintah pusat menetapkan program Daerah Operasi Militer di Papua dan mengirimkan militer-meliternya ke Papua dalam upaya membasmih kelompok-kelompok OPM tersebut. Namun sampai di lapangan apa yang terjadi? Yang terjadi adalah bukan pemusnahan terhadap para TPN/OPM, melainkan yang menjadi korban pelampiasan nafsu para militer adalah masyarakat yang tak tahu apa-apa.
Papua…, Etnis Melanesia Yang Dilupakan
Dalam lembaran sejarah dunia internasional dicatat bahwa suatu kelompok etnis merupakan aktor dalam politik internasional, karena etnis bukanlah fenomena baru dan bukan pula aktor baru. Semenjak kelompok etnis di Eropa Selatan dan Balkan (seperti orang Bulgaria, Yunani, Rumania, Serbia, dan Turki) yang telah memperoleh kemerdekaan dari kerajaan Ottoman pada abad ke-19 dan ke-20. Perang Dunia I yang dicetuskan melalui suatu insiden etnis dan diakhiri dengan pengumuman negara-negara pemenang bahwa mereka menyetujui prinsip kebebasan untuk menentukan nasib bangsa sendiri. Setelah Perang Dunia II berakhir terjadi pembagian sub-kontinen India menjadi India dan Pakistan setelah India memperoleh kemerdekaannya dari Inggris, pertikaian antara Palestina dan Israel, usaha propinsi Katanga untuk melepaskan diri dari Kongo (yang sekarang dikenal dengan nama Zaire), pertikaian dua kelompok etnis di Syprus, yaitu orang-orang Syprus keturunan Yunani dan orang-orang Syprus keturunan Turki, terpisahnya Bangladesh dari Pakistan.
Semuanya ini mengindikasikan arah perjuanga Papua sebagai etnis melanesia yang ingin memisahkan diri dari entitas politik bangsa Indonesia, karena merasa tidak cocok. Sehingga di dalam pembahasan ini kami memasukkan suku-bangsa Papua sebagai etnis melanesia yang juga sedang memperjuangkan kebebasan untuk menentukan nasib sendiri, karena bangsa Indonesia menganggap remeh dan mendistorsikan realita yang seharusnya diselesaikannya. Bukan berarti bahwa suku-bangsa Papua mau memisahkan diri berdasarkan perbedaan etnis, agama, dan ras yang ada. Pemberian Otsus bagi Papua
Semenjak ditetapkan Undang-undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus di bumi Cenderawasih dengan tujuan agar dapat mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut keinginan sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak fundamental masyarakat Papua guna meningkatkan berbagai ketertinggalannya dibanding daerah-daerah lainnya di Indonesia. Otonomi khusus yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah Papua merupakan suatu berkat yang cuma-cuma menurut pandangan rakyat kecil. Tetapi, ironisnya berbagai elemen masyarakat telah mengakui kekecewaannya atas pendistribusian dana-dana otsus yang telah dikucurkan pemerintah pusat tersebut, karena mereka sama sekali belum pernah menikmatinya. Sehingga hal ini memunculkan pertanyaan besar terhadap berbagai kalangan masyarakat bahwa kemanakah dana-dana itu dialirkan? Keadaan ini sengaja diprogramkan oleh pemerintah pusat untuk menciptakan konflik intra masyarakat Papua, sehingga hal ini menjadi titik tolak terhadap beberapa daerah yang merasa tidak puas dengan pengalokasian dana yang tidak tepat pada sasarannya dari kabupaten induknya untuk memperluas daerah administratif, misalnya, pemekaran kabupaten Yahukimo, kabupaten Sarmi, kabupaten Boven Digoel, dan lain sebagainya.
Sehingga dalam hal pemekaran selalu saja memunculkan dua kubu yang saling bertentangan dengan argumennya masing-masing. Bagi kubu yang setuju (pro) pemekaran beranggapan bahwa dengan adanya pemekaran wilayah di Papua akan tercipta peningkatan kesajahteraan masyarakat yang dinilai tidak diperhatikan oleh pemerintahan induk. Sedangkan menurut kubu yang menolak (kontra) pemekaran memiliki perspektif yang sangat oriented ke arah mana pembangunan itu akan berjalan dan dampak-dampak apa yang bakal akan terjadi setelah administrasi pemekaran wilayah itu dijalankan, pemekaran wilayah hanyalah sebagai wadah atau tempat untuk mengundang segala bentuk kejahatan dan pemicu munculnya hal-hal yang tidak diinginkan masyarakat setempat sebab fenomena ini tidak berawal dari hati nurani para karateker, melainkan hanya karena nafsu mereka untuk mengejar uang dan memiliki niat untuk menduduki jabatan-jabatan terpenting di dalam sistem pemerintahan, bukan dari hati nuraninya untuk memperjuangkan kepentingan dan nasib rakyatnya.
Tampak jelas bahwa pandangan kubu pro pemekaran wilayah memiliki pandangan setipis kulit, karena membangun suatu daerah tidak semudah ide dan atau gagasan manusia, lagi pula makna pembangunan bukan saja berupa pembangunan fisik, melainkan pembangunan non fisik pun harus ditelusuri. Bukan berarti bahwa kita menutupi diri terhadap pembangunan, dan merupakan susunan masyarakat yang tertutup yang tidak dapat bertahan menghadapi masuknya kehidupan ekonomi moderen. Lingkungan desa tidak lagi dapat memberi jaminan hidup yang cukup dan suasana, kehidupan ini dirasakan sebagai kungkungan. Akibatnya ialah runtuhnya susunan sosial yang lama, pemboyongan ke kota-kota, keinginan para petani untuk mencoba cara-cara yang baru, atau untuk bertindak sendiri memperbaiki nasibnya antara lain dengan turut dalam gerombolan-gerombolan. Dipandang dari sudut ini, maka masalah kemerdekaan serta kesejahteraan masyarakat yang merdeka harus dipenuhi terlebih dahulu, tidak lain dari pada menyusun kembali masyarakat Papua atas tingkat produksi yang lebih tinggi sesuai dengan kondisi masyarakat kita di sana agar bisa bersaing dengan masyarakat lain di berbagai daerah. Dalam menghadapi keadaan sekarang, percaturan egoisme didahulukan dan peningkatan kesejahteraan rakyat seolah-olah dikesampingkan sebagai sesuatu yang kurang urgensinya. Maka tidak mengherankanlah bahwa juga di kalangan khalayak-ramai tidak ada bayangan yang terang tentang apa yang dimaksud dengan kesejahteraan masyarakat, dan apa yang harus dikerjakannya sebagai sumbangan untuk kesejahteraan masyarakat kita, inilah yang harus kita pikirkan. Jangan pernah berpikir bahwa mereka telah maju, sehingga kamipun memekarkan wilayah sedemikian pula. Dunia mereka tetap dunia mereka, jangan pernah terbius dengan keberhasilan mereka tanpa membangun basis yang kuat di tingkat rakyat kecil. Aktivitasnya tidak kurang, di dalam lingkungannya sendiri, akan tetapi sering keaktifan itu timbul dari kekecewaan terhadap usaha pembangunan pemerintah di daerahnya, sehingga ia merasa terpaksa mengambil inisiatif sendiri atas dukungan pemerintah pusat. Bagaimanapun juga, umumnya tidak ada perasaan pada khalayak-ramai bahwa ia menjadi bumerang meliputi baik pemerintah maupun dirinya sendiri untuk membangun masyarakat kita.
Oleh sebab itu maka timbullah kesan umum bahwa pembangunan ekonomi masyarakat Papua ini seolah-olah setengah-setengah saja dikerjakan, seperti tak dapat berangkat dan macet. Padahal, ekonomi masyarakat itu seharusnya merupakan penjelmahan suatu pergerakan rakyat yang dibimbing secara sadar oleh Pemerintah, bukan membuka lahan bagi orang asing yang lapar akan kekayaan.
Alasan Integritas Wilayah Papua ke Dalam NKRI
Pandangan bangsa Indonesia yang dipelopori oleh para penguasa bangsa Indonesia sejak dahulu atas Tanah Papua bukan karena manusianya yang berkulit hitam dan berambut keriting, melainkan semata karena kekayaan alam yang terkandung di atas dan di bawah muka bumi bangsa Papua. Kemudian pandangan ini secara turun termurun dipegang teguh oleh para penguasa dalam mengambil dan menetapkan kebijkan-kebijakan yang potensial atas wilayah Papua demi kepentingan ekonomi negara yang berujung pada pemusnahan masyarakat Papua jika saja menghalangi usaha perampasan kekayaannya oleh masyarakat pribumi. Perampasan kekayaan alam di tanah Papua sebagai penyebab utamanya adalah isu kepentingan ekonomi di kancah politik internasional yang besar-besaran sesudah Perang Dunia II berakhir. Munculnya Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai negara adidaya, kemerosotan dan kemudian kebangkitan kembali Eropa dan Jepang sebagai aktor utama, peningkatan status beberapa negara kurang berkembang menjadi Negara Industri Baru, peredaran ketegangan Utara − Selatan. Sementara itu diplomasi antar negara-negara Dunia Selatan juga menunjukkan betapa isu ekonomi semakin jelas mewarnai diplommasi tingkat tinggi. Forum pertama yang merupakan pelopor perjuangan negara-negara yang kemudian dikenal sebagai “Dunia Ketiga”, yaitu Konperensi Asia Afrika (KAA) memang lebih banyak membahas masalah politik, yaitu pembebasan di kedua benua itu dari penjajahan. Tetapi dengan berjalannya waktu dan berkembangnya persoalan internasional, negara-negara selatan itu lebih banyak memusatkan perhatian ke masalah ekonomi dan dengan demikian mengangkat persoalan ekonomi sebagai perjuangan politiknya dalam sistem internasional. Yang kemudian oleh bangsa Indonesia diaplikasikan ke dalam konteks “pembangunan nasional” yang ujung-ujungnya berupaya untuk merusak dan merampas kekayaan alam di daerah-daerah dengan tujuan agar Indonesia mampu mengimbangi negara-negara maju dalam hal ekonomi. Walaupun masih terdengar perdebatan mengenai keharusan menerapkan pertimbangan “ketahanan nasional” dalam beberapa sektor yang dianggap strategis, seperti industri pesawat terbang dan kapal laut, namun semangat yang dominan adalah liberalisasi, bukan nasionalisme ekonomi. Yang paling mencolok mungkin adalah “imbal-beli” Indonesia-Amerika Serikat; agar tembaga kita yang dari Papua bisa masuk pasar Amerika, film Amerika bebas masuk ke Indonesia.
Kembali pada pembahasa kita bahwa bangsa Indonesia mempertahankan integritas wilayah Papua ke dalam NKRI karena merasa tak mampu melunasi hutang luar negerinya tanpa mengeksploitasi kekayaan alam Papua. Sehingga alasan inilah yang menjadi pondasi di dalam upaya mempertahankan wilayah Papua ke dalam negara kesatuan republik Indonesia.
1 Yakobus F. Dumupa, Berburu Keadilan di Papua Mengungkap Dosa-dosa Politik di Papua Barat, Yogyakarta, Nuansa Aksara, 2006, hal. 33-35.
Kondisi Masyarakat Papua di Masa Lampau
Pada Masa Pendudukan Belanda
Belanda Masuk ke Tanah Papua dengan tiga visi utamanya, yakni Gold, Glory, dan Gospel. Secara harafiah ketiganya ini dapat dapat diartikan, Gold berarti emas, sama halnya dengan kekayaan, Glory berarti kejayaan, dan Gospel berarti Tuhan. Berdasarkan visi-visinya itu secara keseluruhan boleh dikatakan bahwa Belanda masuk ke Tanah Papua seperti halnya daerah-daerah kolonial lainya di penjuru dunia dengan tujuan untuk mencari kekayaan atau rempah-rempah di daerah lain bagi kebutuhan pengembangan industri negaranya dan yang menjadi tujuan akhirnya adalah berupaya menggapaikan kejayaan atau kekuasaan dalam hal ekpansi ke negara-negara lain yang dianggap potensial serta menyebarluaskan ideologinya dalam hal ini religi yang mereka yakini. Namun, visinya yang sampai sekarang masih terekam di dalam sukma masyarakat Papua yang sangat menonjol adalah menyangkut Gospel atau penyebaran agama karena sangat cocok dengan kepercayaan masyarakat pribumi yang percaya akan Tuhan sebagai Sang Pencipta, meskipun sebagai manusia mereka percaya akan adanya roh-roh, jin-jin serta mahluk halus lainnya tetapi tidak sampai menyembahnya. Dan juga bahwa ajaran-ajaran menyangkut religi seperti yang diwartakan Belanda telah lama dikenal oleh masyarakat hanya saja karena mereka belum mengenal tulisan, sehingga pada saat itu mereka merasa bahwa nenek moyang mereka hadir kembali untuk mengulang ajaran-ajarannya. Berdasarkan pemehaman serta keyakinan masyarakat tersebut, maka dengan mudahnya mereka menerima ajaran itu.
Sekalipun telah dipaparkan tujuan ekspansi tanah Papua oleh Belanda dalam rangka mencari kekayaan dan kejayaannya, namun di sana pula mereka telah melakukan hal-hal sosial yang dapat membantu perkembangan masyarakat Papua itu sendiri melalui pengajaran, pendidikan, dan pembinaan. Pengajaran, pendidikan, dan pembinaan yang dilakukan ini sangat terkontrol dan terarah, dalam artian bahwa semua usaha dan upaya yang dilakukan itu demi memberdayakan masyarakat pribumi, bukan untuk menguasai tetapi dalam upaya memanusiakan manusia, sehingga di pihak pemerintah Belanda hanya sebagai motivator dan pengarah dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya.
Dalam masa pendudukan Belanda telah terjadi berbagai fenomena yang erat kaitaannya dengan persoalan wilayah Papua, yakni : pertama, sekitar tahun 1960-an Australia melakukan survei daerah perbatasan antara Papua New Guinea yang pada saat itu berada di bawah naungannya dengan West New Guinea (Papua). Kedua, Akhir tahun 1960 Tuanku Abdul Rahman Malaya mencoba menengahi Indonesia dan Nederlands menyangkut status Papua. Ketiga, pada bulan Januari 1961 Kennedy menjanjikan untuk mengakhiri Bantuan Soviet Dan Intervensi di Indonesia; dengan ini menanggali, 8 partai politik yang telah didirikan West New Guinea : Partai Masyarakat Demokrat; Partai Nasional; Partai Kesatuan New Guinea; Partai Pemuda Papua; Partai Kesatuan New Guinea; Kekuatan melalui Partai Kesatuan; Partai Masyarakat; dan Perserikatan Umat Kristen dan Orang Islam ortodoks. Februari 1961 dilakukan Pemilihan untuk 16 anggota Dewan West New Guinea. Lebih lanjut 12 terpilih oleh Belanda demi mengingat area yang dipertimbangkan belum siap untuk menyelenggarakan pemilihan sepenuhnya September 1961 sejumlah pasukan bersenjata Indonesia disusup oleh kekuatan Belanda dan lokal Papua dan Menteri Luar Negeri Belanda Luns mengajukkan suatu proposal kepada UNGA atas masa depan West New Guinea (Papua). Rencana Luns mengusulkan suatu akhir Kedaulatan Belanda dan penetapan suatu administrasi PBB di West New Guinea untuk mensupervisi dan mengorganisir suatu plebisit untuk memutuskan status akhir wilayah Papua yang kemudian PBB membatalkannya. UNGA menyuarakan kembali pada Belanda suatu ' kompromi' proposal atas West New Guinea guna Menentukan nasib sendiri hak-hak orang Papuan itu dan meminta Negosiasi antara Belanda-Indonesian secara langsung berdasarkan isu tersebut. Walaupun didukung oleh 53 suara bagi 41, itu tidak menerima yang perlu dua pertiga mayoritas untuk dilewati. Resolusi lain yang dibekingi Indonesian tidak membuat apapun atau sangat jauh dari sebutan menentukan nasib sendiri untuk menerima 41 suara dan 40 lawannya. Selanjutnya Belanda mengumumkan bahwa mereka tidak akan menegaskan Rencana Luns pada UNGA lebih lanjut. Berikutnya 1 Desember 1961 memunculkan suatu suara oleh Dewan West New Guinea, wilayah dinamai kembali Papua Barat dan memberi suatu lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dan dinaikan suatu bendera “Bintang Kejora” di samping Belanda tiga warna. Sebagai tambahan terhadap ini mengukur, Dewan West New Guinea bereaksi terhadap UN suara yang terbaru dengan tengah lewat satu rangkaian resolusi yang mendukung Rencana Luns dan memohon semua negara-negara untuk menghormati hak masyarakat Papuan guna menentukan nasib sendiri. Menanggapi fenommena ini Sukarno mengumumkan TRIKORA (Tiga Komando Rakyat) untuk Pembebasan Irian Barat; meminta suatu total mobilisasi untuk menghancurkan negara Papua buatan Belanda dan menyatakan; untuk menaikan Bendera Indonesia di Irian Barat dan untuk bersiap-siap menghadapi peperangan di Irian Barat. Pada tahun 1962 Maju Pertahanan membangun Papua dan New Guinea; di perbatasan ditingkatkan upaya patroli dan menambah lagi personilnya.
Pada Awal Masa Pendudukan Indonesia
Awal mulanya Indonesia menebarkan benih-benih kekuasaaanya ke Tanah Papua melalui putera/puteri Papua merupakan kaki tangan pemeritah pada saat itu, dan kemudian dari kaki tangan pemerintah ini berlanjut dengan proses pembentukan manusia Papua kedalam suatu pemanusiaan manusia Papua kepada konsep nasional yang ditandai dengan penaikan bendera ‘Merah-Putih’ di atas Tanah Papua, wajib menyanyikan lagu kebangsaan bangsa Indonesia “Indonesia Raya”. Dan berbagai bentuk upaya yang dilakukan bangsa Indonesia demi memperebutkan wilayah Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam proses selanjutnya dalam upaya penyebarluasan kekuasaan ini mengundang kemarahan rakyat karena mereka merasa tidak cocok bergabung dengan bangsa Indonesia. Maka ketidaksetujuaan ini telah menciptakan perlawanan yang berujung pada perang antara pemerintah Indonesia yang menggunakan senjata modern dengan masyarakat Papua yang menggunakan senjata tradisional (busur dan anak panah) sebagai peralatan perang sekitar tahun 1969. Dalam insiden perang tersebut banyak korban orang Papua yang berjatuhan dibanding pemerintah Indonesia karena orang Papua sendirilah yang menjadi “mata-mata” perang yang menjadi penunjuk arah (kompas) dalam peperangan itu. Dengan kejam dan bengis bangsa Indonesia memperkosa gadis-gadis Papua dan setelahnya dibunuh seperti binatang selayak wataknya. Cara berperangnya sangat aneh dilakukan terhadap masyarakat Papua, mereka memasukan besi yang telah lama dipanaskan di atas barah api itu ke dalam dubur dan tembus di mulut, memotong-motong bagian tubuh secara perlahan-lahan dengan silet (ini salah satu penyiksaan yang tidak manusiawi).
Share on Google Plus

About Admin

0 komentar: