Piet
berjalan mondar-mandir mengitari halaman rumahnya yang dipenuhi
bebungaan. Rumah mungil yang ditempatinya itu berada di samping kanan
gedung sekolah yang telah didirikan beberapa tahun silam. Ia mengajar di
sekolah itu sejak lima tahun yang lalu, empat tahun sebelum ia diangkat
menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Hanya selama setahun berjalan, ia
menjadi guru tetap di sekolah yang jauh dari aroma perkotaan itu. Selama
itulah pengabdiaannya semakin menurun. Padahal selama empat tahun
menjadi guru honorer, ia sangat rajin mengajar dan membina anak
didiknya. Semenjak ia diangkat menjadi PNS, pola pikirnya berubah: yang
penting saya dapat gaji! Untuk apa saya ambil pusing dengan anak didik
saya? Perubahan pola pikir ini berawal dari persoalan-persoalan kecil
yang terjadi di lingkungan sekolah, sebab tak ada prinsip ketabahan
dalam dirinya saat itu. Padahal sebelumnya ia berprinsip: saya harus
disiplin mengajar dan mendidik anak didik saya, sebab pengabdiaan yang
tulus adalah tugas mulia.
“Saya mesti sabar mengabdikan diri pada tugas panggilan saya.” gumam Piet pada dirinya sendiri sembari melangkah perlahan ke arah pintu rumahnya yang mungil itu. Ia lalu menyesali kelalaiannya dalam setahun menjalani tugasnya sebagai seorang guru. Sesal karena seringkali ia tak mengajar akibat dihantui beban-beban pikiran yang tak dipulihkannya. Yakni fasilitas sekolah yang tidak memadai, proses belajar-mengajar yang tidak berjalan lancar, persoalan intern guru dan kenakalan murid.
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Terasa hawa dingin menusuk hingga ke tulang sumsum. Piet membuka daun pintu, ia lalu masuk dan duduk di ruang tamu. Sebuah ruangan kecil yang terisi penuh oleh sebuah meja dan empat buah kursi. “Memang sangat sulit memanusiakan manusia, jika saya sendiri termakan oleh situasi lalu tidak konsentrasi pada pengabdian.” kata Piet sambil menghembuskan nafas panjang.
“SAYA HARUS TABAH.” kalimat ini ditulisnya di atas secarik kertas beberapa saat kemudian. Ia lalu menempelkannya pada dinding kamar tidur. Piet berpikir bahwa, ia harus tabah menjalani tugas panggilannya sebagai seorang guru yang biasa dijuluki ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’. Yakni pahlawan yang memberikan segudang ilmu pengetahuan dan yang menyelamatkan jutaan generasi manusia.
Piet kembali ke ruang tamu. Ia lalu merenung: ‘Tugas saya tidak hanya mengajar, tetapi juga membina anak didik saya agar kelak mereka menjadi manusia yang sanggup bersaing dengan orang lain, yang bermoral dan beriman kepada Sang Pencipta Semesta.’
Tak terasa hari semakin larut malam. Jarum jam pendek pada jam dinding menunjukan angka 11. Piet bergegas ke kamar tidur. Saat berbaring, ia menyempatkan diri sedetik, membaca kalimat singkat yang ditempelkannya itu. Ia lalu mengatupkan matanya.
Sejak saat itu, pagi benar, Piet berada di sekolah sebelum para murid dan teman guru yang lainnya datang. Ia rajin mengajar di kelas, walau teman guru yang lainnya jarang mengajar dan muridnya jarak masuk kelas. Ia pun ikhlas membina murid-muridnya, walau yang lainnya malas tahu. Ia pun mulai pandai mengendalikan emosinya, walau pun banyak persoalan datang silih berganti. Piet benar-benar menemukan dirinya sebagai seorang guru sejati. Akhirnya ia menjadi seorang guru teladan. Ketabahan dalam tugas panggilannya sebagai seorang guru benar-benar diwujudkannya.
“Saya mesti sabar mengabdikan diri pada tugas panggilan saya.” gumam Piet pada dirinya sendiri sembari melangkah perlahan ke arah pintu rumahnya yang mungil itu. Ia lalu menyesali kelalaiannya dalam setahun menjalani tugasnya sebagai seorang guru. Sesal karena seringkali ia tak mengajar akibat dihantui beban-beban pikiran yang tak dipulihkannya. Yakni fasilitas sekolah yang tidak memadai, proses belajar-mengajar yang tidak berjalan lancar, persoalan intern guru dan kenakalan murid.
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Terasa hawa dingin menusuk hingga ke tulang sumsum. Piet membuka daun pintu, ia lalu masuk dan duduk di ruang tamu. Sebuah ruangan kecil yang terisi penuh oleh sebuah meja dan empat buah kursi. “Memang sangat sulit memanusiakan manusia, jika saya sendiri termakan oleh situasi lalu tidak konsentrasi pada pengabdian.” kata Piet sambil menghembuskan nafas panjang.
“SAYA HARUS TABAH.” kalimat ini ditulisnya di atas secarik kertas beberapa saat kemudian. Ia lalu menempelkannya pada dinding kamar tidur. Piet berpikir bahwa, ia harus tabah menjalani tugas panggilannya sebagai seorang guru yang biasa dijuluki ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’. Yakni pahlawan yang memberikan segudang ilmu pengetahuan dan yang menyelamatkan jutaan generasi manusia.
Piet kembali ke ruang tamu. Ia lalu merenung: ‘Tugas saya tidak hanya mengajar, tetapi juga membina anak didik saya agar kelak mereka menjadi manusia yang sanggup bersaing dengan orang lain, yang bermoral dan beriman kepada Sang Pencipta Semesta.’
Tak terasa hari semakin larut malam. Jarum jam pendek pada jam dinding menunjukan angka 11. Piet bergegas ke kamar tidur. Saat berbaring, ia menyempatkan diri sedetik, membaca kalimat singkat yang ditempelkannya itu. Ia lalu mengatupkan matanya.
Sejak saat itu, pagi benar, Piet berada di sekolah sebelum para murid dan teman guru yang lainnya datang. Ia rajin mengajar di kelas, walau teman guru yang lainnya jarang mengajar dan muridnya jarak masuk kelas. Ia pun ikhlas membina murid-muridnya, walau yang lainnya malas tahu. Ia pun mulai pandai mengendalikan emosinya, walau pun banyak persoalan datang silih berganti. Piet benar-benar menemukan dirinya sebagai seorang guru sejati. Akhirnya ia menjadi seorang guru teladan. Ketabahan dalam tugas panggilannya sebagai seorang guru benar-benar diwujudkannya.
0 komentar:
Post a Comment